19

1.3K 66 6
                                    

Thania Pradithama

2 tahun kemudian.

⠀⠀Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari berganti bulan, bulan berganti tahun.

Dan tanpa bosan, aku masih saja menetap, menunggu matanya terbuka.

"Lo masih nungguin?" katanya, "Nggak capek gini terus? Dokter kan, udah nyaranin buat su--"

"Tapi gue nggak mau capek," balasku, menatap benda persegi besar diiringi garis yang bergerak naik-turun di setiap detiknya. "Selama detak jantungnya masih kelihatan hidup di monitor itu, gue nggak bakal capek."

Dia menggelengkan kepalanya, duduk di sebelahku, di sofa yang berada 3 meter jauhnya dari samping kasur sakit. "EKG namanya."

"Nggak peduli, gue nggak butuh ralat-ralatan."

"Than, nadinya udah melemah dari minggu lalu. Lagian, walinya aja udah ikhlas kok--"

"Tapi gue belum," potongku secepat kilat. Dia tersenyum, mencoba menghiburku (mungkin). Aku mengernyit, memejamkan mata untuk beberapa detik. "Lagipula, tantenya sendiri yang bilang kalau kita bakal jagain Nizar sama-sama

"Tantenya juga udah ikhlas, minggu kemaren dia ngomong kan, kalo ini bukan tugas lo lagi buat ngejagain," ucapnya, menatapku lembut."Lo doang yang belum ikhlas."

Aku mendecih, melirik tubuh pucat yang terbaring di kasur sakit sedari dus tahun silam itu.

"Lo nggak ngerti rasanya jadi gue." Aku mendorong bahunya perlahan, kemudian justru aku yang meringis.

"Gue tahu. Tapi lo harus lepasin dia, Thania." Dia menggelengkan kepalanya perlahan, mengunci tatapanku. "Dia butuh istirahat total. Emangnya lo mau ngeliat dia berjuang terus ngelawan kankernya yang udah bener-bener mengganas dan nggak bisa ditolong lagi itu?" Gantian dia yang mengernyit, membuat suasana menjadi lebih serius. Aku menggeleng, kemudian dia tersenyum. "Kalo gitu cuma satu jalan biar dia lepas dari semua penyakitnya. Seperti yang dokter bilang--"

"Euthanasia." Lagi-lagi aku memotongnya. Tak sanggup mendengar kalimat itu dari bibir orang lain selain dariku sendiri, meskipun rasanya juga sama-sama sakit ketika mendengar dan mengatakannya. "Gue tahu."

"Iya," ujarnya, kali ini nada suaranya agak melembut. "Lo harus belajar rela ya? Kayak temen-temen, tantenya, keluarganya, bahkan orangtuanya."

Aku terdiam, berpikir sejenak. Lalu bangkit dari duduk, menghampiri manusia yang berbaring lemah di seberangku.

Menatap selang-selang yang tersambung pada alat pernapasannya. Wajahnya yang putih sekali, matanya yang tak pernah terbuka sejak 1 tahun lalu, tubuhnya yang dibalut baju berwarna biru pucat dari rumah sakit, sampai monitor EKG yang ada di samping kasurnya.

Aku mengusap puncak kepala Nizar--tak lain ialah orang yang terus-menerus tidur di kasur itu. Tanganku turun ke tangannya yang lemas dan dingin, aku mengelusnya dengan gemetar.

Tangan yang sudah lama tidak menggenggamku.

"Lo harus belajar rela." Langkahan kaki cowok itu mendekatiku, ia mengulang kalimatnya, berbisik tak jauh dari tempatku berdiri.

Seraya ia mengucapkan itu, air mataku yang sedari tadi kutahan, meluncur begitu saja dari bendungannya--terjatuh di kening Nizar.

Aku membungkuk, mencium punggung tangan Nizar, dan mengecup dahi dingin milik orang yang telah lama kucintai tersebut dengan sekilas.

"Nizar," lirihku memanggil namanya, nyaris tak terdengar sama sekali.

Kenangan yang kusimpan selama 6 tahun itu kembali menyerang ingatanku.

Halo, Tiga DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang