"cinta itu tak hanya butuh takdir untuk bersatu, tapi juga waktu untuk menyadarinya.."
Aruna
sudah jam 11 malam tapi aku belum selesai dengan mengerjakan semuanya, untung saja besok weekend. rancangan konsep pemasaran perayaan natal, akhir dan awal tahun, serta analisa keuangan hotel yang beberapa bulan terakhir ini agak drop diluar batas wajar, sungguh membuat otakku terkuras. sebenarnya aku sudah meminta staf marketing untuk membuat beberapa rencana pemasaran, namun entah kenapa ada yang kurang sreg di setiap proposalnya. aku mungkin terlalu perfeksionis, tapi bagiku semuanya memang harus perfect. aku selalu kagum terhadap ayah yang meski usahanya bejibun, tapi sikapnya selalu asyik dan menyenangkan.
suatu waktu aku pernah bertanya pada ayah,
"yah, kenapa ayah yang selalu sibuk dan banyak pekerjaan, ketika sampai di rumah ayah sama sekali tidak pernah cemberut atau puyeng? kayanya asyik-asyik aja gitu?"
"jawabannya sederhana, Aruna sayang. Ayah bekerja untuk menafkahi keluarga kita. untuk kebahagiaan kalian. jadi, jangan sampai karena pekerjaan Ayah justru malah menelantarkan kalian. bagi Ayah, kalian itu jauh lebih berharga dari harta manapun di dunia. suatu saat kamu akan mengerti sendiri."
---
aku luruh sejenak, berdiri dari kursiku dan melihat Arin yang sudah ketiduran lagi di mejanya. Arin yang berbeda dengan Arin yang dulu ku kenal. Arin yang jauh dilubuk hatiku masih menempati celah besar sejak dahulu. dan mungkin hingga saat ini.
tanpa sadar kakiku sudah melangkah mendekatinya. ku selimutkan jasku di punggungnya. entah kenapa, bagiku Arin sekarang tampak begitu rapuh dan menyimpan duka.
aku berbisik begitu pelan didekatnya sembari ku sentuh halus rambutnya yang hitam.
"Rin, apa kamu tahu, aku sudah menyukaimu sedari dulu. menyukai tawa dan suaramu. menyukai setiap senyum dan keceriaanmu. tapi mengapa tak sekalipun kau melihatku. dan kini waktu seolah-olah mengujiku, menghadirkanmu kembali ditengah keraguanku."
aku melangkah kembali ke kursiku. memutarnya ke arah jendela kaca besar di belakang meja. dibalik tirai itu aku bisa menatap bandung yang gemerlap. seperti taburan bintang ditengah lautan hitam sutra malam.
kenapa perasaan begitu rumit ya. jauh lebih rumit dari pelajaran ekonometrika dan aktuaria.----
Arinda
setengah sadar aku mengerjapkan mata. oia, aku masih di kantor. jam berapa sekarang? seketika aku duduk dan tersadar ada sesuatu yang jatuh dari punggungku. hah? kenapa ada jasnya Aruna disini. mataku langsung mencari sosok dia di meja kerjanya. nihil.
samar-samar ku dengar suara lantunan Alquran dari ruangan sebelah. lagi-lagi Aruna berhasil membuatku terpaku. dia tengah melaksanakan sholat shubuh. awalnya ku kira ruangan ini hanyalah ruang baca dan perpustakaan saja, rupanya juga berfungsi sebagai mushola. aku teringat ibu, satu-satunya sosok yang tak pernah lelah mengajarkan agama padaku. tapi sejak beliau meninggal, aku meninggalkan itu semua. tak sadar tubuhku lulur di pegangan pintu. tergugu dan terisak menangis. meratapi hidupku yang berantakan sejak ibu meninggal. bagaimana bisa aku meninggalkan Tuhan ketika justru Tuhan selalu melindungiku.
"Rin... kamu kenapa nangis?" Aruna menghampiriku seketika usai menutup sholatnya dengan doa. alih-alih menjawab pertanyaannya, aku malah semakin menangis sekencang-kencangnya. apa mungkin Tuhan menegurku melalui Aruna.
"yaaah Rin, koq malah makin kenceng nangisnya.."
------
aruna
aku kebingungan setengah mati melihat Arin menangis tersedu-sedu, saat ku tanyakan alasannya, Arin justru malah makin kenceng nangisnya.
akhirnya aku hanya bisa memeluknya, mencoba untuk menenangkannya. lupakan kemejaku yang basah karena air mata. Aku hanya ingin menghentikan tangisnya. apapun alasannya, sepertinya Arin sudah mengalami banyak duka selama aku tak didekatnya. Yaa Tuhan,, aku tak ingin melihatnya berduka dan tak berdaya seperti ini. aku rela hanya menjadi temannya, asalkan dia bisa tersenyum dan tertawa seperti dulu.
"Ya Allah.. Udah dong Rin, jangan nangis lagi.. kamu yang tenang ya.. kamu bisa cerita sama aku tentang masalah kamu.. supaya bebanmu terasa lebih ringan.."
Tangisan Arin sedikit mereda. dia masih ragu untuk bicara.
"tenang aja, kamu boleh cerita kapan aja. sekarang ayo aku antar kamu pulang ya.."
Arin menyeka air matanya. dia mengangguk.
"Makasih Pak.."
"cukup panggil aku Aruna saja. ini bukan jam kerja."
Arin menatap mataku tanpa sedikitpun bicara, hanya tersenyum. entah apa artinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
ChickLitaku tak pernah mencarinya.. dia datang begitu saja memporakporandakan perasaanku.. sequel kedua dari "A untuk Anakku"