"Lo yakin mau jadi panitia OSPEK Ris?" Tanya Karin saat keduanya sedang duduk berdua di kantin.
"Iya gue yakin kok, lagian udah disiapin surat dispensasi buat gue biar bisa jadi panitia."
"Lo mau cari bronies ya di OSPEK." Karin menatap Irish dengan tatapan jahil.
"Bronies ndasmu pitak, gue cuma pingin ada pengalaman aja, tahun depan kan belum tentu bisa, jadi ya kapan lagi."
Karin manggut-manggut sambil menyeruput jusnya. Karin tidak heran jika sahabatnya ini bisa ditunjuk jadi salah satu panitia di fakultasnya. Sejak jadi mahasiswi baru, dirinya memang cepat akrab dengan senior termasuk para pengurus-pengurus organisasi kampus.
Karin melihat jam tangannya sejenak, "gue masuk duluan ya Ris, bentar lagi ada kelas gue."
"Oke!"
Karin meninggalkan Irish di kantin. Irish tadi baru saja selesai kelas, setelah ini dirinya tidak ada lagi mata kuliah maka hanya menunggu Karin selesai setelah itu mereka akan pergi ke kafe seperti biasa.
Irish pergi ke perpustakaan kampus untuk menghabiskan waktu di sana sambil menunggu sahabatnya keluar kelas.
Mengambil sebuah buku lalu duduk di salah satu kursi. Irish memasang headset di telinganya, memutar musik dari smartphonenya, selanjutnya dirinya tenggelam dalam buku yang dipegangnya ditemani musik yang disetelnya.
Satu setengah jam kemudian, ketenangan Irish terusik saat sebuah gulungan kertas dipukul ke puncak kepalanya. Irish hanya menatap sahabatnya dengan tatapan protes.
Karin duduk disampingnya, menyalakan layar ponsel Irish untuk melihat judul lagu yang didengarnya, lalu tatapannya beralih ke buku yang dipegang sahabatnya.
"Lo sakit?"
"Apaan?" Irish melepas satu headsetnya.
"Lo sakit? Denger musik romance tapi bacanya buku bahasa program?! Apa hubungannya coba?"
Irish menatap datar Karin, "lo tau ngga? Ini salah satu kisah romantis teknik informatika."
Irish kembali memasang headsetnya, mengabaikan sahabatnya yang sedang menatapnya dengan tatapan sohib.gue.gila.
Hari mulai mendung saat kedua sahabat ini meninggalkan perpustakaan.
"Ayo Ris keburu hujan."
"Yee hujan air gini kenapa memangnya?" Sahut Irish santai.
"Ish, serah lo dah, gue ke kafe duluan udah di telpon tante, ntar lo nyusul."
"Oke!"
Karin meninggalkan Irish yang masih berjalan santai menyusuri koridor kampus. Matanya memandangi awan yang mulai kelabu.
Irish keluar dari koridor saat rintik hujan satu persatu jatuh ke bumi. Irish menutup mata sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Diulurkannya tangannya, menangkap rintikan hujan yang semakin deras.
Namun tiba-tiba rintikan hujan diwajahnya berhenti padahal suara jatuhnya ketika menyentuh tanah masih terdengar jelas.
"Lo gila?" Sebuah suara membuat Irish membuka matanya dan menatap ke arah sumber suara.
"Hah?"
Seorang cowo sedang memayunginya.
"Ini hujan dan lo malah mainan hujan? Masa kecil lo kurang bahagia?"
Irish tersenyum masam. "Maaf bukan urusan anda." Irish melangkahkan kakinya meninggalkan cowo tersebut. Namun tangannya dicekal.
"Sorry kalau kata-kata gue salah," cowo tersebut mengambil tangan Irish lalu membuatnya menggenggam payungnya. "Lo bisa sakit kalau mainan hujan." Kemudian menerobos hujan ke arah parkiran kampus, meninggalkan Irish yang menatapnya bingung sambil memegang payung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pluviophile
Romance"Kamu adalah pelangi indah yang muncul ketika hujan reda. Tidak akan kubiarkan seorangpun membuat warna indahmu pudar."