5

1.5K 129 3
                                    

Thania Pradithama

⠀⠀Kulepas sepasang sepatu yang telah kupakai selama hampir seharian, membuka pintu, dan masuk ke dalam rumah yang terbilang cukup besar--dan cukup gelap--itu.

Ini rumahku. Di mana semua kenangan ibuku tertinggal.

Aku menyalakan sakelar lampu di rumahku, lalu naik ke lantai atas, memasuki kamar, menaruh tasku seraya merebahkan tubuhku di tempat tidur. Kupejamkan mataku.

Dulu, saat aku masih duduk di bangku kelas 2 SD, layaknya anak-anak kecil biasanya, ketika melihat gulali yang besar, pasti langsung tergiur dan mengemis-ngemis untuk dibelikan gulali malapetaka itu.

Pulang sekolah, aku meminta untuk dibelikan gulali di seberang sekolahku, dan ibu sedang sibuk mengobrol dengan ibu-ibu yang lain--entah membicarakan apa--jadi dia hanya memberi selembar kertas 5 ribuan kepadaku. Aku langsung menyebrangi jalanan dan membeli gulali yang aku inginkan itu di sana.

Aku yang (dulu) tak terlalu pendiam itu, langsung kegirangan saat akhirnya mendapatkan gulali tersebut. Aku berteriak girang sambil meloncat-loncat menyebrang untuk kembali, juga memamerkan gulali yang kupegang--bahkan aku melupakan kembaliannya.

"Ibu! Ibu! Aku dapat gulalinya!"

Lalu dari arah kiriku, ada mobil melaju kencang, dan ibuku yang menyadarinya, berlari menyebrang lalu mendorongku ke pinggir jalan sehingga gulaliku terlempar (yah, di saat-saat seperti itu mana mungkin aku memedulikan gulali kan?).

Sebagai gantinya, nyawa ibuku yang direnggut.

Saat di pemakaman, aku sudah paham kalau ibuku tidak akan bisa kembali lagi.

Om Jaidin, kakak lelaki ibuku satu-satunya yang galak itu, marah besar dan tak terima nyawa adik kesayangannya terenggut cuma karena seorang anak kecil yang payah. Ia langsung memarahiku habis-habisan dengan wajah merah dan urat yang berkedut di pelipisnya.

"Dasar anak pembawa sial! Seharusnya kamu saja yang mati! Bukan Jana!"

Om Jaidin sempat melukai tanganku dengan pisau dapur--meski sekarang bekasnya sudah hilang sih. Sampai kini, ia tinggal rumah sakit jiwa karena perbuatannya.

Aku tahu alasan Om Jaidin melakukan itu. Dia menganggapku anak pembawa sial. Dan dia ingin aku mati sesegera mungkin.

Baiknya, ayahku membelaku paling depan dan sama sekali tidak menganggapku anak sial.

Sembari ayahku mengobati bahuku yang disebabkan oleh Om Jaidin, aku terus bertanya, "Yah, ibu meninggal karena aku ya?"

Dan ayahku membalas pertanyaanku dengan senyum lesu. "Kecelakaan sering terjadi, Nak."

Aku terus berpikir, pasti sakit sekali rasanya. Rasa sayang Om Jaidin pada ibuku begitu besar, sangat besar dan begitu berlebih hingga dia kehilangan akalnya.

Ayahku pun sangat mencintai ibuku. Ayah mempertahankan aku karena ia tahu darah ibuku juga menjalar di tubuhku. Ayahku bekerja untukku. Untuk kelangsungan hidup kami. Dan salah satu alasan mengapa aku harus menerima penawaran Om Ardi, karena ayahku menyayangiku. Dia ingin yang terbaik untukku. Masuk di sekolah yang bagus dan keren. Elit.

Saat kehilangan sosok ibu, kukira akulah yang paling sedih dan semua beban di dunia ini ada pada pundakku. Tetapi nyatanya, aku hanya tidak tahu. Ayahku yang selalu menyemangatiku agar tidak menangis lagi, sering kali malam-malam juga menangis tersedu.

Aku sadar saat aku kelas 5 SD, jam 11 malam ketika ayahku baru saja pulang kerja lembur, pintu kamarnya yang agak terbuka, menampakkan ayahku yang duduk di tepi ranjang memunggungiku sembari memeluk sebuah bingkai foto yang kuduga foto ibuku.

"Aku bersumpah dengan nyawaku, aku akan menjaga Thania dengan baik, Jana..."

Tak pernah aku lihat dia menangis nyaris meraung seperti itu.

Karena justru ayahkulah juga paham dan merasakan yang namanya kehilangan. Ia berjuang mati-matian untuk menutupi kesedihannya di depan hanya untuk menghiburku.

Di tempat ibuku dimakamkan, ada tanah kosong di sebelahnya yang sepertinya sudah dipesan oleh seseorang. Pada awalnya aku tak terlalu peduli pada tanah kosong di sebelah makam ibuku itu. Tapi lama kelamaan aku heran, mengapa tanah ini dikosongkan bertahun-tahun padahal letaknya lumayan strategis. Dan pada saat aku sedang pergi ziarah sendirian, kuumbar rasa penasaranku itu pada penjaga makam.

"Pak, tanah di sebelah sana itu, memang sengaja dikosongin? Aneh rasanya bercelah begitu."

Si penjaga makam paruh baya yang kulitnya telah menggelap akibat sering terpapar sinar matahari itu awalnya terlihat terkejut melihatku, lalu tersenyum manis.

"Kamu Thania kan? Sudah besar ya." Senyuman manisnya berubah menjadi senyum miris. Dengan jawaban yang di luar dugaanku, ia berkata, "Tanahnya sudah dibeli, Nak. Ayahmu yang membelinya. Beliau meminta untuk disisihkan sebuah makam untuknya kelak, dan dia ingin makamnya nanti ada di samping makam ibumu."

Setelah mendengar si penjaga makam bicara begitu, aku pulang ke rumah mendapati ayahku sedang tertidur pulang kerja di sofa ruang tengah. Aku menangis sendu di sampingnya, tanpa ayahku ketahui.

"Thania!" Aku tersadar dari lamunanku. Ah, padahal hampir saja aku tertidur. Itu suara ayahku yang berasal dari bawah. "Turunlah sebentar."

"Iya, Ayah. Tunggu sebentar." Aku setengah berteriak dari kamar, lalu mengganti baju, setelah itu turun ke tempat di mana ayahku berdiri sedang memegang kantung plastik yang kuduga berisi makan. "Apa itu?"

"Nasi goreng." Dia mengendikkan bahunya. "Kamu mau?"

"Mau dong." Aku tertawa. Dia ikut tertawa. Sudah lama aku tidak tertawa bersama ayah. "Ayah tahu aja kalau aku lagi lapar."

"Gimana sekolahnya hari ini?"

"Ya, begitu-begitu aja, Yah."

Lalu aku bercerita tentang kegiatan sekolahku hari ini. Dia mendengarkan aku dan mencermati setiap kalimat yang kulontarkan.

Halo, Tiga DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang