Minggu yang cerah ini akan menjadi hari minggu pertamaku setelah berstatus pacarnya Alika. Sekitar jam lima sore aku sudah berdandan rapi, aku memang sudah berniat untuk datang ke rumah Alika, tapi aku tidak bilang pada Alika bahwa aku akan ke rumahnya, aku bilang pada Alika malam ini ada acara bersama teman-temanku, Alika mengizinkanku pergi.
Setelah siap, aku berangkat menuju rumah Alika, aku membeli beberapa macam cemilan untuk Alika dan orang tuanya nanti.
Saat aku tiba di rumah Alika, aku langsung mengetuk pintu dan yang membukakan pintu adalah adiknya Alika. Aku langsung menyapanya.
"Malam De, Kak Alikanya ada?"
"Ada, sebentar ya." Kata adiknya Alika, lalu berteriak-teriak memanggil Alika.
Tak lama, Alika menghampiriku yang saat itu duduk di kursi teras rumahnya.
"Ih, katanya mau nongkrong sama temen?" Tanya Alika.
"Bosan." Kataku.
"Bosan kenapa?"
"Aku udah tahu semua tempat nongkrong yang asyik di Bandung, tapi kakiku selalu meminta untuk melangkahkannya ke tempat dimana kamu berada." Kata-kataku membuat Alika tersenyum.
"Abis buka internet ya?" Alika meledekku.
"Nyuri dari status temen." Kataku tertawa.
"Kamu nggak bilang mau kesini, aku malu, abis beres-beres rumah, belum mandi, jadi kucel gini."
"Tanpa lipstik dan alis lentik kamu tetep cantik." Kataku.
"Ih, nyuri dari status temen juga?"
"Iya, maaf aku nggak pinter gombal."
"Tapi kamu pinter bikin aku bahagia." Kata Alika lalu mencubit pipiku. "Yuk masuk, tapi aku mau ganti baju dulu."
Aku memperhatikan suasana di sekelilingku selagi menunggu Alika ganti baju, disana aku melihat beberapa foto keluarga, keluarga yang lengkap. Ada Ayahnya, Ibunya, Alika dan adiknya. Aku sedikit merasa iri karena aku tak pernah punya foto keluarga selengkap itu. Foto keluargaku hanya ada aku dan Ibu. Tapi hadirnya Alika sangat mengisi kekosongan yang ada pada hidupku, mungkin aku akan punya foto keluarga yang lengkap bersama Alika nanti, beserta anak-anaku juga. Aku tiba-tiba berkhaya sejauh itu.
Saat Alika kembali, dia langsung duduk di sebelahku, memandangku, tersenyum manis, dan membuatku aku melakukan hal yang sama. Aku bahagia, dan aku tahu Alika juga merasakan bahagia.
"Ini, aku bawa makanan." Kataku sambil menyerahkan makanan yang tadi kubeli.
"Apa ini?" Tanya Alika membuka makanan itu.
"Aku beli, nggak masak sendiri, jadi harus habis."
"Haha, kalau ini masakan kamu aku habisin kok." Kata Alika tertawa. "Ibu, ada yang bawain makanan." Kata Alika berteriak memanggil Ibunya.
Perasaanku campur aduk saat itu, aku merasa takut, malu, tapi aku juga merasa senang bisa diperkenalkan dengan Ibunya Alika. Ini pertama kalinya aku diperkenalkan pada orang tua dari wanita yang sedang aku pacari.
Ibunya Alika menghampiri aku dan Alika.
"Siapa ini?" Tanya Ibunya Alika.
"Saya Alvia Bu." Kataku lau mencium tangan Ibunya Alika.
"Oh ini yang namanya Alvia." Kata Ibunya.
Lalu Ibunya Alika duduk bersama aku dan Alika membuat aku tak bisa lagi leluasa berbincang dengan Alika, mungkin aku akan lebih banyak diam.
"Kerja dimana nak?" Tanya Ibu.
"Belum Bu, baru lulus sekolah, mau kuliah dulu kayanya, itu juga tahun depan." Jawabku.
"Oh, jadi sekarang ngapain aja?"
"Nggak ada rutinitas sih sekarang, tapi mau kursus lagi buat tes kuliah tahun depan biar bisa masuk perguruan tinggi." Kataku.
"Oh, padahal sambil kerja aja dulu, lumayan kan banyak waktu kosong." Kata Ibu. "Alika kan udah berumur, kalau cewek seumuran Alika udah matang buat nikah, mau emang Alikanya disalip orang?" Kata-kata Ibunya Alika membuatku kaget.
Aku rasa Ibunya Alika tidak sedang becanda. sejak aku bertatapan dengannya, aku merasa kurang disambut dengan baik, bahkan tak sedikitpun Ibunya Alika memberi senyum padaku, aku mencoba untuk menganggap perasaanku terlalu berlebihan, tapi itu menjadi sesuatu yang aku pikirkan saat ini.
"Ih, Ibu apaan sih!" Alika langsung cemberut.
"Iya Bu, saya usahakan sambil kerja juga." Kataku grogi.
"Ibu kamu kerja?" Tanya Ibunya lagi.
"Ibu saya guru agama Bu, penceramah juga." Jawabku.
"Oh, kalau Ayahmu?" Ibunya Alika bertanya banyak hal, aku merasa sedang di interogasi.
"Saya nggak tinggal sama Ayah sejak kecil."
"Cerai?"
"Iya." Kujawab singkat.
"Nikah lagi?" Tanya Ibu lagi.
"Bu, udah dong nanya-nanyanya, kaya lagi di kantor polisi aja." Kata Alika memotong. "Udah ah, aku mau diluar aja sama Alvi." Kata Alika menarik tanganku untuk keluar.
"Saya permisi Bu." Kataku pada Ibu.
Alika memang sangat mengerti apa yang aku rasakan, Alika sangat pintar membaca situasi yang sekiranya akan membuatku kesal. Ya, aku memang dibuat kesal dengan sikap Ibunya Alika yang dingin dan terlalu banyak bertanya tentang hal yang tidak mau aku bahas. Ibunya Alika terlihat tak suka padaku, sehingga Ia berpikir untuk membuat aku juga tak suka padanya. Mungkin Ibunya Alika juga berpikir cara ini bisa membuat aku ikut kesal pada Alika, lalu bertengkar, lalu putus. Aku tahu itu yang diharapkan Ibunya.
"Maafin Ibu ya, emang gitu." Kata Alika.
"Kelihatannya Ibu nggak suka sama aku." Kataku.
"Bukan gitu, Ibu itu Cuma...."
"Ibu kamu nggak becanda kan tentang kamu harus cepet nikah." Kataku memotong pembicaraan.
"Alvi, kamu kenapa sih?" Alika kesal.
"Ibu kamu bukan manusia." Kataku.
"Hah?" Alika kaget lalu menatapku tajam seperti mau marah.
"Mana ada manusia anaknya bidadari." Aku menatapnya lalu tertawa.
"Ih, kamu bikin kesel aja." Alika menjambak rambutku.
Malam itu, aku memang dibuat bahagia oleh Alika, tapi disisi lain aku juga dibuat bingung dengan sikap Ibunya terhadapku. Aku merasakan sesuatu yang tak bagus, dari cara Ibunya menatapku dan berbicara padaku sangat kurang nyaman kurasakan. Aku harap ini hanya perasaanku saja yang terlalu berlebihan, bukan karena Ibunya benar-benar tak suka padaku.
Aku berbincang banyak hal dengan Alika, bercerita kembali tentang awal pertama kenal dan bagaimana perasaan masing-masing saat itu, aku tak menyangka sekarang Alika sudah jadi milikku, aku terlalu bahagia hingga aku lupa mensyukuri apa yang aku dapat dari Tuhan. "Terimakasih Tuhan, aku akan menjaga mahakaryaMu ini."
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan. Aku berniat untuk pulang, aku pamit pada Ibunya Alika. Dan aku merasa Ibunya tetap bersifat seperti tadi, seolah tak mengharapkanku untuk ada disitu. Alika mengantarku sampai ke depan gerbang rumahnya.
"Hati-hati ya, kalau jatuh pura-pura push up." Kata Alika. Kalimat itu selalu Alika ucapkan setiap aku akan pergi sendiri dengan motorku.
. "Iya, sayang." Kataku.
Aku melajukan motorku perlahan, menatap Alika lewat kaca spionku.
Aku pulang dengan perasaan yang saling berlawanan di hatiku, aku bahagia dan aku bingung.
"Terimakasih Alika, untuk malam indah dan canda tawanya. Sampaikan pada Ibumu, Aku mencintai anaknya"
KAMU SEDANG MEMBACA
Melepas Cinta
RomanceAku cinta dia, dan aku tahu dia punya rasa yang sama. Dia lebih dari sekedar berarti bagiku, dia bagian penting di hidupku. Disaat Tuhan izinkan aku dan dia bersama. Ada sesuatu yang tak bisa dia lawan, hingga akhirnya membuat dia pergi dari hidupku...