Aruna
aku tak terlalu paham tentang cinta, aku masih setengah ragu menyadarinya. perasaanku pada Arin.. satu-satunya kaum hawa dalam hidupku, selain keluargaku.
sesi telpon bersama ayah dan berbagai nasihat yang beliau tanamkan padaku rupanya malah membuatku makin ragu. bukan ragu pada rasa cintaku pada Arin, tapi ragu apakah Arin memiliki perasaan yang sama denganku.
ketika banyak wanita mencoba menarik perhatianku, Arin hanya tampil seadanya dan apa adanya. justru Arin yang seperti inilah yang membuatku menutup mata dari wanita lain.
aku masih menunggu waktu yg tepat untuk menyatakan cintaku pada Arin, tapi sampai sekarang aku tidak pernah tau kapan waktu yang tepat itu.
saat ini aku berada di atap hotel, selain diperuntukkan untuk helipad, disudut atap hotel ini dibuatkan sebuah taman hijau kecil dan sebuah ruang kaca untuk melepas penat. tempat ini hanya bisa diakses oleh pemilik hotel, ayah dan aku.
ddrrtt..drrrt.. Arin menelponku.
"iya Rin kenapa?"
"kamu lagi dimana? ini ada berkas yang harus ditandatangani."
"aku lagi di atap. tempat biasa. kesini aja. sekalian bawain kopi ya."
tak lama Arin sudah tiba di tempat ku duduk, berdiri di hadapanku. wanita cantik yang sedang kupikirkan dari tadi sekarang ada di hadapanku.
"Runa, ini berkasnya. buruan tandatangan! aku masih ada kerjaan."
aku diam sejenak mengambil berkas yang ku sodorkan.
"kamu duduk dulu sini. tunggu sebentar."
beberapa menit berlalu. hanya suara angin yang berisik, aku dan Arin hanya diam, larut dalam pikiran masing2.
"Rin, sebenarnya dari dulu aku sayang sama kamu.."
Arin terperanjat dan menoleh sejenak padaku. matanya masih tajam menatap lurus ke arah iris mataku. seolah-olah ingin menguji sampai batas mana kata-kata tadi dipertahankan.
"sejak pertama kali kamu menyapaku, aku pikir, kamulah perempuan pertama yang begitu istimewa di hatiku. aku tak pernah menuntut banyak darimu, bagiku melihatmu tersenyum dan membagi keceriaanmu denganku saja itu sudah cukup. aku mungkin saat itu bukan siapa-siapa, sehingga aku hanya bisa mengagumimu dari jauh. aku berusaha belajar dan berprestasi semampuku agar aku layak bersanding denganmu. aku teramat mencintaimu, hingga akhirnya aku harus teramat marah dan kecewa ketika kamu membisikkanku nama Joe saat itu."
kuperhatikan mata Arin yang mulai berkaca-kaca. dia seolah-olah terluka dengan kata-kataku. aargggh bodoh!!! aku salah bicara. kenapa harus mengungkit masa lalu yang menyakitkan baginya??? Aruna bodoh!
"Maaf Rin, aku tak bermaksud mengungkit masalalu kita."
Arin menyeka air mata yang melarikan diri dari kelopak matanya. dia diam sejenak, menunduk, lalu menghela nafas panjang sebelum dia hendak mengucapkan sesuatu.
aku benar-benar merasa bersalah."Aruna. maaf, maksud saya Pak Aruna. anda tidak perlu minta maaf pada saya, anda memang tidak salah. bagi saya, dulu Anda Adalah sahabat yang baik, sangat baik. dan saat ini, bagi saya Anda adalah Atasan saya yang baik. tidak lebih."
aku terkejut dengan jawabannya. kami sama2 diam, mencoba meresapi atmosfer yang terjadi. ada ego dalam diriku yang merasa marah dengan jawabannya.
"kamu memang tak pernah melihatku. dulu dan saat ini, kamu tak pernah menganggapku ada."
kalimat itu terucap begitu saja.
entahlah mungkin aku sakit hati, marah atau kecewa. ini pertama kalinya aku mengungkapkan perasaanku pada seorang wanita, dan ditolak. rasanya memang perih.aku beranjak dari tempat dudukku. meninggalkan Arin yang masih duduk diam disana. sepertinya aku benar-benar butuh waktu menerima nasib malangku di dunia percintaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Chick-Litaku tak pernah mencarinya.. dia datang begitu saja memporakporandakan perasaanku.. sequel kedua dari "A untuk Anakku"