Wawancara

852 16 0
                                    

Entah harus dengan cara apa aku bersyukur pada Tuhan karena telah memberikanku salah satu mahakaryaNya. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana caranya untuk mengungkapkan kebahagiaanku. Akan terlalu indah untuk kutulis.
Aku tak membutuhkan lagi banyak hal. Ibu, Alika, dan Aska sudah lebih dari cukup. Aku tak tahu akan semurka apa nanti jika ada seseorang yang menyakiti mereka. Aku tak tahu akan sesakit apa nanti jika salah satu dari mereka pergi. Aku tak tahu akan sesunyi apa hidupku jika salah satu dari mereka hilang. Yang aku tahu, mereka adalah alasan dibalik kebahagiaanku saat ini. Dan yang aku tahu, aku tak pernah berhenti meminta pada Tuhan agar selalu bisa berada disamping mereka.
Alika adalah orang yang pertama membuat aku jatuh cinta menuju gila. Alika adalah orang yang menjemputku dari dunia kenakalanku. Alika adalah orang yang bisa membuatku menurutinya selain Ibu. Alika adalah teman, sahabat, kekasih, guruku. Alika itu segalanya. Dan Alika adalah orang yang bisa membuatku menangis tanpa memikirkan harga diriku. Alika adalah jutaan bait puisi yang Tuhan kirim untukku.
Jika kalian pernah merasakan kebahagiaan seperti yang sedang aku rasakan sekarang. Kalian adalah satu dari sekian miliar manusia yang beruntung di dunia ini. Jika kalian belum menemukan kebahagiaan itu, carilah, sangat mudah sekali, kebahagiaan kalian akan terlihat bercahaya seperti saat pertama aku melihat Alika. Meski butuh perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan itu, tapi percayalah, apa yang kamu dapat akan sebanding dengan perjuanganmu, bahkan lebih.
Pagi itu, aku mengantarkan Alika menuju tempat kerjanya. Sebenarnya, Alika tak pernah mau untuk merepotkanku. Tapi aku berani bersumpah, aku tak merasa direpotkan sedikitpun, bahkan kemanapun Alika mau, aku akan berada antar dia, aku akan menjaganya, menjamin keamanannya selama Alika diluar bersamaku.
Di perjalanan, aku dan Alika membicarakan tentang perasaan aku dan Alika.
"Aku boleh wawancara kamu?" Tanya Alika.
"Wawancara apa?" Kutanya balik.
"Iya wawancara biasa, aku tanya kamu jawab."
"Oh, boleh."
"Kamu kenapa bisa sayang sama aku?" Tanya Alika.
"Nggak tahu, tanpa alesan." Kujawab.
"Harus ada alesannya dong."
"Setahu aku, rasa sayang yang tulus itu nggak pernah ada alesannya." Kataku.
"Contohnya?" Tanya Alika.
"Kalau aku sayang sama kamu karena kamu cantik, berarti aku mandang rupa. Itu bukan tulus." Kataku..
"Terus?"
"Kalau aku sayang kamu karena kamu baik, berarti aku akan kecewa saat aku tahu keburukan kamu. Setiap orang punya sisi buruk kan?"
"Hehe, iya." Alika memelukku lebih erat.
"Aku sayang kamu tulus, nggak pernah ada alesannya. Jadi, kalau kamu masih tanya kenapa aku bisa sayang sama kamu, percaya deh, aku nggak akan pernah bisa jawab."
"Kok kamu tiba-tiba bisa lebih dewasa gini?" Tanya Alika.
"Cinta bisa ngerubah apapun, bisa ngerubah negatif jadi positif, bisa ngerubah yang tadinya kekanak-kanakan jadi dewasa, ngerubah yang tadinya nakal jadi nggak." Kataku.
"Jadi kamu berhenti nakal karena aku?"
"Nggak, kalau aku kaya gitu, berarti aku akan nakal lagi kalau suatu saat kamu ninggalin aku." Kujawab.
"Lagian aku nggak akan pernah ninggalin kamu." Kata Alika.
"Aku tahu."
"Kamu pernah sakit hati sama cewek?"
"Nggak, makanya kamu jangan pernah sakitin aku., aku nggak pernah tahu gimana caranya ngobatin lukanya, ngga kehilatahan soalnya."
"Kamu kenapa jago banget ngerangkai kata?"
"Aku emang suka nulis."
"Sejak kapan?"
"Sejak sering mampir ke toko buku."
"Terus cerita tentang kita mau kamu tulis?"
"Nggak akan."
"Kenapa?"
"Cerita kita nggak akan pernah ada akhirnya."
"Yakin?"
"Anggap aja itu doa. Lagian aku nggak bisa nulis cerita yang happy ending. Aku nggak pernah tahu gimana caranya nulis akhir cerita yang bahagia. Bahagia itu sulit di ungkapin."
"Kalau gitu, jangan sampai kamu nulis buku tentang cerita kita."
"Iya, aamiin."
"Aku sayang sama kamu Alvi."
"Aku juga sayang sama kamu, tapi hanya semampu aku, selebihnya biar Tuhan yang bantu."
"Kamu lagi kerasukan ya?"
"Maksudnya?"
"Kaya lagi bukan ngobrol sama kamu."
"Terus ngobrol sama siapa?"
"Pokoknya kamu beda banget hari ini, lebih dewasa. Aku suka."
"Maka dari itu kamu harus percaya, aku bisa jadi pemimpin yang baik buat kamu."
"Iya, aku percaya."
"Udah wawancaranya?"
"Belum. Aku mau nanya lagi. Sebelum kenal aku, kehidupan kamu kaya gimana?"
"Gelap banget."
"Maksudnya, rutinitas kamu kaya gimana? Ngapain aja?"
"Haha, iya sayang aku ngerti. Dulu itu aku tukang bikin masalah, sering berantem, pokoknya di masa-masa itu aku udah sering banget nyakitin Ibu. Kamu ilfeel nggak?"
"Nggak, selama kamu nggak balik lagi kaya gitu."
"Sekarang giliran aku yang wawancara. Boleh?"
"Boleh."
"Pertanyaan pertamanya sama, kenapa bisa sayang sama aku."
"Tadinya aku punya jawaban sendiri, tapi aku ngikut jawaban kamu aja."
"Jangan gitu dong, emang mau jawab apa?"
"Sebenernya aku juga nggak tahu gimana aku bisa sayang sama kamu. Waktu pertama kenal juga sebenernya aku nggak mau ngerespon kamu, paling juga cowok iseng, tukang godain cewek sana sini, aku sempet mikir gitu. Tapi semakin kamu deketin aku, kamu bisa ngerubah cara pandang aku ke kamu kaya gimana. Kamu ngelakuin banyak hal yang nggak pernah cowok lain lakuin ke aku, dari situ aku coba buat kasih kamu ruang, meski untuk sekedar kenal. Saat itu perasaan aku ke kamu biasa aja, tapi dengan apa yang kamu lakuin, lagi dan lagi kamu ngerubah perasaan aku ke kamu jadi sayang. Waktu kamu mabuk sama Aska, awalnya aku nyamperin kamu bukan karena aku mau nolongin kamu, tapi aku mau minta sama kamu buat nggak ganggu aku lagi, pokoknya aku nggak mau kenal sama kamu lagi, tapi karena Aska cerita kamu mabuk karena apa? Disitu aku langsung ngerasa bersalah, aku coba ngertiin gimana cara berpikir kamu waktu itu. Waktu itu aku marah karena nggak mau lihat kamu kaya gitu lagi, karena disitu aku mulai punya perasaan sayang sama kamu. Tapi sekalinya kamu kaya gitu lagi, aku bener-bener nggak mau kenal kamu lagi, pokoknya udahan, nggak akan aku kasih jalan lagi buat kamu. Terus yang bikin aku makin sayang sama kamu waktu kamu ngajak aku ke markas geng motor kamu buat pamit dan berhenti dari geng motor kamu. Sebenernya aku nggak terlalu ngelarang kamu buat ikut-ikutan geng motor, tapi karena aku takut kamu kenapa-kenapa. Sesiap apapun kamu, seberani apapun kamu, kapan waktunya celaka kan nggak ada yang tahu. Aku nggak mau kenapa-kenapa karena aku sayang sama kamu." Kata Alika panjang lebar.
"Udah? Panjang banget."
"Aku kalau lagi cerita emang kaya gini, nggak bisa distop."
"Nanti tulis ya, aku nggak mau lupa sama kata-kata kamu yang barusan."
"Iya, kalau masih ingat." Kata Alika sedikit tertawa.
"Aku mau nanya lagi, sesakit apa kamu waktu dikhianatin mantan kamu?"
"Aku sakit hati karena aku nggak tahu salah aku apa sampai bisa bikin dia ngelakuin itu. Aku bukan nangisin orangnya, tapi aku nangisin setiap kenangan-kenangannya yang pernah aku lewatin. Karena mau gimanapun juga, dia itu pernah bener-bener sayang sama aku, dan aku juga pernah sayang sama dia. Tapi aku selalu percaya sama Tuhan, disaat aku disakitin cowok, Tuhan langsung ngasih aku pengganti yang jauh lebih baik dari dia. Makanya aku bisa berhenti nangisin dia. Ibaratkan aku ngebuang tembaga, terus aku dapet emas."
"Tuhan ngasih siapa sebagai pengganti mantan kamu itu?"
"Itu kalimat tanya retoris. Kamulah sayang."
"Kalau Tuhan ngambil aku dari kamu gimana?" Kutanya lagi.
"Nggak tahu, aku nggak berani marah sama Tuhan. Mungkin aku mau minta pengganti yang lebih baik lagi dari kamu, tapi kayanya nggak akan pernah ada."
"Banyak kali."
"Kalau emang banyak, aku tetep nggak mau. Aku cuma mau kamu."
"Kalau aku khianatin kamu kaya yang mantan kamu lakuin gimana?"
"Aku tahu kamu orang yang kaya gimana, aku tahu kamu nggak akan pernah ngelakuin hal sebodoh itu. Kecuali kamu mau tahu gimana rasanya nyesel seumur hidup. Aku nggak akan pernah dateng untuk yang kedua kalinya."
"Nggak, aku nggak pernah mau ngerasain nyesel karena sia-siain kamu."
"Baguslah kalau gitu."
"Ada yang masih kamu nggak suka dari aku? Apa yang pengen kamu rubah lagi dari aku?"
"Cukup, aku cuma butuh kamu di samping aku dalam keadaan apapun."
"Gampang banget."
"Aku mau kamu segera menata masa depan kamu, kamu harus bisa bahagiain Ibu."
"Nggak perlu sesibuk itu bahagiain Ibu, waktu aku lahir aku udah bikin Ibu bahagia kok."
"Semua juga kaya gitu, mana ada seorang Ibu yang nggak seneng saat buah hatinya lahir."
"Ada, cewek-cewek yang hamil diluar nikah, sampai bayinya dibuang juga kan banyak."
"Tapi dalam hati mereka nggak akan setega itu, Nggak ada satupun Ibu yang nggak sayang sama anaknya." Kata Alika. "Apalagi Ibu kamu, Ibu kamu sayang banget sama kamu, mau apa-apa dikasih, tapi aku aneh kok masih aja bisa nakal. Padahal kalau aku jadi kamu, tinggal minta ini itu, udah deh diem dirumah, nggak akan banyak masalah." Kata Alika.
"Aska juga pernah ngomong kata gitu."
"Berarti aku jodoh sama Aska."
"Berarti nggak lama lagi akan ada nama dia dipajang di batu nisan."
"Haha, segitunya."
. Tak terasa, cukup lama aku berbicara ini itu dengan Alika. Saat melihat jam tangan, Alika memintaku untuk memacu motorku lebih kencang lagi karena Alika takut terlambat.
"Nanti kita lanjut lagi deh wawancaranya, aku takut telat." Kata Alika.
Akupun memacu motorku lebih kencang lagi, Alika memelukku erat. Aku menembus dinginnya udara pagi, mengantar sang mahakarya Tuhan menuju tempat kerjanya.
Setibanya di tempat kerja, Alika langsung turun dari motor lalu mencium tanganku dan langsung masuk ke kantornya karena takut terlambat.
"Kamu hati-hati, jangan jatuh, apalagi pura-pura push up. Nanti malu." Kata Alika. Aku selalu tersenyum setiap mendengar Alika mengucapkan kalimat itu. Bagiku, itu adalah ciri khasnya yang akan selalu membuatku rindu.
"Selamat bekerja Alika, maaf jika hampir saja membuatmu terlambat, aku terlalu asyik bercerita ini itu sampai lupa waktu. Aku sayang kamu Alika, lebih jauh dari sebelumnya."

Melepas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang