Diana Paramastri
⠀⠀Aku kembali mengangkat daguku tinggi-tinggi. Seperti biasanya, orang-orang di sekitarku langsung melihat ke arahku--oke, bukannya aku kepedean. Tetapi memang sudah jelas begitu.
Aku merasa seperti meteor yang tiba-tiba jatuh dari langit dan menarik perhatian. Beberapa pasang dari mereka mulai berbisik-bisik satu sama lain. Entah mereka memang benar-benar sedang berbicara tentang aku, atau mungkin mereka sedang berbicara tentang temannya, tapi tatapannya mengarah kepadaku, atau mungkin mereka berbicara tentang aku yang baik-baik.
Oke, sekali lagi, bukannya aku kepedean.
Dulu aku sangat terbiasa dengan situasi seperti ini. Bahkan sangat terbiasa. Yah, bukannya sekarang aku tidak terbiasa sih. Hanya saja, semuanya berubah menjadi begitu asing ketika aku masuk ke dalam lingkungan baru ini. Aku yang dahulu paling preman di SMP, tiba-tiba saja nyaliku menciut saat melihat kakak-kakak kelas yang ada di sini. Salah gerak sedikit, dihujat. Mainnya bully-bullyan. Ngeri dan nggak banget deh.
"Eh, lihat deh. Diana itu emang sombong ya..."
"Masih berani angkat dagu tinggi-tinggi ya, padahal sudah diancam. Dasar nggak tahu malu banget deh. Hihi."
Kalian yang tidak tahu malu! Beraninya menyindir dan hanya menggosipi saja. Kenapa? Tidak berani bicara langsung ya? Mental tempe.
"Kalau gue jadi dia, gue akan cepat-cepat pindah sekolah deh."
"Yah, itu kan elo! Kalau orang kayak Diana, mungkin malahan dia yang bakal nyingkirin orang-orang yang dia nggak suka."
"Kok gitu?"
"Habisnya, kelihatan banget kasarnya. Gue rasa orangtuanya sering dihajar deh sama dia."
Sembarangan! Dasar kakak-kakak penggosip. Kalian minta dilenyapkan ya, dari muka bumi ini.
"Tapi kan, rasanya malu banget, sudah dijauhi banyak kakak kelas karena tingkah lakunya, tapi masih angkat dagu."
Oke deh. Sebaiknya aku saja yang lenyap dari muka bumi ini.
Aku memasuki kelasku secepat mungkin sembari pura-pura tidak dengar dan mendapati situasi kelas langsung sepi senyap. Kutaruh tasku di bangku. Mejaku terletak tepat di pojok belakang, jarang ada yang duduk di sana, juga jarang ada yang duduk di sebelahku. Rasanya seperti monster saja.
Kurasa aku terlalu ceroboh dalam menaruh sesuatu, sehingga tas (keparat)ku tersebut jatuh. Bunyi tas yang penuh buku-buku berat beradu dengan lantai keramik, suara gombrang-gombrangan itu cukup untuk didengar sampai luar kelas.
Lagi-lagi, sepi senyap. Tak ada yang bicara, sampai aku berlutut dan berusaha untuk merapikan isi tasku yang tumpah ruah.
Beberapa siswi yang berada di dekatku langsung berlari kepanikan menuju tempatku dan membantu memunguti buku-buku dan alat tulis yang berceceran di lantai.
"Gue bantu pungut ya, Di!"
"Aduh, Di! Tasnya nggak apa-apa?"
"Wah, tempat pensilnya kotor nggak? Semoga saja enggak ya, bagus gini lho!"
"Tasnya bagus banget, ya ampun! Beli di mana sih, Di?"
"Lain kali hati-hati ya, Di!"
Duuuh! Berisik sekali deh. Rasanya aku ingin memuntahkan semua kekesalanku pada mereka dan menjotos wajah mereka satu-persatu.
Aku mencoba kalem. "Makasih ya."
Karena aku tidak bisa mengontrol nada dinginku, bukannya mereka agak sedikit tenang menanggapiku, justru wajah mereka memucat dan keringat keluar dari pelipisnya.
Sial, aku benar-benar menyesali perbuatanku.
Kukoreksi cara bicaraku, aku berdeham, dan tersenyum semanis mungkin. "Nggak apa-apa kok..."
Untuk yang ketiga kalinya, suasana sepi senyap. Kali ini, semua pandangan bukan terarah padaku, tetapi kepada Dylan, yang kabarnya pembuat onar di SMP-nya. Aku agak lega juga, walaupun di sisi lain aku mendadak kesal dan ingin menonjok mukanya yang songong itu sekarang juga--aku harus tahan.
Dia menghampiriku dan siswi-siswi yang tadinya membantuku memunguti alat tulis, tiba-tiba saja hilang kabur entah kemana.
"Keren juga. Ngebabuin mereka buat mungutin barang-barang lo?" Dia menunjuk-nunjuk wajahku seraya menyipitkan matanya. "Dasar tukang menyuruh-nyuruh."
Dasar kurang ajar! Tukang bikin kesal!
"Hei, dijaga ya, mulut lo itu." Aku balik menyipitkan mata, kali ini lebih sinis. "Dateng-dateng bikin orang naik darah. Dasar gila!"
Dia menyanggah ucapanku dengan wajah kaget. "Hei, elo tuh, yang harus jaga mulut."
Aku berpikir sejenak, lalu sesuatu muncul di dalam pikiranku. "Ya udah, gue minta maaf."
Raut wajahnya terlihat jelas lebih kaget, matanya terbelalak ditambah dengan mulut yang sedikit ternganga. Senyum kemenangan kuselipkan di antara bibirku diam-diam.
"Emang bener ya kata orang-orang, lo itu bukan cewek biasa," ungkapnya dengan wajah datar yang--astaga--memesona sekali. Oke, kalem. Aku tidak boleh mendadak terpesona seperti ini. "Seumur-umur, gue nggak pernah kalah debat. Dan kali ini elo ngalahin gue," lanjutnya.
"Itu kan karena lo emang cupu dan gila." Lagi-lagi senyum kemenangan bercampur licik terlukis di wajahku. Dia mendengus, menunjuk-nunjukku sekali lagi. Dasar, sudah tukang bikin kesal, hobi nunjuk-nunjuk muka orang pula.
"Oh, bener ya, kata orang-orang lagi. Semakin cantik wajah seseorang, semakin buruk sifatnya." Kali ini, telunjuknya menudingku lebih tegas dari yang sebelum-sebelumnya. Sial! "Kayak lo gini nih. Cantik tapi sombong. Songong pula. Aneh."
Sesaat aku nyaris tersenyum karena pujiannya, namun setengah detik kemudian, senyumanku lenyap sebab hujatannya yang bertubi-tubi.
Orang ini benar-benar... oke lah, jujur saja, wajahnya tampan, lebih tampan daripada Nizar dan kawan-kawan lainnya. Dan sifatnya ternyata lebih jelek daripada kawan-kawannya. Duh! Mana sih, orang yang bilang bahwa lelaki bejat seperti Dylan ini baik?
"Gue nggak butuh penjelasan kayak begitu." Aku membuang muka, dan memikirkan sesuatu lagi. "Lagipula, ngapain lo ke sini? Bukannya kelas lo di sebelah?"
Seakan teringat sesuatu, Dylan menepuk jidatnya sembari celingak-celinguk mencari sesuatu. "Iya, gue lupa. Gue ke sini nyari Steve. Di mana dia?"
Aku mengendikkan bahuku tak acuh, dan menaruh tasku dengan hati-hati--takut-takut akan jatuh untuk kedua kalinya. "Belum datang kali."
Kulihat sekilas dia membuat huruf O di bibirnya seraya mengangguk-angguk.
"Udah sana lo balik deh, gila," usirku.
Dia membalikkan badan seolah-olah mengabaikan ucapanku dan keluar kelas dengan cuek, mengantungi tangan kanannya di saku celana.
Kakinya terhenti sesaat. Matanya melirik ke arahku. "Nama gue itu Dylan. Bukan Gila. Lain kali, panggilnya yang bener ya."
Ogah banget deh. Nggak sudi, manggil-manggil nama dia.
Dan bahkan dari gaya dia berbicara padaku, seakan-akan di masa depan dia bisa membuatku terjebak dalam rasa jatuh cinta padanya sekaligus terpuruk.
Aku komat-kamit dalam hati, meminta semua itu tidak akan terjadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Fiksi RemajaThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...