17

879 76 15
                                    

Diana Paramastri

⠀⠀Dylan mengeratkan jarinya pada jari-jariku, masih menyetir mobilnya, memandang lurus ke depan. Aku tersenyum, dia yang menyadari kutatap langsung tersenyum balik seraya menatapku.

"Kenapa, Diana? Liatin gue terus," senyumnya.

Aku mendecih sembari membuang muka. "Nggak apa-apa."

Dia tertawa pelan--tak lama tawanya berhenti.

"Janji sama gue." Aku menatapnya dari samping. "Jangan pernah pergi ke mana-mana."

Ketika itu, ia menepis tanganku secara tiba-tiba. Dan mendadak suasana menjadi sepi senyap.

Apa yang dia lakukan sih? Aku tidak habis pikir, padahal belum satu menit lalu kami baru tertawa, dan dia mengeratkan tangannya. Tapi kenapa mendadak jadi begini?

"Diana," panggilnya, lirih nyaris tak terdengar. Aku menelan ludah sebelum akhirnya menjawab.

Situasinya betul-betul tidak enak.

"Kenapa?" jawabku, pelan dan hati-hati.

Dia memegang dahinya frustrasi, lalu mengacak rambutnya kesal, sebelum akhirnya membuka suara dan membuatku terkejut setengah mati.

"Itu... bisa nggak, hubungan kita biasa aja?"

Rasa tak nyaman menjalariku.

"Maksudnya?" Aku mencoba santai, membawa topiknya dengan perlahan.

Dia mendecak. Sempat terlihat berpikir lalu mengulum bibirnya sendiri.

"Lupain aja. Hari ini jalan yuk. Temenin gue."

***

"Mau es krim nggak?" tanyanya, menunjuk salah satu toko es krim. Aku mengangguk.

"Ya mau lah!" seruku serius. Dylan terkekeh, lalu menggandeng tanganku menuju ke sana.

"Duduk aja, gue yang mesenin. Bentar," katanya, meninggalkanku sebelum aku menjawab--toh, aku memang tidak mau jawab apa-apa.

Aku tersenyum manis, lalu senyuman itu sendiri mendadak menyipratkan rasa pahit pada diriku.

Perasaanku benar-benar tak enak sejak tadi.

Di mobil, dia selalu memberi topik menarik setelah berucap begitu, seolah-olah tidak terjadi ada apa-apa. Jujur saja, aku khawatir dengan apa yang diucapkan, karena kata-katanya seperti menunjukkan bahwa ia ingin menjauhiku. Namun tidak ada tanda-tanda kami harus menjauh kalau kondisinya masih baik-baik saja begini.

Atau jangan-jangan ini adalah pertemuan terakhir kami, lalu ia ingin menjauhiku?

Ya ampun. Jangan berpikir yang aneh-aneh.

Fakta mengenai aku beda kelas dengannya dan, yah, hubungan kami tidak begitu jelas, membuatku semakin kepikiran saja.

"Nih." Ada bunyi gelas beradu dengan meja kaca, kemudian disambut bunyi geseran kursi. Dylan duduk di seberangku. "Coklat, kan?"

Aku mencoba melupakan segalanya yang baru saja kupikirkan, lalu mengulum senyum. "Tahu aja."

"Kan gue selalu tahu apa yang elo mau dong." Dia balik tersenyum. Lalu kami sama-sama diam.

Halo, Tiga DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang