Diana Paramastri
9 tahun kemudian.
⠀⠀Sial, aku telat datang satu jam!
Seharusnya aku datang jam 7 malam, tapi karena jalanan macet, dandan dulu, dan faktor rumah jauh dari lokasi, jadinya telat deh.
Sebelum masuk ke dalam gedung, aku merapikan diriku, memegang rambut sebahu yang dulu pernah panjang sampai atas punggung, selalu kukuncir--kini rambutku sudah kutata dan agak bergelombang, kemudian tanganku berpindah menepuk-nepuk gaun putih tanpa lengan yang hanya menutupi kakiku hingga selutut, lalu melihat sepatu flat berwarna putih, kulirik jari-jariku yang dilengkapi kuteks putih di setiap kukunya, dan terakhir gelang berwarna silver di lengan kiriku--berkelap-kelip berkat glitter.
Repot juga. Seakan-akan malahan aku yang kayak punya acara.
Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung serbaguna tersebut dengan buru-buru--untung saja aku memakai gaun selutut, jadi nggak repot-repot amat lari sambil angkat-angkat gaun seperti di TV-TV.
Selesai mengisi daftar buku tamu, kulihat beberapa ada yang membawa anaknya, dan pasangannya masing-masing.
Arghh, sial. Jomblo betul aku.
Ada rasa malas untuk mencari teman-temanku yang pastinya datang, dan akhirnya aku cuma mengambil air putih dingin di salah satu meja.
Tangan kiriku bertengger di meja yang berada tepat di belakangku, kuketuk-ketuk gelas kaca itu lalu aku melumat bibirku yang kupoles dengan gincu berwarna merah pudar itu dengan sekilas, seolah menunggu sesuatu.
"Diana, Diana Paramastriii!"
Aku menengok ke kanan dan kiri, mencoba mencari arah suara tersebut, dan tersentak menemukan di sebelah kiriku berdiri seseorang yang menjadi sahabatku selama bertahun-tahun.
Ailsa Sudirman. Cewek yang dulunya jarang selfie, bahkan foto buku tahunan pun mukanya selalu aneh dan dimarahin terus sama fotografernya--sekarang menjadi model dikenal yang fotogenik, wajahnya selalu terpampang di banyak majalah dan di iklan-iklan.
"Ailsa!" panggilku, menaruh gelas di meja yang ada di belakangku, lalu memeluknya erat. "Tambah tinggi aja!"
"Iya dong," katanya bangga kemudian melepas pelukan, ia agak menunduk karena media mengatakan tingginya telah mencapai 176 senti meter, sementara aku hanya 160 senti meter. "Elo yang pendek ya?"
Sial, seharusnya tadi aku pakai high heels.
"Dasar kurang ajar," umpatku jelas. Dia tertawa, aku memutar bola mataku sembari tersenyum geli. "Tadi gue ada rencana pake high heels tapi lupa."
"Alasan aja," tukasnya. Aku menggeleng lalu tertawa, dia ikut tertawa. "Lo... sendirian?" tanyanya.
Ya ampun, memalukan.
Mantan pacarku sudah terjumlah 6 orang, dan kelima orang itu sama sekali tidak membuatku menaruh hati pada mereka. Akulah yang masih menginginkan si cowok sialan yang pergi ke Jepang itu.
Sembilan tahun belum move on. Memang payah. Padahal aku sudah cukup berumur.
Aku mengangguk lagi, namun tawaku mereda. Ailsa tersenyum khawatir, menyadari perasaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...