Ramalan Tante Selly

1.1K 19 0
                                    

Entah yang keberapa kalinya aku mengganti saluran televisi. Enggak ada tontonan seru, semuanya membosankan, membuat malamku semakin jenuh. Enggak ada yang bisa mengalihkan pikiranku yang dipenuhi tentang Alika.
Ingin sekali rasanya aku menelpon Alika. Aku ingin berbincang seperti malam-malam sebelumnya. Ingin meminta maaf atas apa yang terjadi kemarin. Tapi hari ini rasa gengsiku mengalahkan segalanya. Bingung, seakan-akan hati dan logikaku sedang berdebat. Hati memintaku untuk meminta maaf, tapi logikaku melarang. Entah aku harus mengikuti yang mana. Tapi aku mencoba untuk tetap tenang, karena aku tahu meski hati dan logikaku jarang sekali akur, tapi mereka tak pernah gagal menyelamatkan satu sama lain.
"Maafkan aku Alika, biarkan aku bertarung dengan rasa gengsiku. Doakan aku menang melawan egoku. Aku mencintaimu." Ucapku dalam hati.
Di tengah heningya malam, terdengar suara ketukan pintu yang memecahkan lamunanku.Akupun beranjak dari ruang tengah untuk melihat siapa yang datang.
Sebelum aku membukakan pintu aku melihat dari jendela untuk mengetahui siapa yang datang. Ternyata itu Tante Selly.
Tante Selly adalah kakak kelas Ibuku saat ibu masih menjalani pendidikan agama di sebuah Pesantren di Tangerang.
Katanya, Tante Selly adalah orang pintar. Orang pintar yang aku maksud adalah orang yang memiliki ilmu supranatural, katanya Tante Selly bisa membaca kepribadian seseorang, menerawang masa depan orang lain. Aku belum sepenuhnya percaya pada Tante Selly, karena aku belum pernah melihat secara langsung apa yang bisa Tante Selly lakukan. Meski Ibuku sudah banyak bercerita tentang kemampuan Tante Selly, aku masih ragu, aku tak begitu percaya pada tahayul.
"Assalamualaikum" Tante Selly mengucap salam sambil tersenyum padaku.
"Alaikumsalam" Jawabku.
"Eh, Alvi apa kabar? Ibumu ada?"
"Baik Tan, Ibu nggak ada, Ibu kan ada acara Tabligh Akbar di Karawang. Aku kira Tante juga ikut."
"Oh, Tante enggak tahu. Kapan pulangnya?" Tanya Tante Selly.
"Katanya sih besok, masuk dulu Tante?"
"Kayanya Tante langsung aja deh, nggak ada yang penting kok Cuma mau mampir aja"
"Bener nih Tan?"
"Iya. Tante pulang aja deh ya. Awas jangan mentang-mentang nggak ada Ibu bisa nakal seenaknya. Jangan minum-minum terus kasian Ibu." Tante Selly menegurku. "Assalamualaikum."
"Alaikumsalam"
Hah? Aku kaget dengan apa yang diucapkan Tante Selly. Aku memang sudah sering ketahuan Ibu kalau mabuk. Tapi aku yakin Ibu tidak akan menceritakan keburukan anaknya sendiri, meskipun itu kepada sahabat terdekatnya. Bagaimana Tante Selly bisa tahu? Ah, Aku malu.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide dipikiranku. Aku ingin mencari tahu bagaimana kira-kira kelanjutan hubunganku dengan Alika. Sekaligus membuktikan kemampuan Tante Selly, siapa tahu bisa menghapus keraguanku.
"Tante!" Aku setengah berteriak untuk menghentikan langkahnya yang sudah mencapai pintu gerbang rumahku. Tante Selly berbalik dan bertanya.
"Kenapa Al?"
"Tante lagi sibuk nggak?" Kutanya Tante Selly.
"Nggak kok, kenapa emang?"
"Aku boleh minta bantuan nggak Tan?"
"Bantuan apa nih?"
"Di rumah aja Tan ngobrolnya biar enak."
"Iya deh, tapi nggak lama ya." Tante Selly menuruti kemauanku.
Aku dan Tante Selly masuk ke dalam rumah. Sumpah, Aku malu, bingung bagaimana memulai pembicaraannya.
"Mau minum apa Tan?" Tanyaku sambil berjalan ke dapur.
"Apa saja, asal jangan yang bikin pusing." Jawab Tante Selly menyindirku.
Akupun hanya sedikit tersenyum karena malu. Akupun pergi ke dapur untuk membuatkan minum untuk Tante Selly.
Saat aku kembali ke ruang tamu aku melihat Tante Selly sedang membaca sebuah buku. Aku langsung bertanya mengapa Tante Selly tahu bahwa kemarin aku mabuk lagi.
"Tan, kok Tante tahu kemarin aku mabuk?" Tanyaku.
"Ibumu tadi pagi nelpon Tante." Jawab Tante.
"Bilang apa?"
"Ya gitu deh, kasihan Ibumu itu Al, udah nggak tahu lagi gimana ngasih tau kamu, makanya Ibu minta tante buat bantuin supaya kamu nggak gitu lagi. Tadinya Tante kesini mau ngobrolin tentang kamu sama Ibu kamu, Ibu kamu malah pergi, nggak ngabarin pula." Kata Tante.
"Iya sih, tadi Ibu emang ngedadak banget perginya." Kataku.
Suasana sempat hening sejenak, aku ingin segera membicarakan tentang Alika. Tapi aku masih kebingungan cara memulai bicaranya.
"Kenapa? Butuh bantuan apa? Tanya Tante Selly sambil menutup buku yang barusan Ia baca.
"Hmm, Gimana ya Tan? Aku malu, bingung ngomongnya gimana."
"Tapi sebelum Tante bantuin kamu, Tante minta kamu janji satu hal." Kata Tante.
"Apa Tan?" Tanyaku.
"Jangan minum-minum lagi, jangan bikin Ibu kamu sakit hati lagi, Ibu kamu itu sahabat Tante, kalau kamu nyakitin dia, kamu urusannya sama Tante." Kata Tante Selly, nada bicaran Tante saat itu sangat menakutkan.
"Iya Tan, aku janji nggak gitu lagi." Kataku.
"Ya sudah, awas kalo gitu lagi, Tante masukin pesantren kamu."
"Iya Tan, beneran."
"Ya sudah, mau minta bantuan apa? Nanya apa?" Tanya Tante Selly. Aku diam karena bingung bagaimana menjawabnya. "Cewek ya?" Tante Selly mencoba menebak dan tebakannya tepat sekali.
"Hehe." Aku hanya bisa tersenyum kecil, Tante Selly menatap mataku seperti sedang membaca sesuatu. Meski aku tak menjawab, sepertinya Tante Selly sudah mengetahui maksudku.
"Ya sudah, cerita aja, kenapa? Tapi kalau kamu minta Tante buat bikin dia suka sama kamu, Tante nggak akan bantu. Berjuang aja sendiri."
"Enggak kok Tan, Cuma minta Tante ngebaca aja dia orangnya kaya gimana"
Pada saat itu aku memang tidak berniat untuk meminta Tante Selly membuat Alika menyukaiku dengan cara berbentuk pelet. Karena bagiku, sesulit apapun mengejar cinta Alika, sebesar apapun rintangannya, aku tidak akan pernah mundur. Menyerah bukanlah gayaku.
"Siapa namanya?" Tanya Tante Selly.
"Alika, Tan"
"Lengkapnya?"
"Alika Dwi Anjani" Kujawab.
"Hari dan tanggal lahirnya kamu tahu?" Tanya Tante Selly sambil mengeluarkan sebuah pulpen dan beberapa lembar kertas.
"Jumat, 7 Agustus 1992. Tapi kalau jam berapa dan dilahirinnya di bidan mana aku nggak tahu" Kujawab dengan sedikit candaan, setidaknya untuk menghapus rasa grogiku.
"Hah? Lebih tua dari kamu?" Tante Selly sedikit kaget. Lalu Tante Selly menulis sesuatu di lembaran kertas yang Ia keluarkan tadi. Tapi aku tidak mengerti apa yang Tante tulis, dan saat itu aku baru melihat huruf-huruf yang aneh seperti itu. Mungkin itu ilmu yang dimiliki Tante Selly untuk membaca kepribadian seseorang. Aku mulai berusaha untuk percaya pada Tante Selly karena aku bisa melihat keseriusannya.
Saat aku sedang serius memperhatikan apa yang Tante tulis, tiba-tiba Tante memandangku dan bertanya.
"Kamu nggak malu?" Tanya Tante Selly.
"Malu kenapa Tan?" Tanyaku balik.
"Dia orang yang baik, Ibadahnya rajin. Nah kamu?" Jawab Tante Selly sedikit menertawakanku.
"Nanti aku nyusul Tan" Ku jawab dengan tersenyum malu.
"Taubat kok dinanti-nanti, bisa aja lima menit lagi kamu mati."
Jujur, Aku merasa senang mendengar bahwa Alika adalah wanita yang baik. Aku menentukan rasa kepada orang yang tepat, mata dan hatiku tidak terjatuh pada orang yang salah. Aku berjanji akan memperjuangkannya apapun yang terjadi nanti. Meski di sisi lain aku juga merasa malu. Pantaskah aku bersanding dengannya? Alika orang yang sangat dekat dengan Tuhan. Sedangkan aku, aku selalu menjalankan apa yang dilarang oleh Tuhan, dan mengabaikan apa yang Tuhan perintahkan.
"Maafkan aku Ya Tuhan, mungkin aku egois, banyak meminta padaMu, tapi masih melalaikan perintahMu. Esok, aku akan lebih baik. Percayalah!" Ucapku dalam hati.
Saat Tante Selly berhenti menulis, Dia diam tanpa kata dan terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku dibuat penasaran dengan apa yang akan dikatakan Tante Selly selanjutnya.
"Kayanya kamu jangan terlalu berharap deh sama dia" Kata Tante Selly.
"Kenapa Tan?" Tanyaku heran.
"Gimana ya, Tante takut disangka ngerusak juga perjuangan kamu"
Dari pembicaraan Tante Selly aku sudah bisa menebak bahwa aku akan mendengar sesuatu yang tidak seharusnya kudengar. "Jangan terlalu mempercayainya Al" Seolah aku berbicara pada diri sendiri.
"Dia udah mau nikah." Kata Tante Selly.
"Hah?" Aku terkaget. "Sama siapa?" Kutanya Tante Selly.
"Mana Tante tahu."
"Jangan becanda dong Tante."
"Tante nggak becanda, dari yang Tante lihat emang begitu."
"Terus gimana dong?" Aku masih dibuat tak percaya.
Tante Selly terlihat sedang berpikir lagi, mulutnya bergerak seakan sedang berbicara tanpa suara. Aku merasa kesal, tapi aku masih penasaran. Dalam hati aku berpikir, nggak boleh ada yang mendekati Alika apalagi sampai menikahinya. Mau dia Tentara, Polisi, bahkan Presiden sekalipun. Pokoknya nggak boleh, Alika milik aku.
"Sebaiknya kamu jangan terlalu berharap sama dia Al." Kata Tante Selly.
"Kenapa? Bukannya jodoh itu ditangan Tuhan?" Tanyaku dengan nada sedikit kesal.
"Iya Tante tahu. Tapi kan Tante cuma ngasih tahu aja jangan terlalu berharap supaya ngga terlalu sakit nantinya."
"Terus menurut Tante aku bener-bener nggak punya kesempatan?" Tanyaku makin kesal.
"Bukan berarti gitu juga, ini cuma sebagai antisipasi aja." Tante Selly menjawab dengan sangat tenang seolah tak peduli meilhat aku yang makin kesal dengan jawabannya.
"Terus menurut Tante, aku harus gimana?"
"Kalau kamu emang bener-bener sayang ya dicoba aja dulu, tapi kalau cuma sekedar suka mending nggak usah deh daripada cape."
"Aku sayang sama dia Tan, sayang banget."
"Dari yang tante lihat, kemungkinan kamu bisa dapetin dia jauh banget, sejauh Bumi dan Langit. Tapi kamu jangan berhenti berjuang cuma karena omongan Tante, kamu juga jangan terlalu percaya sama Tante. Kejar aja dulu, kan tadi kamu bilang jodoh itu di tangan Tuhan."
"Iya deh Tan, aku mau terus coba dapetin dia." Entah kenapa saat itu rasa kesalku mulai hilang.
"Nah gitu dong, harus semangat. Masa dapetin cewek gitu aja nggak bisa, mubazir deh kamu terlahir tampan kaya gitu." Kata Tante Selly menggodaku.
"Maksudnya cewek gitu aja apa Tan? Dia itu beda dari yang lain, dia itu istimewa, dia itu mahakarya Tuhan." Kataku membangga-banggakan Alika meskipun belum menjadi milikku.
"Ya ampun, selebay inikah anakmu ndri?" Tante Selly kubuat kaget dengan apa yang aku ucapkan sampai-sampai Tante menyebut nama Ibuku.
"Harusnya Tante Istighfar"
"Kenapa?" Tanya Tante Selly heran.
"Barusan Tante udah berani menghina mahakarya Tuhan." Kujawab dengan wajah serius dan nada yang sangat polos.
"Astaghfirullahaladzim"
"Nah gitu Istighfar" Kataku masih dengan ekspresi yang sama.
"Hey! Tante Istighfar karena Tante ngga nyangka kamu selebay ini!" Tante Selly mulai kesal dan menjambak rambutku, Aku tertawa sangat lepas.
Rasa kesalku pada Tante Selly sudah benar-benar reda. Apa yang dikatakan Tante Selly bahwa kemungkinanku mendapatkan Alika sangat jauh, tidak akan membuatku mundur, menyerah bukan gayaku, justru hasratku untuk mendapatkan Alika malah semakin menggelora, sekaligus sebagai ajang pembuktian pada Tante Selly bahwa semua yang dikatakannya salah. Sangat Salah! Tante Selly akan jadi orang pertama yang aku jumpai saat aku sudah mendapatkan Alika. Tunggu saja Tan, sebagai lelaki aku merasa tertantang. Tadinya aku sempat berpikir bahwa Tante Selly sengaja berkata yang tidak benar agar aku lebih bersemangat mendapatkan Alika. Tapi terserah, aku tak peduli apapun yang dikatakan Tante Selly, aku akan segera mendapatkan Alika. Aku akan segera memiliki Alika.
"Kamu ketemu dimana sama Alika?" Tanya Tante Selly menghentikan tawaku.
"Di acara reuni Tan." Kujawab dengan masih sedikit tertawa karena aku membuat Tante Selly kesal.
"Dia punya pacar?" Tanya Tante Selly.
"Punya, tapi kayanya sebentar lagi putus. Soalnya ada aku."
"Terus, sekarang udah sejauh mana hubungan kamu sama dia?" Tante Selly bertanya seakan ingin kembali berbicara serius.
"Lumayan deket sih, udah dapet respon baik. Tapi sekarang lagi marahan."
"Gara-gara?" Tanya Tante Selly penasaran.
Aku hanya tersenyum tak mau menjawab pertanyaan Tante Selly karena aku takut Tante marah jika tahu apa yang menyebabkan Alika marah padaku.
"Kenapa malah ketawa? Ayo ceritain!"
"Gara-gara aku mabuk Tan hehe" Ku jawab dengan senyum malu dan takut.
"Ya ampun, kalo Tante jadi Alika udah deh ngga mau lagi dideketin pemabuk kaya kamu." Kata Tante Selly meledekku.
"Jangan gitu dong Tan, namanya manusia kan ada khilafnya, ada salahnya, jadi wajarlah." Kataku membela diri.
"Iya, tapi kamu itu kebanyakan salahnya!"
"Nggak apa-apa deh kalo aku serba salah, tapi bagi aku, mencintai Alika adalah kesalahan terindah yang pernah aku lakukan."
"Ampuuuunnnnnnn keluar lagi ini anak lebaynya" Tante Selly kesal dan mencoba menjambak rambutku lagi tapi aku menghindar.
Dibalik tawaku, aku berpikir bahwa mungkin sudah seharusnya aku meminta maaf pada Alika atas kejadian kemarin. Aku tidak akan membesarkan gengsi dan egoku, tidak untuk saat ini. Aku akan menelpon Alika setelah Tante Selly pulang.
Saat itu handphoneku berdering. Ibuku menelpon.
"Halo, Bu?"
"Halo, lagi dimana Al?"
"Lagi di Rumah Bu, Ada apa?"
"Nggak ada apa-apa, kamu kaya yang lagi ketawa, ngetawain apa?"
Belum sempat aku menjawab Tante Selly mengambil handphoneku dari genggamanku. Aku meminta Tante Selly mengubah suara telpon menjadi loudspeaker agar aku bisa ikut mendengar.
"Hey Ndri, kamu ini nggak bilang-bilang ada acara ke luar kota"
"Selly? Lagi di Rumahku? Aduh maaf ini aku acara mendadak banget, Dari kapan di Rumahku? Tadi anakku ngetawain apa Sri?" "Tadi aku mau ketemu, kamunya nggak ada, mau langsung pulang tapi anakmu ini minta ditemenin curhat segala" Jawab Tante Selly.
"Kok tumben? Katanya takut diramal-ramal sama kamu? Curhat apaan dia?"
"Ya biasalah remaja jaman sekarang, kalo lagi jatuh cinta ya gini, yang ada aja diajakkin curhat."
"Curhat gimana? Pasti tentang si Alika itu ya?"
"Ya gitu deh, nanti aja aku ceritain lagi ke kamu. Tapi kok anakmu ini ngomongnya lebay banget ya? Kamu yang ajarin?"
"Lebay gimana? Aku nggak ajarin gitu ke dia."
"Iya, Ibu yang ajarin aku." Aku teriak dari jarak agak jauh menjawab pembicaraan Ibu dengan Tante Selly karena aku bisa mendengarnya.
"Tuh kan, kamu yang ajarin katanya."
"Ah ampun deh, nanti aku telpon lagi deh ya. Titip anakku, jangan biarin dia keluar rumah"
"Iya Ndri, tenang aja aman selama dalam pengawasan aku."
"Yaudah terimakasih banyak Sri, maaf kalau anakku ngerepotin. Assalamualaikum."
"Iya nggak apa-apa, Alaikumsalam" Tante Selly menutup telponnya dan memberikannya padaku.
Tak terasa sudah satu jam lebih bercerita banyak hal tentang Alika pada Tante Selly. Setelah melihat ke arah jam dinding, Tante Selly pamit pulang.
"Tante pulang ya, kasian anak-anak tante ditinggalin kelamaan. Kalau ada apa-apa yang mau ditanyain, kamu minta aja nomor telpon tante ke Ibumu." Kata Tante Selly sambil beranjak dari tempat duduk.
"Siap Tante, Makasih banget ya."
"Iya sama-sama."
Akupun mengantar Tante Selly sampai gerbang. Sebenarnya aku ingin berbincang lebih banyak lagi dengan Tante Selly, tapi kupikir masih ada hari esok, kasihan juga anak-anaknya jika kucuri Ibunya terlalu lama. Terimakasih Tante Selly atas segalanya.
Aku langsung tiduran di kamar, menarik nafas panjang, bersiap-siap menelpon Alika. Tegang sekali rasanya, aku sangat takut andai saja Alika tak mau memaafkanku, tapi tak ada salahnya mencoba.
Aku pun menelpon Alika, Bismillah.
"Halo?"
"Apa?" Nada bicara Alika terdengar sangat tidak enak.
"Lagi dimana?" Tanyaku.
"Penting emang buat kamu?"
Saat itu aku sempat berpikir mungkin Alika tidak akan mau memaafkan aku. Dari cara bicaranya yang terdengar sangat jutek dan terdengar seperti tidak mau berbicara denganku.
"Aku mau minta maaf."
"Buat?"
"Kejadian kemarin."
"Oh."
"Dimaafin nggak?"
"Nggak!" Kata Alika dengan nada menyentak dan langsung menutup telponnya.
Aku kaget! Semarah itukah Alika? Apa dia benar-benar tidak mau memaafkan aku? Aku bingung, entah harus bagaimana agar Alika mau memaafkanku.
Aku mencoba menelpon Alika lagi, tapi aku akan berbicara seolah aku sedang menangis.
Saat Alika menjawab telponku, aku tidak langsung berbicara, aku hanya berpura-pura menangis berharap Alika merasa kasihan padaku.
"Kamu kenapa nangis? Kaya bukan cowok aja."
"Nggak kok, aku nggak nangis."
"Kamu ngapain sih kaya gitu kemarin?!"
"Maaf."
"Nggak!"
"Aku janji nggak akan gitu lagi"
"Nggak! Aku nggak percaya."
"Aku cemburu lihat kamu sama Tentara itu!" Kataku. "Kemarin aku ke rumah kamu, aku lihat kamu sama tentara itu, aku emang bukan siapa-siapa kamu, tapi kamu harus ngerti gimana perasaan aku kemarin."
Alika sempat terdiam mendengar apa yang aku ucapkan. Alika seperti sedang berpikir untuk membalas apa yang aku ucapkan.
"jadi yang kemarin malam mukul pagar rumahku itu kamu?" Tanya Alika.
"Iya." Jawabku singkat.
"Terus harus kaya gitu? Harus minum-minum kaya gitu? Terus kalau kamu kaya gitu kamu udah nggak cemburu lagi?"
"Masih."
"Terus gunanya apa kemarin?"
"Nggak ada."
"Mau gitu lagi?"
"Nggak, Alika. Maaf, Tuhan aja maha pemaaf, masa kamu nggak"
"Iyalah, Tuhan maha sempurna, aku cuma manusia biasa."
"Terus aku harus gimana supaya kamu mau maafin aku?"
"Minta maaf dulu sama Ibu."
"Ibu udah maafin aku." Aku merasa sepertinya Alika mulai bisa memaafkanku.
"Aku bisa aja maafin kamu sekarang, tapi selanjutnya, aku nggak akan bisa maafin, apalagi karena kesalahan yang sama."
"Iya, nggak akan."
Ah, senangnya. Akhirnya Alika mau memaafkanku, aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama, aku berjanji tidak akan melampiaskan kekesalanku dengan cara mabuk-mabukan. Aku berjanji akan menjadi orang yang lebih baik lagi, aku sayang Ibuku, aku sayang Alika, aku harus menjauhkan mereka dari raa sakit hati akibat kenakalanku.
"Ya sudah, terimakasih Alika, sekali lagi aku minta maaf, aku sayang kamu."
"Apa? Ngga kedengeran." Kata Alika memancingku untuk mengatakannya lagi.
"Aku sayang kamu." Aku berbisik mengulang kalimat itu.
"Aku nggak akan jawab aku juga sayang kamu kalau kamu masih nakal."
"Aku kan mau berhenti nakal"
"Ya sudah, berarti nanti" Kata Alika lalu menutup telponnya.
Malam itu, aku dibuat lebih jatuh cinta oleh Alika. Bagiku, Alika bisa menjadi siapa saja, Alika bisa jadi guruku, pembimbingku, sahabatku, tapi aku ingin Alika segera menjadi pacarku. Aku senyum-senyum sendiri membayangkan wajahnya yang cantik, membayangkan suatu hari nanti aku bisa menggenggam erat tangannya, memeluknya erat tanpa peduli jika membuatnya sesak.
Aku juga mulai berpikir untuk merubah diri, tidak akan nakal lagi, aku harus belajar dewasa, aku baru saja lulus sekolah, aku harus menata rapi masa depanku, aku harus kuliah, lalu kerja, lalu melamar Alika. Ah, aku jadi tak bisa mengendalikan diri, aku jadi berimajinasi terlalu jauh. Biarlah, aku sedang jatuh cinta, harap maklum.
Selamat tinggal masa-masa remajaku, sudah saatnya aku menyambut diriku yang baru, yang lebih dewasa. Aku pun memejamkan mataku untuk tidur, berharap Alika singgah di mimpiku.
"Alika, kau sibuk? Kalau tidak, mampirlah di mimpiku, aku ingin memelukmu"

Melepas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang