Senyampang masih weekend, update nya dibanyakin dulu. Besok-besok mah udah sibuk lagi, hihi
Happy reading!
***
"Dek, makan dulu."
Seseorang menepuk-nepuk pipinya. Membuat Raina menggeram kesal. Dia baru saja bisa terlelap setelah semalam tidak bisa tidur karena suhu tubuhnya yang meninggi. Tapi belum juga kantuknya terobati, ia sudah dibangunkan kembali.
"Makan dulu, biar cepet sembuh." Tambah Arda, orang yang tadi menepuk-nepuk pipinya. Laki-laki itu duduk di pinggiran kasurnya. Dengan sebuah mangkuk berisi bubur ayam yang terlihat menggiurkan. Membuat perut Raina yang semalam tidak diisi makanan pun menjadi keroncongan.
Mengingat tentang semalam, dia jadi menyesal sendiri. Harus nya dia tidak seperti anak kecil yang ngambek dengan cara berdiri di bawah hujan deras seperti itu. Karena sekarang, ia mendapatkan sendiri akibatnya. Tubuhnya demam tinggi disertai dengan flu.
Apalagi mengingat kalau semalam ia meminta atau lebih tepatnya memaksa Axel untuk memeluknya. Rasa-rasa nya, Raina ingin menguburkan kepalanya ke dalam-dalam ke tanah jika mengingatnya.
"Buka mulutnya." Arda menyuapkan sesendok bubur ke Raina. Adik kecilnya itu buru-buru mengunyahnya.
Arda tersenyum melihatnya. Untung saja, adiknya itu masih doyan makan sewaktu sakit. Tidak seperti kebanyak orang sakit yang susah untuk disuruh makan.
"Abang nggak kuliah?" Tanya Raina, setelah menghabiskan semangkuk bubur ayam dan segelas air putih yang dibawa oleh Arda.
Arda meletakkan mangkuk dan gelas kotor di nakas sebelah tempat tidur Raina. "Nggak. Kalo abang berangkat, kamu sama siapa? Mama sama Papa masih di Semarang, Bayu juga sekolah. Mau di rumah sendirian?"
Raina menggeleng cepat-cepat. "Nggak, nggak mau."
Namun Arda tak membalas perkataan Raina barusan. Laki-laki itu terdiam. Memperhatikan bola mata coklat tua Raina yang terlihat lelah.
"Ada apa, Bang?"
Arda berdeham mendengar pertanyaan Raina barusan. Seolah perempuan itu tau kalau dirinya ingin berkata sesuatu, "Kamu ... putus sama Alex?"
Raina terbelalak tak percaya dengan pertanyaan Arda barusan. Kerutan dalam jelas terlihat di dahi perempuan itu. Seakan-akan dia tidak percaya dengan apa yang baru saja ditanyakan oleh abang nya. "Maksud abang apa?"
Tapi Arda tak menjawab nya. Laki-laki itu malah keluar dari kamarnya, membawa serta mangkuk serta gelas kotor yang tadi ia letakkan di nakas. Meninggalkan Raina dengan sejuta tanya di pikirannya.
Namun itu tak berlangsung lama, karena laki-laki itu kembali beberapa saat kemudian. Sebuah majalah berada di genggamannya. Membuat Raina semakin penasaran. Ingin rasanya menghampiri Arda yang terlihat mengulur-ulur waktu dengan menutup pintu kamar Raina secara perlahan-lahan. Namun sayang, berdiri dari tempat tidur saja rasanya kini ia tidak sanggup.
Raina langsung menarik majalah itu begitu Arda sudah berada di dekatnya, lalu membacanya. Tidak butuh waktu yang lama, Arda langsung melihat wajah pucat adiknya itu berubah menjadi pias. Laki-laki itu buru-buru menarik majalah itu dari tangan Raina. Tanpa perlawanan sedikitpun, laki-laki itu melempar jauh-jauh benda yang membuat air mata adiknya itu kini perlahan menetes.
"Maaf, abang nggak tau." Arda memeluk adik nya erat-erat. Membiarkan gadis kecilnya itu menangis meraung-raung di dalam peluknya. Hingga dia jatuh tertidur. Dengan isakan yang masih tertinggal.
***
08 November 2015