Diana Paramastri
⠀⠀Aku berkutat pada novelku, duduk dengan kaki menyilang di bangku taman sekolah. Aku tahu, seharusnya aku tidak membawa novel. Tapi, siapa juga yang peduli? Banyak yang melanggar peraturan, bahkan ketua OSIS kami pun tak jarang melakukannya terang-terangan.
"Diana."
Seseorang memanggilku lalu duduk di sebelahku, aku menutup buku--kuselipkan jari telunjukku di antara halaman yang sedang kubaca--dan membuka silangan kakiku, menatap lawan bicaraku dengan (sungguh aku mencoba) hangat. Thania Pradithama. Sebulir air, terjun dari pelipisnya yang kuduga itu keringat.
Duh, kenapa ya, orang-orang yang bertatap muka denganku pasti langsung berkeringat?
Oh iya, beberapa hari lalu, Thania menceritakan semuanya kepadaku. Dia mengatakan bahwa dia diutus oleh Om Lazuardi untuk menjaga Nizar selama masa SMA. Bisa kubuktikan, menjaga seorang Nizar adalah tugas yang sulit, apalagi yang bocahnya bandel seperti itu. Rasanya pasti menyiksa. Banget.
Kabar barunya, Nizar ditemukan tumbang di rumah mengerikan dan sekarang sedang terbaring lemah di rumah sakit. Kata Thania, dia mencoba bunuh diri dengan pisau. Gila saja, aku yang sering bersama Nizar dan biasa melihat wajahnya yang kadang datar dan kadang bikin kesal itu bahkan tak pernah melihatnya sedepresi yang digambarkan oleh Thania. Mengerikan.
Kemarin, beberapa orang, mungkin sekitar 10 lebih (termasuk si Dylan sialan itu) menjenguk Nizar ke rumah sakit. Sayang, aku tak bisa ikut karena sifatku yang pemalas ini. Lagipula, Nizar juga tahu kalau aku orangnya sibuk.
Maksudku, sibuk baca novel. Sibuk baca komik. Sibuk sendiri deh.
Omong-omong, Thania ini nyaris tak pernah punya teman karena sifatnya yang cenderung pendiam. Beruntung, orang-orang baik seperti aku masih bisa bersimpati pada orang-orang terbuang seperti dia. Bercanda.
"Apa? Ada apa?" Sial. Lagi-lagi aku tidak bisa menahan nada dinginku. Untung saja, Thania terlihat sudah kebal denganku. Sepertinya kami bisa berteman baik, jadi aku tak perlu repot-repot berteman dengan laki-laki melulu. Seperti biasa, aku mengoreksi ucapan dinginku dan tersenyum. "Ada yang perlu lo omongin?"
"Enggak. Gue cuma ngerasa kesepian... nggak tahu ah."
"Gue tahu." Aku kembali membuka buku. Dia menatapku heran. "Seharusnya lo lebih terbuka, jangan jadi kayak hantu begitu."
"Yah, habis, gimana ya." Dia menghela napas sembari mengedip-ngedip lambat. "Setelah ngalamin banyak peristiwa, gue ngerasa gue cuma bisa jadi kayak gini."
Sebelum sempat aku membalasnya, sesosok tinggi yang sempat kupuja-puja--juga sangat kubenci itu muncul.
Dylan.
"Asyik banget, bicarain apa? Ikut ya." Lalu dia duduk di kursi kosong depan kami dengan wajah lancang. Seharusnya kubanting saja kursi kayu itu sampai hancur sebelum Dylan datang ke sini.
Aku merengut kesal dan kembali membaca novel. Dylan menarik novelku sampai terlepas dari genggamanku. Setelah dia puas melihat novelku jatuh, dia memungutnya dan memandang remeh. "Apa ini? Masih zaman baca novel? Nggak tahu teknologi baru bernama smartphone ya? Yang bisa download Wattpad itu lho."
Sialan! Bisa-bisanya dia menganggapku tidak mempunyai ponsel. Memang apa salahnya? Aku lebih suka membaca versi cetaknya, dibanding membaca versi website dan harus merelakan mataku tambah minus (jujur saja aku punya minus dan kadangkala memakai kacamata jika perlu.). Dasar gila.
Mati-matian kutahan kalimat-kalimat barusan yang lewat di pikiranku. Aku berdiri dari dudukku dan mengambil novel itu tak kalah lancangnya. "Bisa nggak, lo berhenti gangguin gue? Muka lo yang mirip bungkus gorengan basi lima tahun itu mengganggu banget, tahu?!"
Kutarik lengan Thania, dan meninggalkan Dylan di sana yang ternganga. Apa dia tidak tahu, tampangnya yang mematung seperti itu benar-benar terlihat tolol?
"Diana, awas lo ya!" Dari jauh aku mendengar suara lelaki yang rada-rada cempreng itu mengancamku. Bisa kuduga gayanya sekarang seperti kakek-kakek yang baru saja dijahili anak TK. Aneh.
***
"Ailsa, Ailsa!" Aku menepuk kepala Ailsa beberapa kali. Wajahnya terlihat risih, dia membalas dengan memukul tanganku kencang. Ouch.
"Yah, sial. Gue kirain Fadel."
Perempuan ini bernama lengkap Ailsa Sudirman. Teman sekelasku yang nomor 1 tidak takut padaku (nomor 2-nya tentu saja Thania), sekaligus sahabatku. Mulutnya lebih cablak dariku, hanya saja, entah kenapa terlihat lebih feminin. Aku selalu heran perihal itu.
Ailsa tidak terlalu mengenal Nizar, tapi justru dia kenal dekat dengan Fadel, padahal karakternya benar-benar bertolak belakang. Entah kenapa, Ailsa terlihat sangat-sangat-sangat tertarik dengan Fadel sejak pertama kali kami masuk SMA. Kurasa Ailsa menyukainya, tetapi kadang dia bersusah payah menyangkal, yang pada akhirnya gagal juga. Di saat-saat sunyi seperti ini pun dia tetap memikirkan Fadel, sampai-sampai aku dikira Fadel.
"Gue kesel deh." Aku duduk di bangku sebelahnya dan bersedekap tangan. Wajahnya kacau terlihat habis melamun. "Di saat hening kayak ini, lo masih bisa mikirin Si Cupu Fadel?"
"Jangan manggil dia Si Cupu, bisa nggak?" Lagi-lagi raut mukanya risi. "Hari ini dia belum kelihatan. Gue kira, mungkin dia bolos."
Yah, Fadel memang jarang bicara, mirip halnya seperti Thania. Tetapi, bedanya, diam-diam Fadel malah mempunyai sifat bandel yang luar biasa--bahkan dia sering membolos.
"Gimana kalau kita cari aja?" usulku, justru matanya menjawab dengan belalakan. "Untuk sekedar melihat? Mungkin dia di kantin. Sekalian jajan deh, daripada diam di kelas ngelamun doang."
Tak ada sahutan. Lama. Tatapan kami bertautan, dan tidak ada yang mengedip. Sampai akhirnya Ailsa membuka suara.
"Oke."
Kami berjalan ke kantin, kakinya yang berjalan lurus benar-benar berbeda dengan kakiku yang selalu terbuka lebar--atau istilahnya, ngangkang. Sial, sifat kami memang mirip, lagi-lagi aku berpikir kenapa dia tetap terlihat lebih feminin? Aku tidak merasa iri akan itu. Hanya sekedar heran.
Cukup aku melamuni perihal hal yang tidak relevan itu, kami sudah sampai di kantin. Dengan pemandangan yang paling Ailsa tidak suka.
Dari jauh, kami melihat Steve, Fadel, dan si Dylan sialan itu sedang tergelak di meja kantin bersama dengan Monita.
Dengan segera, Ailsa menarik kembali tanganku dan berbalik badan. "Balik aja, yuk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...