ch 7

5K 360 4
                                    

Aruna

Arin menarik tanganku bergegas ke arah parkiran. begitu masuk ke dalam mobil, Arin menangis. sejujurnya aku bingung, banyak pertanyaan di kepalaku, tapi melihatnya rapuh seperti ini aku hanya bisa menggenggam tangan dan memeluknya. Apapun itu,aku tidak ingin melihatnya menangis lagi. setelah cukup tenang Arin melepaskan pelukanku. baru saja aku ingin bertanya, Arin sudah lebih dulu memulai ceritanya. kulajukan mobil tanpa tujuan yang jelas, yang penting selama mungkin sampai Arin merasa baikan.

"selama setahun ini hidupku benar-benar berubah. banyak sekali ujian hidupku. aku sekarang sebatang kara, tanpa sedikitpun kekayaan Ayah untukku. Ayah meninggal karena aku. dan banyak hal lainnya."

Arin menceritakan satu persatu ujian hidupnya selama setahun ini. sesekali aku bahkan tak sadar mengerem mendadak karena terkejut dengan ceritanya. hal yang paling mengejutkan bagiku adalah ketika Arin ternyata pernah hamil namun kemudian keguguran krn mengalami depresi dan malnutrisi. terbayang betapa menyedihkannya hidup Arin saat itu, betapa Arin sendirian tanpa seorangpun sahabat dan keluarga dalam menghadapi semua ujian hidupnya.

"laki-laki yang tadi kita temui di kafe. dia adalah Joe. Jovan Perdana. Ayah dari bayi yang sempat kukandung."

akhirnya ku parkirkan mobil di tepian halaman Pusdai. tanganku mencengkeram setir dengan kuat. aku benar-benar emosi. aku marah pada diriku sendiri, kenapa dulu aku meninggalkan Arin begitu saja tanpa mencari kabarnya sama sekali. sahabat macam apa aku ini. aku terlalu egois. padahal seharusnya aku ada disampingnua, menemani masa-masa sulitnya.

"dia tahu kamu saat itu sedang hamil anaknya?"

Arin mengangguk.
"tapi Jovan mengusirku, dia bahkan menyuruhku menjauhinya, dan terlebih lagi menyuruhku mengaborsi bayi tak berdosa itu."

aku mengusap wajahku frustasi. harusnya orang bernama Jovan itu ku pukul sampai babak belur. aaarggh..

"Maaf.. Maafin aku Rin.. Maaf aku gak ada di masa-masa sulit kamu.. Maaaaf Rin..aku terlalu egois. saat itu aku terlalu marah karena kamu tak pernah sedikitpun melihatku lebih dari sekedar teman.. Maafkan aku Rin.."

Arin menggenggam tanganku. berusaha meredam amarahku.

"itu masa laluku.. Aku sudah ikhlas.."

Arin menyeka air matanya, lalu tersenyum padaku.

"terima kasih sudah mendengarkan ceritaku dengan baik.."

"aku janji Rin. mulai saat ini. aku akan selalu ada disampingmu. aku siap berbagi suka dan duka denganmu. Aku tak peduli kamu hanya menganggapku teman atau hanya sebatas atasan sekalipun. aku akan selalu ada untukmu, Rin.."

Arin menatapku dengan mata yang masih basah.

"terima kasih, Runa.. dari awal kita saling kenal, kamu satu-satunya sahabat berharga yang ku miliki.."

aku tersenyum dan mengangguk sambil kembali fokus untuk menyetir.

Sahabat. kata itu entah kenapa terasa menyakitkan untukku.. setelah 5 tahun dia mengenalku, Arin masih hanya menganggapku sahabat, tak pernah lebih..

"aku antar kamu pulang. kamu butuh istirahat Rin.. "

ARUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang