Diana Paramastri
⠀⠀"Dih, Sa, ayo buruan ke depan, ada Fadel," paksaku untuk kesekian kalinya. Ailsa masih menggeleng-geleng dengan wajah bete. Kali ini aku yang terlihat bete. "Kan tadi elo yang ngajak dia lewat hapenya Thania, bego."
"Bodo amat. Nggak mau. Kesel gue sama dia." Ailsa memejamkan matanya sejenak dengan alis berkerut.
Oh iya, lagi marahan ya, katanya.
"Kenapa sih?" Aku merengut, kesal melihat tingkahnya. Dia tidak menatapku. "Kesel kenapa? Cerita kali ke gue."
Dia menggeleng. "Nggak tahu. Kesel aja."
Kami diam. Tidak ada yang ingin membuka mulut lagi.
Oke, biarkan aku berpikir.
Kalau aku tidak bisa menggiring Ailsa untuk Fadel, maka mungkin aku bisa menggiring Fadel untuk Ailsa--ide bagus.
"Fadel! Ke ruang tengah bentar deh!" Aku meneriaki Fadel. Suaraku mungkin bisa terdengar sampai tetangga sebelah, tapi masa bodoh lah.
Aku rasa Fadel mampu mengembalikan mood Ailsa.
Raut wajah Ailsa makin bete saja. "Apaan sih, Di?"
"Udah, diem." Aku melipat tanganku lalu menyenderkan punggung di dada sofa panjang. Seperti biasa, aku mengangkat daguku, lalu membetulkan kacamataku--yang sedang tumben-tumbennya kupakai.
"Maksud--"
"Kenapa, Di?" Fadel datang tepat sebelum Ailsa mencercahku dengan pertanyaan. Fadel mengedarkan pandangan, lalu matanya berhenti di Ailsa. "Hai, Ailsa."
Mataku terbiasa melihatnya yang biasa memakai seragam dan lengkap dengan kacamatanya yang cupu itu--cocok dengan nama panggilanku padanya. Kini Fadel yang dihadapanku adalah yang memakai baju hitam polos berlengan panjang, bawahannya jeans, dan dia menggenggam kacamatanya erat-erat di tangannya. Aku sempat melihat di tengah topi yang ia kenakan ada tulisan hangul Korea (yang kelihatannya terbuat dari spidol) bertuliskan 'Ailsa'.
Dan aku ingat, itu hadiah dari Ailsa saat Fadel berulang tahun, tahun lalu.
Gila. Aku berani bertaruh, Ailsa dsn Fadel saling menyukai. Kalau Ailsa tidak menyukainya, tidak mungkin Ailsa buang-buang duit hanya untuk membelikan Fadel topi. Habisnya, Ailsa kan pelit. Aku tahu banget soal itu.
Dan kalau Fadel tidak menyukainya, tidak mungkin dia memakai topi itu dari sekian banyaknya topi-topi yang dia punya--Fadel sering gonta-ganti topi di sekolah.
Ailsa tidak membalas sapaan Fadel. Melainkan hanya diam dan membuang muka. Ah, dasar cewek jahat.
"Sini, sini, duduk sebelah gue." Aku menepuk-nepuk bagian sofa yang masih kosong di sebelah kiriku, karena kananku adalah Ailsa.
"Iya..." dengan ragu, Fadel mendekati kami dan akhirnya duduk di sebelahku. Ailsa mendengus. Aku balas mendengus.
"Tadi tuh Ailsa yang ngajakin lo ke sini," ucapku terang-terangan. Ailsa membulatkan matanya dan tatapannya terpaku padaku. "Dia pengen banget lo minta maaf sama dia."
"Lho, gue kan udah bilang, Sa. Kalo lo ngerasa gue ngelakuin kesalahan di mata lo, tinggal bilang aja kan." Fadel merengut menatap Ailsa. Dan aku yakin tatapannya benar-benar tulus bercampur khawatir. "Gue minta maaf kalo emang ada salah. Oke?"
Diam-diam aku pindah tempat, ke sofa lain yang ada di hadapan Ailsa dan Fadel. Memberi mereka kesempatan untuk mengobrol.
"Sa, lo denger gue kan?" Fadel mengulang pertanyaannya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...