Prolog

8.8K 301 14
                                    

Aku bisa berdiam seharian disaat hujan turun.
Teman-temanku mengatakan aku ini Pluviophile.

Kalian tahu apa itu Pluviophile?
Pluviophile adalah sebutan bagi mereka yang menyukai hujan, dan merasakan kedamaian saat hujan turun.

Tapi memang begitulah aku. Aku sangat bahagia ketika hujan turun, rasanya damai sekali seolah masalahku hilang bersama dengan turunnya hujan. Aroma petrichor yang muncul juga membuat perasaanku tenang, melupakan sejenak setiap kesedihan.

.
.

Kelulusan SMA sudah lewat, aku lulus dengan nilai cukup memuaskan. Aku putuskan untuk meninggalkan kota kelahiranku, Bandung, dan merantau ke Ibukota untuk melanjutkan pendidikanku.

Sejak kepergian Mama tiga tahun lalu untuk selamanya, aku hanya tinggal bertiga dengan kakak laki-laki serta Papaku yang super sibuk. Papa menjadi workaholic semenjak sepeninggal Mama. Kesibukannya membuatnya jarang berada dirumah. Sedih rasanya, ingin sekali semua kembali seperti sebelum Mama meninggalkan kami.

"Kamu yakin Dek mau lanjut ke Jakarta, di sini kan juga ada jurusan yang kamu mau?" Tanya kak Rafael, kakak laki-lakiku satu-satunya.

"Iya kak, Irish yakin kok, Irish juga ingin hidup mandiri dan juga Irish ingin melupakan dulu setiap kenangan buruk di kota ini sampai Irish siap Kak." jawabku yakin, kak Rafa hanya mengangguk menyerah untuk menahanku tetap tinggal. Setelah selesai mengemasi semua keperluanku, aku beranjak ke dapur untuk memasakan makan siangku dan kak Rafa.

"Kakak akan sering mengunjungimu jika waktu luang," ucapan singkat kak Rafa setelah menyelesaikan makan siangnya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk singkat.

"Kakak ke kantor dulu, ada rapat penting. Kakak usahakan akan pulang cepat malam ini." Kak Rafa bangkit dari duduknya lalu mencium sekilas puncak kepalaku kemudian mengambil kunci mobilnya dan pergi.

Kak Rafa memang sudah bekerja, perbedaan usia kami terpaut 5 tahun. Semenjak Mama ngga ada, kak Rafa lah yang selalu menyemangatiku yang sempat down karena belum siap ditinggal mama pergi. Kak Rafa bagiku orang yang kuat, namun aku tahu kak Rafa juga terpukul akan kepergian Mama apalagi sikap Papa yang berubah 180 derajat pasti juga membebaninya.

Lulus kuliah, kak Rafa membangun perusahaan cabang dari perusahaan Papa, namun Papa tidak terlalu andil membantu karena Papa juga mengurus perusahaan pusat. Kak Rafa memang orang yang cekatan, terbukti perusahaan yang dipegangnya cukup sukses.

Semakin terasa sepi di rumah jika kak Rafa pergi, kalau soal Papa, aku sudah terbiasa dengan jarang adanya Papa dirumah. Pulang dan tidak pulangpun sama saja, Papa tidak pernah menanyakan keadaan kami, baginya melihat kami masih dapat beraktifitaspun sudah cukup. Bahkan rencanaku meneruskan kuliah di Jakarta langsung ia izinkan tanpa menanyakan hal apapun yang membuatku ingin melanjut di luar kota. Miris bukan?

....

"Hei Irish jangan melamun yang iya iya mulu, cepat antarkan pesanan ini!"

Aku tersadar dari lamunanku yang entah sejak kapan. Karin, sahabat baruku sejak aku tinggal di jakarta, memberikan secarik kertas daftar pesanan dari beberapa meja untuk aku antarkan.

Sudah hampir satu setengah tahun lebih aku tinggal di Jakarta dan berkuliah disini, aku mengontrak sebuah rumah sederhana untuk menjadi tempat tinggalku.

"Cepatlah Irish," ujar Karin lagi dengan nada tak sabar karena aku belum juga beranjak dari tempatku.

"Baiklah baiklah," aku segera melakukan pekerjaanku sebelum Karin lebih banyak lagi mengomel.

Kak Rafa memang memberikanku kiriman uang yang cukup, namun aku ingin belajar mencari uang sendiri dengan bekerja di kafe kecil milik tantenya Karin ini.

Jika pagi aku kuliah maka malamnya aku akan pergi bekerja disini sebagai pelayan atau mengisi live music jika diperlukan, begitu pula Karin. Kami bertemu saat penerimaan Mahasiswa baru di kampus kami, meski berbeda jurusan namun kami bisa menjadi dekat dalam waktu singkat.

Karin sudah tidak memiliki orang tua, sejak usia empat tahun ia dirawat oleh tantenya, kakak dari ibunya, oleh karena itu untuk membalas kebaikan tantenya, Karin turut membantu menjalankan kafe kecil ini.

Mungkin kami memiliki kemiripan, meski aku masih memiliki seorang Ayah, namun aku tidak pernah merasa benar-benar memilikinya.

Tepat pukul sebelas malam, kafe tutup. Setelah beres-beres sedikit, aku berpamitan pada Karin untuk pulang.

"Hati-hati Irish!" Pesannya setiap kali aku akan pulang.

Kontrakanku tidak terlalu jauh dari kafe, jadi aku hanya butuh sepeda untuk berangkat kerja. Kak Rafa yang memberikannya karena aku menolak dibelikan mobil atau motor, toh letak kampus, kontrakan dan kafe tidak memakan waktu terlalu lama untuk ditempuh.

Aku memasang headset ditelingaku, lalu mengayuh sepeda melewati jalan yang mulai nampak sepi.

Daerah kafe memang bukan daerah yang terlalu ramai, oleh karena itu diatas jam sepuluh sudah nampak sepi seperti ini, aku tidak takut karena sudah terbiasa dan selama ini aman.

"Hello Shippo! Do you miss me?" Shippo, anjing kecilku, segera menghampiriku setiap kali aku tiba di rumah.

Dia teman kecilku selama di Bandung, namanya kuambil dari satu nama tokoh dalam salah satu serial anime favoritku, kak Rafa jugalah yang memberikannya, katanya ia tak ingin melihatku kesepian maka dari itu ia membelikanku seekor anak anjing jenis Maltese berbulu putih dan benar-benar ampuh membuatku tidak terlalu merasa sepi.

"Kemarilah," aku meletakkan tempat makannya di lantai lalu menuangkan sereal khusus untuk anjing kesukaannya ke sana.

Ku ganti pakaianku dan mandi. Usai mandi ku lihat Shippo sudah berbaring di bantal favoritnya, akupun masuk ke kamarku dan tidur. Besok aku harus berangkat pagi ke kampus.

....

Hal terburuk yang paling aku benci adalah kesiangan, aku belum pernah kesiangan seperti ini.

Aku harus berterima kasih pada Shippoku yang membangunkanku sebelum keterlambatanku menjadi lebih fatal.

Ku kayuh sepedaku dengan cepat menuju ke kampus, "Pak titip sepeda ya seperti biasa!" Pesanku pada satpam kampus yang memang sudah mengenalku.

"Hati-hati non Irish larinya!"

Aku mengangkat tinggi jempolku sambil terus berlari.

Aku sering menitipkan sepedaku pada Pak Umar setiap kali ke kampus karena jarak gedung jurusanku dan pos satpam tidak terlalu jauh.

BRUK!

Terlalu serius berlari membuatku lupa fokus pada arahku.

"Ouch!" Rasanya lumayan sakit saat tiba-tiba bokongmu mencium paving block.

"Kau tidak apa?" Sebuah tangan terulur dihadapanku. Aku menatap sejenak si pemilik tangan, sedikit silau karena ternyata dirinya lumayan tinggi untuk dilihat olehku yang masih belum beranjak berdiri.

Astaga aku hampir lupa!

Aku berdiri tanpa menyambut tangannya, "maaf saya buru-buru," lalu berlari melewatinya begitu saja.

Pasti aku terkesan bersikap buruk saat ini, tapi demi neptunus dan uranus aku harus segera masuk ke kelas atau koit. Karena dosen pagi ini sangatlah mengerikan.

Jika nanti bertemu lagi mungkin aku harus minta maaf lebih sopan padanya.

****

Prolog. End.

T
.
B
.
C

PluviophileTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang