Thania Pradithama
4 jam sebelumnya.
⠀⠀"Udah nyampe, Than."
Aku membuka mataku perlahan, mengerjap-kerjapkan kedua mataku, mendapatkan mobil telah berhenti tepat di depan rumahku.
Dan Nizar yang terbatuk-batuk seraya memegang dadanya di sebelahku.
"Ohh, udah nyampe," ujarku, mengucek mata, membetulkan posisi dudukku menghadap padanya. "Kenapa, Zar?"
Nizar menengok ke arahku, tersenyum memaksa. "Nggak apa-apa kok. Dah, sana balik. Nanti kamu dicariin ayahmu lagi," kekehnya, menyipitkan mata.
Wajahnya pucat. Aku mengerutkan dahiku, lalu balik tersenyum padanya. "Thanks for today."
"Thanks for today, too, Thani. Aku nggak yakin kita bisa ketemu lagi...," ucapnya, dengan wajah bercanda.
Aku menghela napas lalu mendorong pipinya pelan. "Kalo ngomong dijaga. Bagian dari doa."
"Haha iya," tawanya. "Udah sana, gih."
"Goodbye." Aku melambai. Lalu dia menunjuk pipinya. Aku mendecih, dua detik kemudian mengecup pipinya sekilas.
Dia tersenyum lagi, lalu menunduk. "Kayaknya ini terakhir..."
"Apanya?" Aku mengernyit, mencoba mencerna apa yang dilirihkannya. "Kamu ngomong apa?"
"Firasat aku aja. Nggak, nggak apa-apa." Dia tertawa. Jelas-jelas tidak ada yang lucu. "Habis ini aku mau jemput ayah, dia lagi di Bandung. Aku harus buru-buru," jelasnya panjang. Aku pun mengangguk. Lalu Nizar mengusap puncak kepalaku sekali. "Bye."
Aku membuka pintu mobil, lalu melangkah menjauh. Dia membuka jendela, setelah itu melambai, kubalas lambaiannya sembari tersenyum.
Dua setengah jam kemudian, aku mendapat pesan dari Tante Erna (adik Om Ardi), bahwa Nizar mengalami kecelakaan di perjalanan pulang. Tertabrak truk, leher ayahnya patah dan kakinya cedera, sedangkan Nizar langsung tak sadarkan diri--Tante Erna bilang ia belum tahu seberapa parah lukanya.
Sekitar setengah jam aku hanya menangis di kamar, karena syok. Setelah sadar sepenuhnya, aku menghapus air mataku, berganti baju, berangkat ke alamat rumah sakit yang diberikan oleh Tante Erna--tentu saja aku pergi dengan motor. Meskipun sejujurnya belakangan ini aku tidak dibolehkan membawa motor oleh ayahku, karena aku sempat jatuh dari motor beberapa minggu lalu.
Setengah yakin, aku masih bisa melakukan sesuatu untuk Nizar.
***
Aku membuka pintu utama rumah sakit dengan gusar, kemudian melongo melihat sekeliling.
Sial, di mana kamar Nizar? Bahkan Tante Erna tak memberitahuku.
Aku memutar tubuhku di tempat, lalu memegang kepalaku frustrasi. Sungguh, rasanya aku pusing sekali. Karena panik, dengan napas tersengal-sengal aku menelepon Ailsa serta Diana, juga mengundang teman-teman sekelas via LINE, untuk datang ke rumah sakit.
Bodo amat ah, meskipun sebetulnya mereka nggak ada hubungan tentang masalah ini--toh, Nizar juga teman mereka. Hitung-hitung menemaniku pula.
Aku duduk di kursi tunggu, lalu mengutak-atik ponselku sendiri selama 5 menit.
"Thania." Aku menengok ke arah suara itu. Menemukan Tante Erna. "Ayo ikut Tante."
***
"Lihat deh," senyum Tante Erna, tak lain ialah kakak perempuan dari ayah Nizar. "Udah lama lho, Tante nggak liat dia tepar kayak gitu."
Aku tersenyum memaksa, lalu menatap matanya yang sembab. "Emang kenapa, Tan?"
"Dia punya asma dari umur 5 tahun, tapi ajaibnya, saat masuk kelas 8 asmanya nggak pernah kambuh lagi, sampe kemarin. Kena penyakit kanker hati dari kelas lima SD, awalnya cuma tumor, dia nggak pernah mau diobatin, lama-kelamaan malah jadi kanker." Sedari tadi, untuk kesekian kalinya, Tante Erna tersenyum lesu. "Kata dokter, saat Nizar di perjalanan pulang, dalam waktu bersamaan asmanya kambuh dan tumor-tumor di hatinya makin berulah. Itu karena dia udah nggak pernah mau berobat. Ditambah, dia kecelakaan..."
Tante Erna terisak, kemudian menutup wajahnya. Bahkan aku bisa merasakan betapa sakit hatinya saat ini.
"Ibunya Nizar meninggal karena diabetes, dulu. Sebelum itu, Nizar masih ceria, mukanya selalu berseri-seri. Tapi pas dia mulai kangen sama ibunya, dia jadi kehilangan napsu makan, makanya dia jadi kurus. Padahal dulu gendut banget, pipinya tebal." Dia terkekeh, menyembunyikan rasa sedihnya sejenak. "Makanya, Tante seneng banget waktu liat dia jadi ceria lagi pas pacaran sama kamu."
Air mataku langsung membendung. Ya, Nizar koma, ia tak sadarkan diri semenjak kecelakaan tersebut. Sedang Om Ardi kini sedang menjalani operasi kaki, katanya ada beberapa pecahan beling kaca yang tertusuk di dalam kakinya--mulai dari pangkal paha hingga betis bagian bawah.
Argh, aku bahkan nggak sanggup hanya untuk mendengarnya. Ngilunya luar biasa.
"Aduh. Gara-gara Tante, kamu jadi ikut nangis deh." Tante Erna terlihat terkesiap. Buru-buru aku mengusap air mataku.
"Maaf, Tan. Kebawa suasana." Aku terkekeh pelan.
"Sabar," ujar Tante Erna, tersenyum manis. Wajahnya memang benar mirip Om Ardi, hanya versi lebih feminin.
"Sebentar...," lirihku, Tante Erna cuma mengangguk. Aku mengecek ponselku dan membuka notif dari teman sekelas.
[Diana: Thania, gue belum bisa ke sana sekarang. Ada urusan keluarga. Janji, besok.]
[Diana: Semoga Nizar dan Om Ardi cepet sembuh!]
[Ailsaa.: Gue datang nanti malam ya, Than.]
Aku langsung mengunci ponselku seusai membaca notifikasi.
Tante Erna masih memijit-mijit pelipisnya di sampingku. "Nggak tahu kapan Nizar bakal bangun," katanya sendu. Aku merangkulnya perlahan, lalu sambil menangis dia berkata, "Thania, kita jagain Nizar sama-sama ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Roman pour AdolescentsThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...