13

1K 79 3
                                    

Diana Paramastri

⠀⠀Aku berlari menyusuri koridor, sesekali menatap langit yang mulai menggelap. Langkah kakiku berderap berkat alas sepatu yang lumayan keras. Langit bergemuruh. Aku tetap berlari menuju kelasku.

Tidak sampai jantungku berhenti sedetik dan langkah kakiku tertahan sebab melihat sesuatu.

Ah, bukan, bukan makhluk halus. Itu hanya Dylan Oktarino.

Langit bergemuruh, dan jantungku pun bergemuruh.

Dia memicingkan matanya dari kejauhan.

"Diana?"

Ketika dia memanggil namaku, debaran di dalam dadaku ini rasanya tidak bisa kukendalikan.

"Ya?"

"Elo ngapain?"

"Novel gue ketinggalan."

Dia menghampiriku, menggandeng tanganku dan menemaniku berjalan di koridor.

"Gue ikut, ya."

Rasanya waktu berjalan melambat, atau cuma aku yang berlebihan?

***

"Lo sendiri ngapain ke sini?" Aku menumpuk ketiga novelku dan memasukkannya ke dalam tas asal-asalan. "Kan udah jam pulang?"

"Ada yang ketinggalan," jawabnya singkat. Mengerjap kedua matanya berkali-kali dan menguceknya. "Ah, sial, gue kelilipan."

"Sori ya, sebelumnya. Tapi, gue bukan cewek-cewek FTV, yang tiba-tiba ngehampirin cowoknya yang lagi kelilipan, terus niup matanya gitu." Aku memutar bola mataku dengan wajah jijik. "Nggak banget deh."

"Tunggu, tunggu." Dylan menyela dengan wajah bingung--dan sedikit menggoda. "Lo bilang apa tadi? 'Cowoknya'? Jadi gue cowok lo, nih?"

Tiba-tiba, pipiku memanas. Tanganku berhenti bergerak.

"Apaan sih, maksud gue kan, bukan gitu. Dasar gila." Aku menutup resleting tasku dengan cepat, lalu duduk di kursi yang paling dekat denganku.

Dia terkekeh dan duduk di sebelahku. Kami duduk berhadapan.

"Eh, hujan." Dylan membulatkan matanya ketika mendengar suara rintik. "Yah, tanding futsalnya nggak jadi, tuh."

Oh iya, Geon kan, lagi tanding futsal ya, kurang dari sepuluh menit lalu baru saja mulai.

"Masih main kali," selaku cepat. "Pasti mereka lagi bela-belain hujan-hujanan sekarang."

"Ohh, gitu." Dia mengangguk-angguk, menyangga kedua tangannya di mejanya dan meja sebelahnya. "Kalo gue tanding basket, misalnya hujan, pasti ditunda. Nggak bakal hujan-hujanan gitu."

Aku diam. Dia diam. Suasana dingin, canggung, ditambah hujan. Ya ampun.

"Lo nggak pulang?" tanyanya mencairkan suasana.

Aku mengerling sebal. "Lo nggak liat, di luar hujan deres gitu?"

"Gerimis doang, kok," ujarnya agak jengkel mendengar suara judesku barusan.

Halo, Tiga DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang