Aku tahu, hari ini hari libur terakhir pacarnya Alika. Besok, dia akan ditugaskan kembali di luar kota. Dan aku tahu, di hari libur terakhirnya, dia pasti mengunjungi Alika. Aku tak mau mencari tahu ke rumah Alika, aku takut kejadiannya akan sama seperti kemarin. Karena sampai saat ini, aku masih saja tak pandai mengendalikan rasa cemburu.
Aku dan Aska memutuskan untuk berkumpul bersama teman-teman sekolahku di rumah Yandi, salah satu teman sekolahku dulu. Setiap sebulan sekali aku dan teman-teman sekolahku memang selalu mengadakan acara untuk berkumpul, untuk melepas rasa rindu, berbagi cerita, dan menjaga agar hubungan pertemanan tetap terjalin baik.
Aku, Aska dan teman-temanku bernyanyi bersama diiringi alunan gitarku. Aku seperti kembali ke masa-masa sekolahku dulu, masa-masa yang tak akan pernah terulang seumur hidup.
Saat aku tengah asyik bernyanyi dan tertawa bersama teman-temanku, handphoneku berdering. Itu telpon dari Alika.
"Halo." Kusapa Alika.
"Alvi? Kamu dimana?" Tanya Alika. Suara Alika terdengar seperti sedang menangis.
"Lagi kumpul di rumah temen, kamu kenapa? Kok nangis?" Kutanya Alika sedikit panik.
"Kamu bisa kesini?"
"Kamu dimana?"
"Aku di rumah Rani."
"Aku nggak tahu rumah Rani dimana, kirim alamatnya lewat SMS, aku kesitu sekarang."
"Iya." Lalu Alika menutup telponnya.
Aku sangat mengkhawatirkan Alika, Alika menelponku dalam keadaan menangis, sudah pasti ada sesuatu terjadi padanya. Aku harus menemui Alika.
Setelah menerima alamat rumah Rani dari Alika, aku segera menuju kesana. Sebenarnya aku merasa tak enak pada teman-temanku, aku pergi saat semua sedang berkumpul. Tapi saat itu ada sesuatu yang bagiku lebih penting. Aku pergi dengan alasan ada keperluan darurat, karena memang kenyataannya seperti itu.
Ternyata rumah Rani tak begitu jauh dari rumah Alika, mungkin sekitar dua kilometer dari rumah Alika.
Setibanya disana, aku tak peduli meletakan motorku dimana, aku sangat mengkhawatirkan Alika. Aku langsung mengetuk pintu rumah Rani. Tak lama, Rani membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk.
"Alikanya mana?" Kutanya Rani masih dalam keadaan panik.
"Di kamarku, yuk masuk aja." Kata Rani.
"Dia kenapa?" Tanyaku lagi.
"Tanya sendiri aja deh, aku bingung gimana ceritainnya."
Saat aku baru masuk ke kamarnya Rani, Alika menghampiriku dan langsung memelukku sambil menangis.
"Kamu kenapa?" Kutanya Alika.
"Dia khianatin aku." Jawab Alika.
"Dia siapa?" Kutanya lagi.
"Pacarku." Jawab Alika masih memelukku.
Sekarang, aku sudah tahu penyebab mengapa Alika menangis, aku sedikit lega karena tadinya aku mengira Alika mengalami kecelakaan. Tapi alasan mengapa Alika menangis itu membuat aku berpikir beberapa hal. Apakah Alika sangat menyayangi pacarnya itu? Kalau tidak, lalu mengapa Alika bisa menangis seperti ini? Lalu, apakah yang dikatakan Alika bahwa dia menyayangiku itu sungguh? Kalau iya, buat apa Alika masih menangis saat dikhianti pacarnya itu? Mestinya Alika tak usah bersedih, dan mestinya Alika tahu bahwa ada yang bisa lebih mampu untuk menyayangi dan tak akan berani membuat Alika menangis, dan itu aku.
Lalu aku melepas pelukan Alika, memintanya untuk duduk di tepi kasur, lalu aku berlutut di hadapannya, menghapus air matanya, menggenggam tangannya.
"Aku nggak akan ngomong apapun sebelum kamu berhenti nangis." Kataku.
Alika terdiam, aku melihat Alika sedang berusaha sekeras mungkin untuk berhenti menangis. Rani memperhatikan aku dan Alika, aku melihat raut wajah Rani seperti kelelahan, mungkin dari tadi Rani mencoba untuk membuat Alika berhenti menangis, tapi Rani tak berhasil, Rani sudah kehabisan cara. Tak lama setelah itu, Rani keluar dari kamarnya agar aku bisa berbicara berdua dengan Alika.
Aku terus menatap Alika sampai akhirnya Alika berhenti menangis.
"Harusnya kamu tahu, aku paling nggak suka lihat cewek nangis, apalagi kamu." Kataku masih memegang kedua tangannya. "Dia khianatin kamu gimana?" Tanyaku.
"Dia duain aku sama cewek lain." Jawab Alika.
"Terus hubungan kamu sama dia gimana?"
"Aku putus." Jawab Alika.
"Kamu mau aku apain dia? Sampai lubang semutpun aku kejar." Kataku.
Sebenarnya, aku tak mau berurusan dengan lelaki yang sekarang sudah resmi menjadi mantannya Alika, karena kupikir hanya akan menambah masalah saja, justru aku ingin berterimakasih kepada lelaki itu, karena dengan apa yang Ia lakukan membuat hubungannya dengan Alika berakhir. Mengapa tak dari dulu saja. Tentang kesedihan Alika, itu biar menjadi tugasku untuk memperbaikinya.
Aku bingung sekarang, aku merasa senang mendengar Alika sudah mengakhiri hubungannya dengan lelaki itu, karena itu membuat kesempatanku untuk memiliki Alika semakin dekat. Tapi di sisi lain, aku merasa menyesal bisa melihat Alika menangis tepat di depan mataku.
"Kamu jangan apa-apain dia." Kata Alika.
"Terus aku harus gimana?"
"Kamu nggak harus ngelakuin apapun, aku cuma pengen kamu ada disini."
"Kan sekarang aku disini." Kataku. "Terus kenapa masih nangis?"
"Nggak kok."
"Jangan nangisin dia, kamu cuma kehilangan orang yang nggak sayang sama kamu." Kataku.
Aku juga sempat bertanya-tanya di dalam hati, mengapa bisa lelaki itu betingkah bodoh menduakan Alika? Bagiku, Alika itu tak ada duanya, tak ada gantinya, dan bagiku tak ada sesuatu yang kurang dari Alika, Alika itu yang terbaik yang pernah aku tahu, bahkan sempurna. Aku tak mungkin melakukan itu jika aku ada di posisinya, karena aku tahu penyesalan yang akan aku dapat nantinya.
"Aku sayang sama kamu Al, tolong jangan nangis lagi depan aku." Kataku.
"Kamu nggak kaya dia kan?"
"Nggak lah."
"Aku takut."
"Takut kenapa?" Tanyaku.
"Takut kamu seperti dia."
"Alika, rasa sayang aku buat kamu itu nggak kaya pelangi, yang datang setelah hujan, indah sejenak lalu hilang berjejak kelam." Kataku, aku melihat Alika mulai tersenyum.
"Dapet dari google." Kata Alika mengejekku.
"Iya, kadang apa yang aku dapet dari google bisa nyamperin perasaan aku dengan cara yang lebih enak di denger." Kataku.
"Kamu jadi pinter gombal."
"Karena kamu, aku jadi belajar banyak hal."
"Tuh kan, jawabnya pake gombalan lagi." Kata Alika.
"Aku cuma pengen kamu senyum." Kataku.
Tiba-tiba Rani masuk kembali ke kamar membawa secangkir kopi untukku. Lalu Rani duduk di samping Alika lalu mengusap rambut Alika seakan meminta Alika untuk tidak bersedih lagi.
"Pokoknya, aku nggak mau kalau kamu masih mikirin cowok itu." Kata Rani. "Lihat, ada yang jauh lebih baik di depan kamu." Lanjut Rani sambil menatapku. Aku merasa senang karena ternyata Rani mendukung aku untuk memiliki Alika.
"Kamu harus maafin dia, tapi untuk balikan nggak." Kataku sambil mengambil kopi yang dibawa Rani, lalu aku meminumnya sampai kopi itu habis dan hanya menyisakan ampasnya. Aku meneguk kop itu seperti orang yang kehausan di tengah padang pasir.
"Kamu haus?" Tanya Rani.
"Kopi ini manis, seperti sebuah hubungan. Saat kopi ini habis, anggaplah hubungan itu berakhir, tapi kalau kamu ingin mencoba membangun hubungan itu lagi, coba tuangkan lagi air ke ampas kopi ini, rasanya nggak akan pernah sama." Kataku kepada Alika.
"Hahaha, jadi kamu habisin kopi ini cuma buat ngomong gitu aja?" Rani tertawa. "Tapi bener sih, masuk akal apa yang kamu omongin." Kata Rani.
Ingin sekali aku mengungkapkan perasaanku lebih detail lagi pada Alika saat itu, aku ingin segera meresmikan hubunganku dengan Alika dengan status berpacaran, itupun jika Alika sudah mau. Tapi aku urungkan niatku, aku takut Alika masih merasa sedih dan kehilangan lelaki itu. Aku tak bisa terlalu keras meminta Alika untuk segera melupakan lelaki itu, aku juga tak bisa terlalu cerewet untuk meminta Alika berhenti bersedih. Karena bagaimanapun juga, lelaki itu pernah menyayangi Alika sebelum akhirnya mengkhianatinya, dan aku juga tau Alika pernah menyayangi lelaki itu sebelum akhirnya merasa disakiti. Aku harus bisa menghargai perasaan Alika dan lebih mengerti keadaan, mungkin aku harus lebih sabar untuk bisa meminta Alika menjadi pacarku.
Aku dan Rani berbincang banyak hal, aku berniat untuk menghibur Alika dan membuatnya sedikit lupa dengan apa yang baru saja terjadi padanya. Dan aku juga tahu Rani mempunyai niat yang sama.
Alika memang masih belum banyak bicara, meski kulihat sesekali Ia tersenyum mendengar apa yang aku bicarakan dengan Rani.
Saat itu, waktu sudah menunjukkan jam delapan lebih, aku tak mau Alika pulang terlalu malam, aku tak mau Alika dimarahi Ibunya saat suasana hati Alika seperti ini.
"Aku anter kamu pulang ya." Kataku pada Alika.
Alika hanya mengangguk.
"Ran, aku sama Alika pulang ya." Kataku pada Rani.
"Iya, yuk aku anter ke bawah." Kata Rani.
Saat aku akan pulang, aku bertemu dengan orang tuanya Rani. Lalu aku dan Alika pamit kepada mereka. Rani mengantar sampai ke gerbang rumahnya.
"Hati-hati ya, jangan sampai Alika kenapa-kenapa. Kalau nggak, aku kejar kamu sampai lubang semut sekalipun." Kata Rani tertawa.
"Kaya kenal sama kalimat itu." Kataku.
"Hahaha." Rani hanya tertawa. "Kalau udah di rumah kabarin aku ya." Kata Rani kepada Alika.
"Iya Ran, makasih ya." Kata Alika.
Aku mulai melajukan motorku untuk menuju rumah Alika. Di sepanjang perjalanan, Alika tak banyak bicara, dia memelukku, dan menyandarkan kepalanya ke punggungku.
Aku tak bisa berbuat banyak di tengah rasa sedih yang sedang Alika rasakan, aku hanya bisa berada di dekatnya, mencoba untuk menghiburnya. Seharusnya aku bisa berbuat lebih dari ini.
Aku tiba di rumah Alika.
"Makasih ya." Kata Alika.
"Iya, aku boleh minta tolong?" Tanyaku.
"Minta tolong apa?"
"Jangan nangis lagi." Kataku.
Alika hanya mengangguk dan mencoba tersenyum.
"Aku pulang ya, pokoknya kalau kamu nangis lagi, aku marah."
"Iya Alvia."
"Aku sayang kamu Alika." Kataku.
"Akupun begitu." Kata Alika. "Hati-hati, kalau jatuh pura-pura push up ya." Alika tersenyum.
"Haha siap." Kataku tertawa.
Akupun pulang, pulang membawa perasaan bahagia dan sedih. Jika Alika menangis lagi, ingin sekali aku berkata padanya:
"Alika, harusnya kamu tahu, aku menyayangimu lebih dari yang siapaun rasakan, aku yang paling tak senang melihatmu menangis. Aku akan menjagamu jauh lebih keras lagi dari sebelumnya. Tenanglah, Hari esokmu akan kubuat lebih indah, lebih berwarna, dan tak ada lagi air mata. Aku janji. Aku sungguh menyayangimu, kamu harus tahu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepas Cinta
RomanceAku cinta dia, dan aku tahu dia punya rasa yang sama. Dia lebih dari sekedar berarti bagiku, dia bagian penting di hidupku. Disaat Tuhan izinkan aku dan dia bersama. Ada sesuatu yang tak bisa dia lawan, hingga akhirnya membuat dia pergi dari hidupku...