Thania Pradithama
⠀⠀"Nizar!"
Aku menengok ke arah suara itu. Suara perempuan. Kulihat kanan dan kiriku, kini aku berada di kantin dan berdesak-desakan dengan orang-orang yang kelihatan kelaparan ini. Entah kenapa, setiap aku mendengar nama itu, seakan-akan itu adalah alat pacu jantungku. Membuatku refleks menengokkan kepala.
Selalu seperti itu.
Aku menatap Monita melewatiku. Menghampiri yang dipanggilnya itu. Nizar. Anak kelas lain yang diam-diam aku sukai.
Dan Monita, yang kudengar selama ini mempunyai hubungan erat dengan Nizar. Entah itu hanya sekedar teman, saudara, ataupun yang lainnya? Entah. Sebut aku aneh, namun, aku tidak suka setiap melihat mereka berdampingan, bahkan hanya sekadar bercakap-cakap pun aku tak suka.
Jauh di mana tempatku berdiri, terlihat jelas bahwa Nizar senang akan kedatangan Monita. Dan tentu, Monita senang karena kedatangannya disambut hangat oleh Nizar.
Tak bisa ya, lihat aku sekali-sekali saja?
Itulah yang selalu terlintas di pikiranku ketika Nizar dan Monita terlihat berdampingan dan lagi-lagi sangat akrab.
Aku memerhatikannya. Menyadari kalau memang tugasku hanya untuk 'mengamati'.
"Kami menyetujui mendaftarkan kamu di sekolah yang sama dengan Nizar berkat saran Bapak Lazuardi Hakim. Dan tugas kamu, hanya untuk menjaga dan mengawasinya ya. Bertemanlah kalau bisa."
Lagi-lagi, kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku saat aku melihat Nizar mengajak Monita untuk berpindah tempat duduk.
Sialan, padahal memang niat awalku bukan untuk jatuh cinta di sini.
Nizar kudengar mempunyai banyak penyakit. Entah apa saja penyakit itu aku tak tahu. Beberapa bulan ini, kabarnya, penyakit Nizar selalu kumat. Karena kebetulan ayahku bekerja pada Om Lazuardi, om-om itu menuntutku untuk daftar di sekolah yang sama dengan anak cowoknya. Nizar, yang sebelumnya tidak kukenal identitasnya. Om Ardi--kupanggil begitu--telah bersumpah dan menandatangani kontrak untuk membayar semua kebutuhan sekolahku, beserta tetek bengek yang kuperlukan di sekolah. Sebagai gantinya, aku ditugaskan untuk mengawasi Nizar dan melapor apa saja yang dilakukan Nizar (karena ia curiga penyakit Nizar kumat karena beberapa kegiatan liar).
Ayahku tergiur begitu saja dengan kontrak yang ditawarkan, karena ia rasa ia jadi tak perlu repot untuk bayar-bayar biaya sekolahku.
Singkatnya, aku ini dijual oleh ayahku sendiri.
Yah, tapi, bukan masalah besar juga untukku. Toh, bisa bersekolah di tempat keren seperti ini juga, kan aku sendiri yang menikmati.
Melihat dan memerhatikan Nizar hampir setiap saat, membuatku sadar aku menyukainya, dan rasa itu semakin besar di esok harinya, esok harinya, dan esok harinya lagi.
Dan tentu saja membuatku jadi sering badmood.
Lihat mereka. Nizar dan Monita bercanda gurau begitu. Sedangkan aku mematung di tempat, menatapi kepergian mereka, dan merutuki nasibku yang amat miris.
Mata Nizar bertabrakan dengan pandanganku. Ia lalu melambaikan tangannya. Aku tersenyum dan melambaikan tanganku balik.
Sayang, kalau dia tahu, dia bisa menganggap pertemanan kami juga cuma pura-pura.
Namaku Thania Pradithama, pengawas Nizar Hakim utusan ayahnya, Om Lazuardi. Aku terus bertanya-tanya dalam hati, mengapa aku tega membiarkan diriku jatuh cinta pada Nizar padahal sebetulnya aku tidak boleh melakukannya?
Sudah tahun kedua, tapi perasaanku malah makin acak-acakan begini. Payah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...