Maaf kalo part ini ngebosenin :( Buntu sih ya ide nya.
Happy reading!
***
Raina baru saja keluar dari gerbang sekolahnya ketika rintik-rintik air itu membasahi tubuhnya. Dia mendongak ke atas. Gerimis, batinnya.
Dia tersenyum. Gerimis adalah salah satu hal yang disukainya.
Raina merapatkan jaketnya ketika hawa dingin menyergapnya. Mengambil nafas agak panjang, menghembuskannya, lalu kembali melangkahkan kakinya menuju jalan raya yang berjarak sekitar 100 meter dari tempatnya berada saat ini.
Seperti beberapa minggu terakhir ini, walaupun sebenarnya hari sabtu merupakan hari libur, namun Raina lebih sering berada di sekolah. Untuk apalagi kalau bukan latihan biola. Apalagi dengan akan tampilnya klub biola sekolahnya pada saat HUT sekolahnya yang akan diadakan beberapa hari lagi. Jadwal latihannya menjadi semakin padat.
Hari semakin gelap ketika Raina hendak menyeberang jalan raya. Dia melihat jam tangannya, pukul 17.15. Padahal biasanya jam segini belum gelap-gelap amat. Mungkin karena hujan, pikirnya.
Dan kecerobohannya kembali terulang. Gadis dengan rambut diikat kuda itu menyebrang jalan masih dengan melihat jam tangannya. Tanpa menyadari kalau dari arah kanannya melaju sebuah mobil dengan kecepatan lumayan kencang.
CIIITTTT
"Aaaaaa!!!" Sorot lampu itu menyorot tepat pada tubuh Raina. Reflek, bukannya berlari, dia malah menutupi wajahnya dengan telapak tangannya.
Tapi, setelah itu, Raina tak merasakan apa-apa. Dia tak merasakan tubuhnya terhempas atau apalah seperti yang biasa dialami orang-orang yang habis ditabrak mobil.
"Nak, kamu nggakpapa?" Raina cengo, dia menurunkan tangannya yang tadinya menutupi wajahnya. Di depannya sudah berdiri seorang ibu-ibu yang menatapnya panik.
"Loh? Eh?" Ke-cengo-an Raina masih saja berlanjut.
"Kamu tadi hampir aja ketabrak." Si Ibu itu berusaha menjelaskan, sambil meneliti bagian tubuh Raina. Kali aja ada yang luka atau tergores. "Kamu nggakpapa, kan?"
"Oh iya saya nggakpapa kok bu." Si Ibu itu bernapas lega begitu mengetahui kalau Raina tidak terluka barang sedikitpun.
"Sebagai permintaan maaf saya, gimana kalau adek saya antar pulang?" Si Ibu itu mengambil nafas sejenak. "Adek rumahnya dimana?"
"Eh nggak usah, saya pulang naik angkutan umum saja."
"Udah nggak usah sungkan, kamu saya antar saja."
Dan setelahnya, Raina Cuma nurut sama permintaan ibu itu. Dia masuk ke dalam mobil ibu itu. Dan Baru sadar kalau barusan, dia ngobrol di lajur kiri di jalan raya. Untung aja jalanan lagi sepi dan untung aja nggak dimaki-maki sama orang!
***
Ujung-ujungnya, Raina tidak pulang ke rumahnya. Melainkan ke sebuah rumah di kawasan perumahan elit yang ukuran rumah di kawasan ini hampir 4 kali ukuran rumahnya.
Tadi, si Ibu yang ternyata bernama Liliana, dan meminta Raina memanggilnya dengan sebutan Tante Liana, memintanya untuk ikut ke rumahnya. Katanya, sekalian makan malem bareng itung-itung permohonan maafnya. Padahal kalau dipikir-pikir, sebenernya yang tadi salah tuh Raina karena dia nggak merhatiin jalan. Tapi, yasudahlah. Raina sih oke-oke saja. Toh setelah ini dia bakal dapet makan gratis. Toh kalau di rumah belum juga tentu ada orang dan belum tentu ada makanan. Ugh!
Raina ikut turun bersama Tante Liana, memasuki rumah dua lantai yang dari luarnya saja sudah terlihat sangat megah itu. Baru memasuki ruang tamu saja, Raina sudah kembali terkagum-kagum dengan keindahan arsitektur rumah itu. Warna putih gading yang mendominasi ruangan itu terlihat sangat anggun. Berpadu dengan perabotan bergaya klasik yang baru melihatnya saja, Raina sudah menyimpulkan kalau harga barang-barang itu tidak main-main.