15

861 67 8
                                    

a/n: short chapter.

Thania Pradithama

⠀⠀Acara pemotretan buku tahunan sudah selesai. Sekolah rasanya sepi sekali. Kulihat jam tangan digital berwarna tosca yang melingkar manis di pergelangan tangan kiriku.

15:21

Menatap langit, duduk di tengah lapangan yang sepi, dengan matahari yang tak terlalu terik, benar-benar sempurna untukku pada saat seperti ini.

Aku menengadahkan kepalaku ke arah langit yang makin membiru, lalu memejamkan mataku. Menikmati setiap detiknya. Menikmati setiap gelapnya. Menikmati setiap hitam yang kulihat.

Apa aku betul-betul bodoh, merasa seakan tidak ada apa-apa, padahal ada apa-apa?

Ada apa dengan aku ini?

"Mau?"

Aku tersentak, tersadar dari lamunan. Sejenak warna biru pudar memenuhi retinaku sampai akhirnya kulihat tangannya menjulur ke arahku, membawa dua botol soft drink. Salah satunya dia berikan kepadaku.

Aku menyambutnya dengan senang. "Makasih."

"Lo udah tahu kan, kalo nanti kuliah kita masih satu kampus?" Dia meminum soft drink-nya sendiri. Aku mengangguk kemudian wajahnya terlihat excited. "Gue seneng aja, sadar bisa bareng elo lagi."

Lalu aku terdiam. Menyadari satu hal yang nyaris kulupakan.

Benar juga. Apa yang kulakukan ini salah. Ini sudah melanggar. Jatuh cinta dengan Nizar bukan bagian dari aturan kami.

"Zar," panggilku lirih, dia menengok cepat. Aku menggelengkan kepalaku pelan. "Nggak deh, enggak jadi."

"Kenapa?" tanyanya, mengangkat alis, lalu tersenyum. "Cerita aja."

"Nggak ada apa-apa kok," bohongku. Dia mengernyit, seolah-olah mengerti. Lagi-lagi aku menggeleng. "Lo tahu kan, tugas gue cuma buat jagain elo? Gue--"

"Gue tahu, pacaran sama gue itu sebenernya nggak boleh ya?" Dia memotong ucapanku sambil tersenyum--tepat. "Ngelanggar aturan?"

"Iya. Gitu deh."

Aku hanya bisa menjawab begitu. Thania otak udang.

"Terus..." dia tersenyum sembari melihatku, mengerjapkan matanya perlahan. "Sekarang lo maunya gimana?"

Aku menggigit bibir. "Kita..."

Dia diam. Aku juga.

Aku menggosok botol dingin yang mengembun itu. Seraya air embunnya menetes, aku menggeleng lagi, lalu menatapnya dan tersenyum lebar.

"Nggak deh, nggak jadi. Nggak apa-apa," ujarku lalu meminum soft drink itu. Kerongkonganku yang tadinya betul-betul kering, menjadi sedikit lebih lega. "Gue masih pengen bareng elo kok."

Dengan lancar aku bilang begitu.

"Ya udah yuk, pulang. Gue yang nganter ya."

Aku cuma tidak tahu, bahwa 2 tahun kemudian aku akan merasa betul-betul bodoh. Sangat bodoh. Kelewat bodoh.

Halo, Tiga DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang