Undangan Pernikahan

735 22 0
                                    

Entah siapa yang sedang aku khawatirkan. Nggak enak hati, perasaanku tak karuan. Ada apa ini ya Tuhan? Entah apa yang aku pikirkan, hanya bisa melamun menatap langit Bandung yang semakin mendung.
Aku mencoba menghubungi Ibu untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja.
"Halo, Ibu?"
"Iya Al, ada apa?"
"Ibu lagi dimana? Lagi ngapain?"
"Ibu lagi di rumah, lagi ngobrol sama Tante Selly. Kamu kenapa Al?" Sepertinya Ibu merasakan ada yang aneh dari nada bicaraku. Seakan-akan Ibu tahu aku sedang mengkhawatirkan sesuatu yang entah apa dan pada siapa.
"Enggak apa-apa Bu, Cuma lagi nggak enak hati aja makanya langsung telpon Ibu. Takut ada apa-apa."
"Ibu nggak apa-apa kok sayang."
"Syukurlah kalo nggak ada apa-apa."
"Kamu dimana?"
"Aku masih di Kantor Bu"
"Kamu udah makan?"
"Udah Bu"
"Udah Shalat?"
"Belum Bu."
"Nah, coba shalat dulu sana, biar hilang nggak enak hatinya."
"Iya Bu."
"Kalau kerjaan beres langsung pulang ya, jangan kemana-mana dulu."
"Siap Bu, Assalamualaikum."
"Alaikumsalam."
Setelah telepon ku tutup aku segera mengambil air wudhu untuk menunaikan shalat ashar.
Setelah shalat ashar, seperti biasa aku berdoa. Aku masih menyebut selalu menyebut nama seseorang dalam setiap doaku. Aku kembali ke ruanganku untuk menyelesaikan pekerjaanku agar bisa cepat pulang.
Di perjalanan pulang, hujan mulai turun dan aku dibuat kesal dan bosan karena terjebak di kemacetan kota Bandung.
Aku menyalakan radio di mobilku, setidaknya bisa mengurangi rasa bosanku. Saat aku mengganti saluran ke stasiun radio favoritku, aku sedikit menyesal karena lagu yang saat itu diputar adalah lagu yang mengingatkanku pada Alika. Ah! Rinduku kambuh lagi.
"Alika, kamu dimana? Kamu lagi ngapain? Aku rindu kamu. Boleh kan? Jangan larang, Aku tak senang!" Lagi-lagi kalimat semacam itu yang selalu terlintas di pikiranku saat aku merindukan Alika. Entahlah mengapa bisa serumit ini.
Lengkaplah sudah. Terjebak macet, masih merasa nggak enak hati, dan yang paling berat adalah pikiranku dipenuhi Alika sepanjang perjalanan. Mungkin sebagian dari kalian akan menganggap aku terlalu berlebihan, tapi inilah perasaan, jangan dilawan.
Setibanya di Rumah, aku langsung merebahkan badanku di ruang tengah untuk menghilangkan rasa lelahku. Badanku lemas sekali, dan kesal rasanya, Alika masih belum beranjak dari pikiranku sedari tadi.
Saat aku hampir tertidur di ruang tengah tiba-tiba Ibu menghampiriku sambil membawakanku secangkir kopi hangat kesukaanku.
"Hey, capek banget kayanya"
Aku hanya sedikit mengangguk.
"Nih, minum dulu kopinya. Biar hangat tuh badan kamu" Kata Ibu menyimpan secangkir kopi di meja, lalu Ibu pergi ke kamarnya.
Aku hanya terdiam tak menjawab apapun. Yang bergerak hanyalah jemariku yang memainkan sebuah pulpen yang akupun tak tahu untuk apa ku lakukan itu. Tatapanku kosong, pikiranku dipenuhi Alika. Aku yakin perasaan nggak enak hati ini ada hubungannya dengan Alika, aku sangat yakin. Ada apa dengan Alika? Aku ingin tahu kabarnya, aku ingin memastikan dia tidak apa-apa. Ah Tuhan, tolonglah. Setidaknya, tolong hapus perasaan ini jika Kau tak izinkan aku jumpa dengannya.
Ibu kembali menghampiriku membawa sesuatu.
"Sebenernya Ibu ngga mau nyampein ini, soalnya ibu tahu banget perasaan kamu bakal kaya gimana. Tapi ini amanat, dosa kalau nggak disampein." Ibu memberikanku sebuah undangan.
"Undangan siapa ini?" Kutanya Ibu sambil kubuka undangan itu.
"Mungkin ini yang dari tadi bikin kamu nggak enak hati" Jawab ibu dengan tatapannya yang tidak seperti biasanya.
Aku membuka isi undangan itu. Ya Tuhan, entah apa yang bisa kukatakan saat itu. Ternyata Alika benar-benar akan dinikahi tentara itu. Aku lemas seketika, seperti dijatuhkan ke dasar jurang, Aku merasa seolah kehilangan segala yang aku punya di dunia dalam sekejap.
Setiap hari, aku masih menyebut nama Alika dalam setiap doaku. Ku kira aku masih mempunyai kesempatan untuk dipersatukan dengan Alika lagi. Tapi lewat undangan ini, mungkin Alika sudah menutup segala kemungkinan yang selalu aku semogakan. Sekarang, sudah dipastikan bahwa Alika tak mungkin bisa kumiliki lagi, tapi senyumnya masih terbingkai rapi jauh di sudut hati ini, walau mungkin akan segera berdebu dan rapuh termakan waktu. Ya Tuhan, tolonglah.
"Siapa yang nganterin undangan ini?" Kutanya Ibu.
"Alika." Jawab Ibu singkat.
"Sendiri?" Kutanya lagi.
"Sama calon suaminya."
"Kamu harus kuat, jangan nangis depan Ibu."
"Aku nggak nangis, mataku hanya berkeringat."
Suasana hening kembali. Aku tau Ibu sedang sibuk mencari cara untuk menghiburku. Tapi sepertinya, Ibu merasa ragu dan takut salah dengan apa yang akan Ia bicarakan. Sejujurnya, aku merasa bersyukur ada Ibu disampingku pada saat seperti ini. Hanya Ibu yang mengerti perasaanku, Ibu selalu tau kapan saatnya untuk bicara saat situasi seperti ini. Ibu tak pernah mau melihat anak satu-satunya bersedih.
"Syukur deh, Akhirnya dia nikah juga." Aku menyimpan undangan itu diatas meja, Aku mencoba menutupi kesedihanku. Aku tak mau bersedih di hadapan Ibu.
"Kamu datang ya." Kata Ibu.
"Iya Bu, kalo ngga sibuk."
"Ajak Ruri."
"Kenapa harus ajak Ruri?" Kutanya Ibu heran. Ruri adalah wanita yang sedang kudekati sejak empat bulan terakhir.
"Kamu harus terlihat bahagia sama kehidupan kamu sekarang. Jangan nunjukkin kamu sedih di depan Alika, Kasihan."
"Emang kalo aku sedih kenapa Bu?"
"Nanti Alika ikut sedih."
"Ngga mungkin lah, ini akan jadi hari bahagianya Bu." Kataku sambil mengambil undangan yang tadi ku simpan di meja.
"Tadi kan Ibu ngobrol dulu sama Alika, Ibu tau banget perasaannya kaya gimana Al."
"Ngobrol apa aja?"
"Tadi dia bilang, kalau sampai sekarang dia masih mencintai kamu, dia ngga pernah berharap bakal jadi kaya gini, dia juga bilang kalo dia akan lebih kalau nama kamu yang ada di undangan itu, bukan orang lain."
"Serius dia ngomong gitu? Depan calon suaminya?"
"Calon suaminya nunggu di mobil, dia minta waktu ngobrol sama ibu di sini. Tadi dia sampai nangis sambil peluk ibu."
"Ibu nggak lagi bohong?"
"Kalau ibu bohong, berarti Ibu lagi ngedidik kamu buat jadi pembohong. Ibu nggak pernah ngelakuin itu."
Sumpah, Ibu selalu jadi penenang segala gundahku, apa yang ibu ucapkan membuatku bisa lebih tenang. Air mata yang tadinya memaksaku untuk menetes, kini dapat ku kendalikan. Terima Kasih, Bu. Aku beruntung punya Ibu.
"Dia juga titip pesen sama Ibu."
"Apa?"
"Katanya, kamu nggak boleh nakal lagi, nggak boleh ikut-ikut geng motor lagi, nggak boleh berantem-berantem lagi, nggak boleh pulang malem seenaknya, nggak boleh boros, harus kasian sama Ibu, harus sayang sama Ibu."
"Pasti ada yang Ibu tambahin."
"Iya, sedikit hehe"
Ibu tertawa kecil dan memelukku erat, mengusap rambutku, membawaku ke dalam perlidungan paling kuat di dunia.
Dalam hati, aku mencoba mendoakan segala yang terbaik untuk Alika, meski aku tahu bahwa itu adalah hal tersulit yang pernah aku hadapi. Tapi aku lakukan dengan setulus-tulusnya.
Entah mengapa saat itu aku bisa tersenyum lepas di hadapan Ibu, jika ini memang rencana Ibu untuk membuatku tersenyum dan tak lagi bersedih, Ibu berhasil.
Aku mencoba menguatkan diri untuk bisa melewati hari-hari yang lebih berat dari sebelumnya. Benar-benar tanpa Alika, meski sebenarnya aku tidak sepenuhnya sendiri. Aku menyayangimu Alika, aku juga menyayangimu Ruri, aku tidak akan melepas Ruri, aku tidak mau kehilangan seseorang yang berharga untuk kedua kalinya, aku tidak akan membiarkan seorangpun mengambil Ruri, kecuali dia ingin berhenti bernafas.
Pada hari pernikahan Alika, aku memang berencana untuk datang ke pernikahan Alika. Tapi aku urungkan niatku, aku takut membuat diriku rapuh lagi jika harus melihat secara langsung seseorang yang pernah aku cintai bahkan masih aku cintai duduk di pelaminan bersama orang lain. Aku harus menjaga perasaanku agar bisa berhenti mencintai Alika, Aku harus menyayangi Ruri, aku harus membangun hubungan yang lebih kuat bersama Ruri, aku harus bisa hidup bahagia, tanpa diganggu lagi bayangan Alika. Sulit? Aku akan hadapi semampuku.
Pada hari itu aku memutuskan untuk pergi bersama Ruri, dia membuatku tersenyum sepanjang hari, aku senang.

Melepas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang