Ailsa Sudirman
⠀⠀"Ailsa, yang bener megang pistolnya!"
Aku menyeringai.
Jepret!
"Serius dong!"
Kulakukan tatapan kesal--dan penuh kebencian. Si Hendra, alias fotografer itu tersenyum senang.
Jepret!
"Yang kayak gitu tuh, keren!"
Jepret!
Halah, sampah.
Hendra Jovanka. Pernah mendengar namanya? Yup, saat pertemuan pertamaku dan Fadel, ia sempat mengatakan bahwa Jovan (nama kecil Hendra) juga mengatainya payah. Hendra/Jovan adalah sobat karib Reza pula. Dulu dia sekolah di SD yang sama dengan Fadel, dan alumni SMA kami. Sekarang ia kuliah di Universitas... entah apa namanya. Usianya beberapa tahun lebih tua dari kami. Mungkin... 19 atau 20? Ah ya, aku lupa memberitahu kalian bahwa Hendra mulai menjadi tetanggaku, tahun lalu.
Kenapa Hendra bisa ada di sini? Ketika panitia buku tahunan, OSIS, bahkan guru-guru tidak mendapat fotografer, maka Fadel berusaha untuk membujuk mereka agar memakai jasa Hendra. Dan sebagian lebih guru pun setuju, karena mereka mengenal Hendra sebagai anak baik dan mudah dirindukan. Jadi, mereka menunjuk Hendra sebagai fotografer buku tahunan kami, sekalian melepas rindu kepada anak murid mereka yang lama.
Dan dia bawel sekali. Aku muak.
"Udah kan?" Aku memicingkan mata heran karena ia masih saja mengambil foto tatkala menyadari waktu pemotretanku sudah habis.
"Iya! Ah, kelas lo kacau nih!" serunya setengah kesal, tetapi terdengar tersentak pula. Lalu terkekeh usil. "...atau Ailsa doang kali ya, yang nggak becus?"
Hidih!
"Hei, denger ya, Jo." Aku memanggil nama panggilan kecilnya, mengulurkan tangan kananku yang sedang memegang pistol mainan, seolah-olah target pembunuhanku adalah Hendra. "Gue emang nggak ada bakat jadi model-model gitu. Jadi nggak usah ngehina lagi ya, atau ini pistol mainan gue bakal lempar ke muka lo yang mirip kantong kresek itu!"
"Sst, dah ah, berisik." Dia mengibas tangannya di depan wajahnya sendiri dengan wajah menjijikan. "Ayo, ayo. Selanjutnya siapa?"
"Gue."
Aku melongo ketika melihat Fadel memakai serba hitam lengkap dengan kacamatanya dan topi fedora. Cocok dengan suasana taman. Tumbuhan yang rindang, tanah yang kering, tumbuhan liar yang tumbuh di mana-mana, matahari yang tak terlalu terik, benar-benar sesuai dengan tema kami.
Ah, sial. Tapi kenapa dia begitu memukau?
"Jo!" Dua detik kemudian Fadel memeluk Hendra layaknya tidak bertemu berabad-abad. "Tujuh tahun nggak ketemu kan!"
"Tujuh? Tadi pagi pas mau on the way ke sini udah ketemu di sekolah kan. Baru setengah jam," jawab Hendra memeluk balik Fadel lalu melepasnya beberapa detik kemudian. "Emang beneran tujuh tahun ya? Oh iya, tujuh tahun, kan gue ngikut Reza ke Singapura."
"Eh, anyway, kalian udah kenal satu sama lain, gitu?" Tanya Fadel.
Ah, dasar kurang update.
Aku membuka mulut hendak mengatakan sesuatu, namun Hendra mendahuluiku. "Udah," jawab Hendra, mengibaskan tangannya. "Ah, elo sih, jadi pacar nggak pernah ngapel ke rumah ceweknya, jadi nggak tahu kan, gue tetangganya."
Mendadak wajahku bersemu merah.
Kurang ajar, si Hendra/Jovan ini.
"Ngarang. Gue bukan pacarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Halo, Tiga Dara
Teen FictionThania "dibayar" untuk mengamati teman sekelasnya di SMA demi melanjutkan pendidikannya. Tapi, dia malahan jatuh cinta pada orang yang diamati. Padahal dia tahu, itu bukan bagian dari peraturannya. Sedangkan, Diana si cuek bebek berusaha keras untuk...