Udah ah, kerajinan banget gue update melulu. Itung-itung buat ganti kalo-kalo minggu depan nggak bisa update hoho
Happy reading!
***
Axel meremas kuat-kuat selembar kertas kecil yang berada di tangan kanannya. Kertas berisi alamat sebuah rumah yang kini berada di depannya itu sudah tak berbentuk lagi. Matanya terpejam, merasakan perih yang kini menyayat hatinya. Seakan menggores nya secara tak kasat mata. Namun terasa menyakitkan luar biasa.
Kenapa harus dirinya? Kenapa bukan orang lain saja?
Malam sudah hadir sejak beberapa saat yang lalu. Axel memandang sekitarnya, sepi. Hanya terdengar suara-suara nyanyian katak yang saling bersahutan. Maklum saja, hujan baru saja melanda. Sebenarnya sekarang juga masih hujan. Namun sudah tak sederas tadi. Hanya rintik-rintik kecil. Dan Axel membiarkan tubuhnya dijatuhi rintik air yang membasahi jaket kulit yang dikenakannya.
Dia kembali memandang rumah di hadapannya. Rumah yang sangat ia rindukan. Setelah sekian lama ia meninggalkannya, akhirnya ia bisa kembali ke rumah ini. Walau hanya untuk sekedar berkunjung, bukan lagi tinggal seperti dahulu.
Rumah ini masih terlihat asri. Bahkan lebih asri daripada saat ia tinggalkan beberapa tahun yang lalu. Pohon mangga di depan rumah itu terlihat berbuah cukup banyak. Bahkan pohon itu kini sudah sangat tinggi dan lebat. Sangat jauh berbeda saat pertama kali Papa nya menanamnya.
Axel menghela nafas panjang. Dengan tangannya yang gemetar itu, ia berusaha membuka pagar sebatas pinggang yang tidak terkunci. Bahkan pagar ini tidak juga berubah. Pagar yang dulu sering ia tutup secara kasar. Membuat Bunda nya marah-marah karena ia tidak bisa meninggalkan kebiasaannya menutup gerbang secara kasar itu.
Axel melangkahkan kakinya di jalan kecil yang akan mengantarkannya menuju teras. Jalan kecil yang melintasi rumput jepang yang terpotong rapi dengan bunga-bunga indah yang berada di sisinya. Dulu ia sering usil mengambil bunga yang sedang mekar itu. Yang lagi-lagi membuat Bunda nya marah-marah karena tingkah bandel nya itu.
Ya, dia lah yang paling bandel. Berbeda dengan adiknya yang kalem itu. Adiknya yang selalu menjadi anak kebanggaan Bunda nya karena selalu menuruti kata-kata Bunda nya. Bukan seperti dirinya yang selalu membuat Bunda nya marah-marah karena tingkahnya yang sangat usil. Adiknya yang lahir beberapa menit setelah nya. Adik kesayangannya, yang telah menusuknya dari belakang.
Axel melepas sepatu kets yang dipakainya sebelum menginjakkan kakinya di lantai. Lantai tempatnya bermain dulu kini terasa dingin, juga basah. Mungkin karena cipratan air hujan. Ia berjalan perlahan-lahan. Sambil menguatkan hati nya untuk terus melangkah. Bukannya mundur dan pergi begitu saja setelah menempuh perjalanan panjang ini.
Diketuknya pintu rumah itu. Disini tidak ada bel. Bunda nya sudah kapok memasang bel pintu atau semacamnya. Karena lagi dan lagi, pasti akan memancing tingkah nya yang usil untuk terus-terusan memencet bel itu. Menimbulkan bunyi berisik di dalam rumah.
Ia tersenyum miris. Ia harus meminta maaf kepada Bunda nya setelah ini. Betapa usil dan menjengkelkannya ia dulu. Pasti Bunda nya punya hati yang sangat luas hingga sangat sabar menghadapinya yang sangat bandel ini.
Tak lama, pintu kayu itu mulai terbuka. Axel mengepalkan tangannya erat-erat. Menahan batinnya yang bergejolak. Ia takut jantungnya tiba-tiba akan keluar karena saat ini berdetak sangat kencang. Tapi, bagaimana pun juga, ia harus menghadapi masa lalunya.
Adiknya berdiri di sana. Dengan raut wajah kaget luar biasa. Sama seperti dirinya. Namun bedanya, ia sudah mempersiapkan ini semua. Berbeda dengan adiknya yang tidak mengetahui mengapa sang kakak bisa tiba-tiba muncul di depan pintu rumahnya dengan wajah sendu yang berusaha disembunyikan.
Axel tersenyum. "Hai, Lex. Long time no see. Bunda ... ada?"
***
08 November 2015