Part 17

13.3K 971 34
                                    

Axel menghela nafas lelah. Kemacetan di luar sana membuatnya harus terus berkonsentrasi penuh pada jalanan kalau tidak ingin mobilnya menabrak atau yang lebih parahnya lagi ditabrak oleh pengendara lain. Padahal ia sudah sangat lelah. Bukan hanya fisiknya saja, tapi juga fikirannya.

Suara Sam Smith yang menyanyikan salah satu lagunya memenuhi mobil Axel. Suara merdu laki-laki itu beradu dengan tetesan air hujan yang kian menderas. Sesekali juga beradu dengan suara guntur yang menggelegar.

I have loved you for many years
Maybe I am just not enough
You've made me realise my deepest fear
By lying and tearing us up

Axel meringis kecil mendengar bait itu. Apakah Salma juga merasa belum cukup dengan limpahan cinta nya?

Tapi buru-buru ia singkirkan pikiran negatifnya itu. Ia tidak ingin berburuk sangka. Ia sangat mencintai Salma-nya. Dan belum siap untuk kehilangan gadis itu.

Axel menginjak gas mobilnya pelan-pelan. Mobilnya maju beberapa meter. Lalu kembali berhenti. Sepertinya macet sore ini cukup parah. Apalagi dengan hujan yang akhir-akhir ini turun dengan cukup deras. Pasti jalanan akan ikut tergenang karena meluapnya saluran air di pinggir jalan.

Ia mengedarkan pandangannya ke pinggir jalan yang disana berjajar pertokoan. Mulai dari toko kaset, toko buku, sampai cafe. Tapi ada satu yang menarik perhatiannya. Seorang perempuan yang berdiri di depan sebuah cafe. Tanpa payung atau benda apapun yang dapat melindunginya dari hujan. Baju dan rok selutunya terlihat sudah basah kuyup. Rambutnya yang basah terlihat menutupi wajahnya. Namun Axel tau siapa perempuan itu.

Ia lalu membuka kaca mobilnya. Untung saja mobilnya berada di lajur kiri. Jadi dia tidak perlu repot-repot menepikan mobilnya. Apalagi mobil di depannya juga tak kunjung maju.

"Raina!" Perempuan itu menengok ke arah Axel. Wajahnya pucat. Mata nya terlihat sayu. Axel meringis pedih. Bahkan perempuan se-menjengkelkan Raina bisa terlihat mengenaskan seperti itu.

"Cepetan masuk!" Axel berteriak dari dalam mobil. Tapi perempuan itu seakan tak mendengarkannya. Dia tetap berdiri di tempatnya.

Axel memutar bola matanya. Walaupun terlihat mengenaskan, tapi perempuan itu masih juga menjengkelkan. Ia buru-buru berlari keluar menuju tempat perempuan itu berdiri. Tanpa berkata apapun, ia menyeret perempuan itu untuk masuk ke dalam mobilnya. Perempuan itu mengikutinya, tanpa ada penolakan sedikitpun.

Axel menempatkan Raina di passanger seat. Lalu ia bergegas kembali ke kursi kemudinya. Ia buru-buru menginjak gas, mobil di depannya sudah berjalan saat ia masuk ke dalam mobilnya. Maju beberapa meter, lalu kembali berhenti.

Lantas ia mengambil sebuah jaket yang tadi pagi ia letakkan begitu saja di kursi belakang. Jaket hadiah dari Salma saat ia ulang tahun.

"Lo ngapain sih berdiri di tengah hujan kek gitu? Nggak takut masuk angin? Punya nyawa cadangan?" Cerocos Axel sambil menyampirkan jaket itu ke bahu Raina. Perempuan itu tetap diam. Pandangannya yang terlihat sendu membuat Axel tidak lagi tega untuk memarahi perempuan itu.

Keduanya sama-sama diam. Dengan Axel yang bingung bagaimana caranya mengajak bicara perempuan di sebelahnya yang terlihat seperti mayat hidup, dan Raina yang ingin mengeluarkan semua uneg-unegnya tapi lidahnya terasa sangat kelu.

Suara Sam Smith yang telah berganti menjadi suara Shawn Mendes mengiringi sunyi diantara keduanya. Sesekali Axel akan melirik perempuan di sebelahnya yang terlihat sibuk memandangi tetes air hujan yang mengalir di sisi luar kaca jendela mobilnya.

And I don't even know your name
All I remember is that smile on your face
And it'll kill me everyday
Cause I don't even know your name

Tiba-tiba Axel tertawa. Kecil, tapi membuat Raina memalingkan wajahnya ke arahnya. Perempuan itu terlihat heran. Axel tersenyum kecil, setidaknya kini ia telah mendapatkan sedikit perhatian perempuan itu.

"Lagu ini bikin gue mikir." Axel berdehem kecil. "Sejak pertama kita ketemu, gue belum tau nama asli lo."

Raina mengernyit. "Bukannya tadi lo panggil nama gue?"

Di dalam hati nya, Axel bersorak gembira. Perempuan itu akhirnya mau juga berbicara. "Maksud gue, gue belom tau nama lengkap lo. Dan mungkin juga lo nggak tau nama gue."

Tanpa menunggu Raina membalas perkataannya barusan, Axel mengulurkan tangannya ke arah perempuan itu. "Nama gue, Axel Dewana. Biasa dipanggil Axel. Kapten basket sekaligus cowok paling ganteng satu sekolah."

Raina mendengus mendengar ucapan Axel barusan, tapi tetap saja membalas uluran tangan Axel. "Raina Mahadewi. Terserah mau panggil apa."

"Wow!" Axel kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan di depannya. Mobil di depannya terlihat maju dengan lancar, sepertinya jalanan di depannya sudah tidak macet lagi. "Lo punya nama 'dewi' di nama lo, dan gue punya nama 'dewa' di nama gue."

Raina mengerutkan dahinya, dia juga baru sadar akan adanya bagian dari nama mereka yang hampir sama itu. "Gue baru sadar."

Axel membelokkan mobilnya ke pintu masuk sebuah perumahan tempat tinggal Raina. Waktu nya bersama perempuan itu kini tinggal sedikit, tapi masih ada satu pertanyaan yang mengganjal yang belum terucap. Namun ia ragu. Ia takut kalau pertanyaannya malah menyakiti perempuan itu.

Axel mengambil nafas panjang, ia harus bertanya daripada nanti malam tidak bisa tidur karena penasaran. "Lo ... Tadi kenapa?"

Raina kembali menatapnya. Pandangannya kembali sendu. Axel jadi was-was. Takut kalau dia salah mengucapkan pertanyaan.

Mobil berhenti tepat di depan gerbang rumah Raina. Tapi perempuan itu tak kunjung membuka mulutnya untuk menjawab pertanyaan Axel.

"Kalo lo nggak mau jawab, nggakpapa kok." Axel mengusap tengkuknya yang tidak gatal. Tatapan perempuan itu membuatnya tidak tega memaksa perempuan itu untuk bercerita.

Bukannya menjawab, setetes air mata turun di pipi Raina. Axel makin khawatir. Harusnya ia tidak bertanya seperti itu kepada Raina. Salahkan dirinya yang pengen tau. Salahkan mulutnya yang asal nyerocos.

"Jangan nangis dong!" Axel buru-buru mengusap air mata Raina. Namun bukannya berhenti, air mata itu semakin menderas.

"Peluk gue!" Jerit Raina, Axel melongo.

"Hah? Apa?"

"Kalo gue lagi nangis," Raina mengambil nafas sejenak, "Biasanya Abang gue selalu peluk gue!"

"Ya tapi kan gue bukan abang lo!" Axel salah tingkah. Bagaimana jika ada orang di luar dan melihatnya memeluk Raina? Kan bisa dikira yang enggak-enggak!

"Pokoknya peluk gue!" Jerit Raina sekali lagi. Mau tidak mau, akhirnya Axel melingkarkan tangannya ke belakang leher Raina. Dan perempuan itu langsung menenggelamkan kepalanya pada dada Axel.

Axel meringis kecil melihat kelakuan Raina, padahal dia belum mandi setelah tanding basket tadi. Tapi, dia tidak peduli. Perempuan ini kan nggak tau. Dan yang terpenting, dia bisa berhenti menangis secepatnya.

"Badan lo panas." Axel mengusap belakang kepala Raina yang masih basah sisa guyuran air hujan tadi. "Lain kali, kalo nggak mau sakit jangan hujan-hujanan."

Dan dengan itu, kedua berada di sana cukup lama. Dengan Axel yang masih saja kebingungan dengan tingkah Raina, dan Raina yang beruntung karena bisa menumpahkan segala uneg-uneg nya walau hanya menangis. Di pelukan pacar orang.

***

07 November 2015

StayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang