Thania Pradithama
⠀⠀Sekarang pukul 5 sore, aku baru saja pulang dari kursus piano. Aku berjalan kaki karena rumahku tak jauh dari tempat kursus musik itu. Kulihat sekitarku, jembatan tua sepi yang temboknya mulai retak-retak, di bawahnya terdapat sungai membentang. Langit mulai berubah warna menjadi kuning keemasan--oranye mungkin? Aku menghentikan langkahku dan melihat bayangan matahari oranye memantul di air sungai yang terbilang bening tersebut. Inilah yang orang-orang bilang "magic hour"? Berlebihan. Apanya yang magic.
Aku menginjak-injak tanah dengan keras (atau lebih tepatnya menghentak-hentakkan kakiku). Rasanya aku kesal sekali entah mengapa. Entahlah, mungkin karena aku sedang menstruasi.
Sulit sekali menjadi wanita.
Kepalaku mendadak terasa pusing, tubuhku oleng, terjatuh duduk di tengah jembatan.
"Lo nggak apa-apa?"
Sebuah tangan terulur. Bukan, jangan berharap tangan lelaki. Ini benar tangan perempuan. Dan penampilan yang mengejutkanku adalah, orang ini memakai seragam yang sama denganku.
Meski aku bisa disebut gadis tak kasat mata, aku tidak kudet-kudet amat kok. Aku tahu dia. Bahkan dia sekelas denganku.
Diana Paramastri. Salah satu siswi yang sekelas denganku yang terkenal bandel. Rumornya, di SMP-nya, dia dijuluki 'preman' karena suka memalak-malaki setiap siswa yang mau lewat di depannya, dan hobi menjotos-jotos anak orang secara sembarangan, tetapi--mengejutkannya--dia tidak pernah masuk ruang kesiswaan. Siswi yang diam-diam populer.
Meskipun begitu, dia juga banyak dibenci oleh beberapa orang (yang kuanggap bodoh banget bisa membenci cewek sebaik ini). Kudengar, Diana mempunyai 2 kakak perempuan. Dan Diana tak begitu dekat dengan keluarganya karena mereka hidup pisah-pisah. Aku yakin dia hidup lebih menderita (daripada yang orang-orang pikirkan) karena tak bisa terus bersama-sama keluarganya.
Orang ini juga dekat dengan Nizar. Tetapi aku tahu pasti, Diana tak sedekat Monita. Dan semua tahu bahwa Diana cukup biasa bermain dengan laki-laki juga tampang mantan preman itu. Oke, sebenarnya jujur saja, wajahnya sama sekali tak mencerminkan bahwa dia adalah seorang (mantan) preman. Tetapi, kelakuannya benar-benar mencerminkan preman. Suka menonjok (meskipun itu bercanda... atau serius), tertawa dengan mulut terbuka lebar, tatapan sinis jika melihat orang yang tidak dikenalnya. Oh, tidak tidak, tidak. Itu lebih mencerminkan seorang tomboy ketimbang seorang preman.
"Thania?"
Ya ampun, sudah berapa lama aku melamun? Pasti aku benar-benar terlihat seperti orang bego. Buru-buru aku menyahut, "Ya?"
Tangannya bergerak-gerak. Ketika aku baru sadar aku masih duduk, dengan segera aku menggamit tangannya dan berdiri tegap, mengucapkan terima kasih.
"Lo duduk-duduk di tengah jembatan? Ngapain sih?"
"Nggak apa-apa." Aku tersenyum kecil, menyembunyikan kalimat-kalimat yang ingin kulontarkan padanya bahwa aku ini mengidap penyakit anemia sehingga tadi pandanganku blank sejenak, maka dari itu aku terjatuh.
Bukan duduk-duduk di tengah jembatan seperti orang idiot.
"Lo yakin?" Wajahnya terlihat cemas. Astaga. Aku benar yakin cewek ini baik sekali! Bahkan kami tak begitu saling mengenal, tapi dia bisa-bisanya mengkhawatirkan orang aneh seperti aku.
Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu kami berjalan bersama.
"Anyway, habis dari mana?" tanyanya tiba-tiba.
"Kursus piano," ucapku. Sialnya, dia terlihat setengah percaya. "Ngomong-ngomong, rumah lo di mana, Diana?"
"Deket lah, depanan dikit," kata Diana. Aku cuma mengangguk. "Lo sendiri?" Dia bertanya sekali lagi.
"Sama, deket kok."
"Ooh."
Lalu kami sama-sama terdiam. Hanya suara sepatu saja yang terdengar, dan suara sungai yang mengalir halus.
Tidak sampai aku melihat Nizar yang membawa motornya melewati kami tepat di depan mata. Dia masuk ke dalam perumahan di seberang taman kota.
Astaga, aku nyaris sekali lupa akan tugasku menjaga Nizar.
Aku harus menguntitnya untuk mencari tau sedang apa dia di perumahan itu.
"Diana," panggilku canggung, dia hanya menengok. "Kayaknya, gue duluan aja deh."
Dia manggut-manggut sejenak. "Nggak mau jalan bareng aja?"
"Nggak perlu, nggak perlu." Aku menyergahnya, menyembunyikan sedikit--banyak kepanikan yang bergemuruh dalam dadaku. "Kebelet."
Dia ketawa. "Oke, kalau begitu." Mendengar kesetujuannya, aku girang setengah mati. "Hati-hati, Thania."
"Ya. Bye, Diana!" Sembari begitu, aku melambaikan tanganku dan berlari kencang-kencang ke arah perumahan di seberang.
Oke, aku heran juga mengapa Nizar ke perumahan itu. Yang jelas, rumah-rumah di dalam sana sangatlah mewah-mewah.
Aku terperanjat melihat Nizar yang baru saja turun dari motornya, telah sampai (mungkin) di rumah tujuannya. Buru-buru aku bersembunyi di dekat rumah itu, mencoba untuk tidak terlihat. Aku mengamati rumah itu baik-baik dan mencatat alamatnya dalam pikiranku.
Laporan ini aku langsung sampaikan kepada Om Ardi sesegera mungkin.
Meski aku jujur saja, aku curiga dengan kondisi rumah tersebut yang terlihat lebih lusuh daripada rumah-rumah lainnya. Tapi semoga Nizar tidak melakukan apapun di luar kepala.
Jalanan sepi, dan Nizar sudah masuk ke dalam rumahnya. Aku mengeluarkan ponselku dan memotret rumah tersebut, mengirim ke ayah Nizar via WhatsApp. Serta merta mengirim titik lokasiku.
[Thania P.: Om Ardi. Sebelumnya, maaf kalau aku ganggu. Baru aja aku lihat Nizar masuk ke rumah, kayaknya sih kosong gitu. Apa Nizar sudah izin sama Om, kalau dia mau ke rumah ini?]
Aku menunggu balasannya dengan gemas. Entah kenapa firasatku tidak enak.
Tidak sampai 2 menit, Om Ardi membalas pesanku.
[Om Ardi: Enggak. Dia gak pernah bilang kalau dia mau ke rumah itu. Boleh tolong kamu cek? Makasih sudah lapor ke Om ya.]
Mendapat pesan seperti itu, aku makin gemas saja. Apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah aku harus masuk ke dalam rumah itu sekarang juga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...