Ailsa Sudirman
⠀⠀Tanpa sadar, kini kami sudah menjejaki semester 3 di perkuliahan. Yah, nggak semuanya berkuliah sih, seperti Steven yang lebih memilih sekolah akting, atau Diana yang kabarnya belajar dandan dan menjadi make up artist--astaga, sama! Aku pun kaget banget ketika dia mulai pegang-pegang alat dandan. Fadel juga tidak berkuliah. Kerjaannya hanya mondar-mandir paruh waktu di kedai pusat kota, menjadi barista.
Omong-omong soal Fadel. Aku ini masih belum disadari keberadaannya oleh Fadel--yang sialnya, hatiku masih mengharapkannya banget!
Aku cemberut sambil berjalan kaki menuju rumah, menggerutu. Kalau saja sepeda motorku tidak rusak, aku tidak perlu susah-susah naik angkutan umum dan jalan kaki seperti ini! Beruntung, kampusku hanya 500 meteran dari kos-kosanku.
"Semuanya jadi ngeselin," gumamku sebal, sambil membuka gerbang kosan dan berjalan masuk.
"Mukanya ditekuk begitu."
Aku tersentak, lalu terkejut melihat Fadel duduk di depan kosanku.
"Ngapain lo di sini? Sejak kapan lo tahu kos-kosan gue? Lo ngikutin gue ya?" cecarku panik sambil menunjuk-nunjuknya.
Dia menunjukkan ponselnya lalu berkata, "Lokasi Snapchat lo nggak dimatiin tuh."
Oh, iya juga.
"Iya deh," ucapku dengan nada kelewat bete sambil melangkah masuk dan mencari keberadaan pintu kamarku. "Jawab, lo ngapain ke sini? Emangnya lo nggak kerja?"
"Nggak. Cuti. Jadinya mau jemput lo deh," jawabnya, tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi. Dia mengikuti langkahku. "Tadi siang kan lo nge-chat gue, katanya bosen. Jalan-jalan yuk?"
"Nggak ah." Aku mengeluarkan rentengan kunci dan memutarnya di pintu kamarku. "Udah deh, mending lo pulang aja."
"Lo nggak seneng gue di sini? Oh, yaudah, sori deh--"
"Del, sampe kapan sih, kita gini terus?" potongku kesal. Dia terbelalak namun bingung.
"Apaan?"
Dasar lemot.
"Lo nggak pernah tahu ya?" tanyaku gemas.
"Tahu apa?" Dia mengerutkan alisnya kesal, lalu menatapku sinis. "Apa sih?"
"Nggak tahu deh! Terserah lo aja." Aku mengibaskan tanganku sekali, membuang muka, lalu membuka pintu kamar.
"Ck, ya udah kalo gitu. Padahal gue udah jauh-jauh ke sini."
Dia berdiri, kemudian meninggalkanku sendirian. Lagi.
Untuk kesekian kalinya aku dalam kesendirian, perasaanku yang tadinya hampir meluap kuutarakan, kembali karam perlahan mengikuti cuaca hati yang gelap temaram.
Menunggu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Aku melakukannya bertahun-tahun. Menunggunya bertahun-tahun. Tetapi sampai sekarang dia masih tidak menganggapku sama sekali.
Dan Fadel tidak pernah sadar bahwa aku selalu menunggunya, akulah si teman kecilnya yang selalu dia nantikan.
***
Matahari meracik warna merah pada langit-langitnya, selagi aku berjalan menaiki jembatan tua dekat perumahan.
Aku kangen sekali dengan suasananya. Meski rumahku hanya berjarak beberapa puluh kilometer dari kampus, macet dan kondisi uang yang tidak baik memaksaku tinggal di kosan lebih lama.
Niatnya, sampai di rumah mau langsung tidur. Tetapi, tiba-tiba ada hasrat mau melepas kerinduan pada jembatan pohon biru itu. Jadi di sinilah aku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...