Ailsa Sudirman
⠀⠀"Sendiri aja, Neng?"
Aku tersentak ketika melihat orang yang kutunggu-tunggu kini duduk di hadapanku.
"Hai, Fadel," sapaku, mencoba bersikap seperti biasa.
Tidak. Aku sulit untuk bersikap biasa, setelah minggu lalu aku melihatnya bersama Monita.
Dua kali.
Pertama di kantin. Dan kedua di dekat kelasku, Monita menyentuh tangan Fadel.
Mendadak hatiku panas sendiri.
"Kenapa nggak bareng sama temen-temen yang lain, Sa?" Dia menopang dagunya sesaat, lalu meminum air mineralnya yang sedari tadi ditenteng-tenteng. "Kan biasanya bareng Diana dan Thania, kan?"
"Kenapa nggak bareng sama temen-temen yang lain, Del?" Aku mengikutinya menopang dagu sembari tersenyum. "Kan biasanya bareng Dylan, Steve, Nizar, kan? Oh iya, kayaknya lagi sering bareng Monit, kan?"
Matanya terbelalak. "Maksud lo?" Kali ini wajahnya berubah penasaran. "Gue jarang bareng Monit, ah."
"Seenggaknya dia pernah ketawa bareng elo. Bahkan nyentuh tangan elo, kan?" Aku tersenyum memaksa. Matanya penuh penyesalan. "Lo cocok kok, bareng Monita."
"Nggak gitu, Sa." Fadel membetulkan posisi kacamatanya. Dia tampak lucu. "Lo kan tau, gue sayangnya sama elo."
Fadel sering kali mengatakan itu. Dia mengaku menyayangiku. Tapi sungguh, aku tak pernah percaya. Nadanya terus seperti bercanda.
Apa dia tidak tahu, bahwa aku adalah teman kecilnya?
Aku masih ingat, diriku yang masih berumur 6 tahun itu melompat-lompat, berjalan sendirian. Biasa, on the way pulang, habis main di taman dekat rumah.
Melewati jembatan yang di bawahnya mengalir sungai kecil. Di pinggir jembatan itu, ada sebuah pohon--entah pohon apa, aku pun tak ingat--yang daun-daunnya menjuntai ke tengah jembatan. Pohon ini benar-benar ajaib, karena warna daunnya berwarna gelap kebiruan. Kabarnya, daun pohon tersebut tak pernah mengering ataupun layu. Karena daunnya selalu biru, semakin lebat tiap tahunnya, dan tak pernah gugur.
Di situ, aku menemukan seorang bocah laki-laki seumuranku yang sedang menangis di pojok jembatan.
Aku menghentikan aksi lompat-lompatku, lalu menghampiri anak itu dengan heran.
"Kamu kenapa?" tanyaku polos, duduk di sebelahnya yang sedang mengusap-usap mata sembari merengek.
"Aku... nggak punya teman lagi! Semuanya jauhin aku!" Dia melempar beberapa kerikil yang ada di dekatnya untuk mereda amarahnya--sedikit. "Jovan dan Reza nggak mau lagi main sama aku..."
"Kenapa begitu?" Aku memicingkan mata.
Dia menggeleng lemah. "Mereka bilang aku payah."
Di situ aku berpikir untuk mengambil selembar daun biru yang menjuntai di atas jembatan. Aku berusaha mengambil daun terbaik, berjinjit, memetiknya, lalu kembali ke tempat si bocah laki-laki yang masih sesenggukan tersebut.
"Aku dengar dari teman-teman, kalau kamu berharap sesuatu terus memetik daun di sini, doa kita akan terkabul." Aku mengulurkan tanganku memberi daun itu. "Dan aku berharap, kamu bisa punya teman lagi."
Dia menyambut daun pemberianku dengan ragu. Aku tersenyum.
"Namaku... Fadel." Yang mengaku Fadel itu berdiri dari tempatnya, dia tak lagi menangis. "Makasih." Dia tersenyum lagi. Berlari ke suatu tempat, dan kembali lagi dalam waktu singkat, membawa bunga--entah aku lupa. "Tapi kamu cuma bisa dapat ini dariku. Maaf ya."
![](https://img.wattpad.com/cover/54756410-288-k387259.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...