6

1.4K 128 4
                                    

Thania Pradithama

⠀⠀"Jadi bener begitu? Lo kena timpuk disangka maling mangga?" Setelah itu kalimatku barusan disambut dengan tawaan cablak punya--siapa lagi kalau bukan--Diana.

"Iya. Sial banget idup gue." Ailsa memegang kepalanya dengan kedua tangannya frustasi. "Mana abis itu datang ke sekolah udah telat, disuruh nulis ini nih." Dia mengipas-ngipas lembar kertas yang dipegangnya sekarang. Aku dan Diana kembali tertawa.

Aku, Diana, dan Ailsa sedang duduk di depan kelas dan bercanda-gurau. Perutku sakit sekali karena terlalu banyak tertawa. Pasalnya, Ailsa baru saja bercerita mengenai alasan mengapa dia telat hari ini.

Awal-awal, dia mengatakan bahwa lupa memasang alarm sehingga dia baru bangun jam setengah 7 pagi (dan sekolah kami membunyikan bel jam 7 pagi). Lalu, sial selanjutnya, saat akan keluar dari kamar mandi, ternyata ada air sabun--entah darimana--di depan kamar mandi, Ailsa pun terpeleset, membuat kaki kirinya agak terkilir.

Sesampainya di sekolah, Ailsa dinyatakan sudah telat 25 menit. Saat masuk kelas, wali kelas kami langsung marah besar dan menyuruh Ailsa menyobek kertas, berdiri di luar, menuliskan "SAYA BERJANJI TIDAK AKAN TERLAMBAT LAGI" sebanyak 2 lembar penuh dengan tenggat waktu sampai selesai istirahat pertama. Maka, di sinilah kami, di depan kelas, mewawancara Ailsa tentang kesialannya hari ini.

Aku dan Diana lagi-lagi tertawa terbahak-bahak. Ailsa marah. "Jangan ketawa terus! Mending jokiin nih tugas gue."

"Thania."

Spontan, aku menengok ke arah suara tersebut.

***

"Lo udah sembuh?" Aku melihat tangannya yang masih dibalut, dengan senyum semringah. Dia menatapku dengan tatapan datar sembari mengangguk.

Orang yang tadi memanggilku, mengajakku berbincang di atap sekolah, dan berdiri di depanku ini, adalah Nizar.

Jarang sekali aku mengobrol dengannya. Rasanya ini agak mengobati kekhawatiranku setelah sekian lama tidak bertemu dengannya.

Aku diam, menunduk.

Dia membuka suaranya. "Kayaknya gue gaperlu basa-basi lagi deh, Than. Agak to the point, ya."

Mendadak jantungku berdegup kencang. Sangat kencang.

"Udah berbulan-bulan lo bohongin gue. Bahkan nyaris 2 tahun, Than. Kok lo jahat sih?"

"Maksudnya?"

"Nggak usah sok nggak ngerti, Than. Gue ada di situ. Gue bangun," ungkapnya memotong ucapanku. Dadaku betul-betul bergemuruh sekarang, kurasa keringat tak sukar mulai keluar dari pelipis, leher, dan belakang lutut. "Gue denger semua percakapan antara lo dan bokap gue."

"Hah?"

Semilir angin dari langit membelai wajahku seolah mengejek. Aku memejamkan mataku tanda pasrah.

Ah, ya ampun. Waktu itu. Saat teman-teman selesai menjenguk di rumah sakit, aku berpura-pura belum dijemput, memastikan teman-teman sudah pulang semua, dan kembali ke kamar Nizar untuk menemui Om Ardi. Di mana Nizar yang ternyata pura-pura tertidur, mendengar percakapan kami.

"Aku tiba-tiba ngerasa pengen berhenti, Om. Aku mau nyerah, nggak apa-apa kalau pendidikanku dicabut," keluhku. Om Ardi merengut heran, seakan-akan ragu dengan apa yang kuucapkan. Aku menengok ke tirai yang menutupi tempat tidur Nizar. Memastikan Nizar tidak mendengar percakapan kami.

"Nizar udah tidur." Beliau menjawab seolah-olah membaca pikiranku. "Kamu yakin mau nyerah?"

Aku mengangguk segan. Dia lagi-lagi memberiku tatapan sangsi.

"Kayaknya gitu." Kali ini justru aku menggeleng lemah. "Udah hampir 2 tahun aku jagain, kayaknya aku nggak akan nemuin sesuatu yang bisa kulaporin lagi," lanjutku.

Sejujurnya, melihat Nizar terkapar tempo hari, mulai membuat psikisku ikut terganggu juga. Aku takut semuanya malah membuat kesehatan mentalku tidak baik, menahan beban seperti ini.

"Hmm..." Beliau manggut-manggut. Aku menunduk, menahan tangis. Entah, aku melakukan kesalahan atau kebenaran. Atau justru kebenaran yang menyesatkan. "Om minta tolong sama kamu, Thania. Soalnya, Om nggak mungkin bisa jagain Nizar di luar rumah. Om cuma ingin kamu jagain dia pas di sekolah, atau pas kamu lagi ada di jangkauannya," lanjutnya. Air mataku menetes tanpa seizinku. "Lagian, kamu pasti bakal ngecewain ayahmu kan kalau mengambil keputusan seperti ini. Sekolahmu jadi tanggung."

Di situ, dengan bodohnya, aku menjawab, "Ya udah, kalau gitu aku bakal lebih berusaha lagi, Om."

Dan dengan bodohnya pula, aku pulang ke rumah dengan perasaan lega.

Cerobohnya, kami berdua tidak sadar kalau Nizar ternyata masih membuka mata, sedari awal menguping percakapan kami.

"Jadi gimana? Udah inget?" Nizar menyentakku. Dia tersenyum getir. "Kok lo jahat sih? Gue kira, kita temenan karena emang 'temenan'. Ternyata, orang yang kelihatan selugu elo gini bisa dibeli?"

Jantungku terasa jatuh ke lutut, terlepas dari rongganya.

"Lo murahan. Ternyata lo ngelakuin ini demi duit aja," lanjutnya, menghardikku dengan wajah penuh kekecewaan. "Kenapa pikiran lo sepicik itu? Sebatas uang?"

"Bukan gitu, Zar."

"Jadi maksud lo apa? Lo mau ngejaga gue dengan tulus, gitu?"

"Iya!" Aku menjawabnya dengan cepat. Lagi-lagi dia terhenyak. "Lo mau tahu apa? Awalnya, gue cuma mau ngeringanin beban bokap gue, biar pendidikan gue nggak terlalu narik duit dari dompet dia." Aku menahan tangis mati-matian sambil menegaskan suaraku. "Tapi, gue malahan suka sama elo. Dan gue nggak bisa lepasin kerjaan gue gitu aja. Itu bukan, yang lo mau tahu?"

Nizar terdiam.

"Lo nggak ngerti apa-apa, Zar!" Aku mengusap air mataku yang lolos dari bendungannya. "Gue sayang! Gue sayang sama lo."

Kami terdiam. Lama.

"Tapi, yang gue tahu, lo deket banget sama Monita," ujarku lagi. Untuk kesekian kalinya, dia terhenyak. Aku mengeluarkan segala unek-unekku selama ini. Yang selalu kupendam. Yang selalu kusembunyikan dari siapapun. "Ada lagi yang perlu lo tahu. Gue yang nolong elo di rumah itu. Gue nggak sengaja baca surat lo yang lo tinggal di rumah itu. Gue baca semuanya. Gue paham perasaan lo kehilangan ibu, karena gue juga ngerasain hal yang sama."

Dia mendekap tubuhku erat-erat. Beberapa menit, aku hanya bisa menangis di pelukannya. Antara bahagia atau justru kecewa pada diri sendiri.

"Lo tahu nggak, Than, kenapa gue kecewa? Karena justru gue yang sayang banget sama lo."

"Bohong." Aku meneruskan menangis, mengeluarkan semua bebanku yang tertanam di setiap tetes air mata tersebut.

"Lo nggak tahu aja." Aku mendengar nada senyum di sana. "Gue cuma kecewa, Than. Selama ini gue tahu lo merhatiin gue. Gue tahu lo sering ngikutin gue. Dan gue tahu waktu di rumah itu, elo yang nolongin gue. Lo tuh nggak pinter bohong atau sembunyi." Kali ini, dia mengelus kepalaku dengan penuh kasih. Air mataku makin deras. "Tapi, kenapa alasannya harus hanya demi uang? Rasa sayang gue nggak bisa terbayarkan cuma dengan uang, Than."

"Tapi, alasan gue masih di sini itu buat elo, Zar. Gue nggak peduli uang lagi. Gue cuma mau sama-sama, bareng elo." Aku menghentikan tangisanku, lalu menengadahkan kepalaku, menatapnya dalam-dalam.

Ada sirat kekecewaan dan kebahagiaan dalam matanya yang tadinya tajam makin melembut.

"Bener begitu?" tanyanya. Aku mengangguk, membiarkan mataku yang sembab terlihat olehnya.

Aku ingin dia tahu seberapa sayang aku padanya. "Iya," jawabku singkat.

Dia tersenyum.

"Lo maafin gue kan?" Aku bertanya.

Dia mengangguk. "Banget."

Halo, Tiga DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang