11

1.1K 84 1
                                    

Ailsa Sudirman

⠀⠀"Eh, udah jam berapa ini?" Diana mengecek jam di tangannya, lalu mengangkat alis. "Wah, udah jam tiga pagi dan gue masih belum ngantuk. Ajaib."

"Udah pada tidur sih, nggak bisa asyik-asyikan lagi." Thania menghela napas, tubuhnya bersandar pada sofa. "Yaudah deh. Gue jadi mau tid--"

"Belum pada tidur?"

Kami bertiga sontak menengok ke arah suara yang ternyata suara milik Monita.

"Sori, gue join bareng gini. Ngomongin apa?" tanyanya lagi, mengucek matanya, lalu ikut duduk di sebelahku.

Aku melirik Thania, dan Thania melirik Diana. Diana yang merasa risi dipelototin, langsung mengangkat suara. "Itu... apa tuh... ngomongin Thania waktu kecil hobi ngompol! Hahaha..." Diana tertawa garing. Aku dan Thania menepuk jidat.

Diana memang suka kelewat tolol.

"Oh... gitu." Monita terlihat percaya. Mukanya merah, sepertinya masih setengah sadar.

"Baru bangun ya?" tanya Thania basa-basi.

Gila, sudah jelas kan dia memang baru bangun? Ada apa sih dengan teman-temanku?

"Iya," angguknya. "Tadi niatnya nggak mau tidur gitu, eh, malah ketiduran. Jadi nggak bisa tidur lagi deh, tengah malam gini."

"Barusan kita pada mau tidur, liat lo dateng, nggak jadi," ujarku agak malas. Monita menggaruk tengkuknya.

"Sori. Yaudah kalo mau tidur, tidur aja nggak apa-apa." Monita tersenyum.

Kemudian sepi. Kami terdiam.

"Hai." Tiga orang lagi, menghampiri kami dan duduk di sebelah kiriku. Yang satu duduk di sebelah Thania, satunya lagi duduk di sebelah Monita. Fadel, Steve, dan Reza.

"Ikutan ya." Fadel bergabung dengan kami. Steve terlihat baru bangun tidur, sama seperti Monita. Aku mengangguk. "Gue kira udah pada tidur."

"Belum kok, tadi sempet tidur setengah jam, tapi kebangun lagi. Efek semangat kayaknya." Aku tersenyum ke arah Fadel. Fadel balas terkekeh.

"Pada balik jam berapa nanti?" tanya Thania. "Gue nggak ngusir ya, malah gue pengen kalian lama-lama di sini, makanya gue nanya."

"Siangan dikit mungkin." Diana mengangkat bahu, aku hanya mengangguk, yang lain tidak menjawab.

"Gue juga siangan kayaknya. Bareng Nizar sama Dylan," ujar Steve. "Monit katanya dijemput kakaknya nanti pagi."

"Iya," jawab Monita mengiyakan.

"Gue sama Eja balik jam delapanan kayaknya." Fadel menambahkan.

Sepi lagi.

"Ja." Aku membuka mulut, menengok ke arah Reza, dia pun menengok ke arahku. "Lo sekolah di mana?"

"SMA Kahiar." Reza mengendikkan bahu.

"Bukannya Kahiar sering tawuran sama Perdira ya?" tanyaku. "Denger-denger sih gitu."

"Eh, ikutan dong." Tambahan lagi, Dylan dan Nizar ikutan nimbrung di ruang tengah dan duduk di sebelah Diana.

"Iya, pernah denger dari anak kelas dua belas, SMA Perdira tawuran sama Kahiar, tahun lalu," sahut Diana, mengacuhkan Dylan yang terus berusaha menyita perhatiannya.

"Oh, ngomongin Kahiar? Lanjut, lanjut." Nizar mengusap dahinya, hanya mendengarkan.

Thania menangkup kedua pipinya sendiri. "Gue pernah denger ada geng kelas sebelas SMA Perdira yang bener-bener kayak penguasa sekolah di situ. Nama gengnya... apa ya, lupa. Ketuanya... siapa tuh, namanya..."

"Gevan. Ada juga anggotanya, namanya Geon." Monita menyambung percakapan. "Gevan sama Geon itu... kakak gue."

"Hah?" Aku mengerjapkan mataku. "Masa? Kakak-kakak lo anak bandel? Eh, kok kelas sebelas?"

"Iya. Gevan, kakak gue yang sulung, udah dua kali nggak naik kelas. Geon juga nggak naik kelas sekali. Gevan dan Geon jadi sama-sama kurang pelampiasan karena keadaan di rumah kurang bagus. Terus, mereka nyoba-nyoba bikin geng anak bandel, tahun lalu. Tahun lalu juga, mereka tawuran sama SMA Kahiar, gara-gara Gevan diselingkuhin sama ceweknya yang ternyata selingkuhannya itu anak Kahiar.

"Sekarang, Perdira kenal mereka karena kejelekannya. Padahal dua tahun lalu, waktu Gevan kelas sepuluh dan Geon kelas sembilan, mereka terkenal karena emang pinter." Monita mengusap wajahnya yang makin memerah. "Nggak tau kenapa, Gevan sama Geon jadi kayak gitu di sekolah. Suka cari ribut, sering masuk ruang kesiswaan. Padahal, sebenernya mereka baik kok, superbaik malah. Apalagi kalau sama adik gue, Anita. Nita sering bilang, sayang banget sama Gevan, Geon.

"Jujur, gue bener-bener sayang sama keluarga gue." Monita menggaruk tengkuknya. "By the way, jangan bilang siapa-siapa lagi ya, soal cerita-cerita gue. Soalnya nggak banyak yang tau kalo gue, Gevan, sama Geon sodaraan. Hmm, terus, gue minta maaf ke kalian kalo gue sering bikin kalian kesel. Udah itu aja."

Kami mengangguk-angguk mengerti.

"Kapan-kapan, gue mau ketemu adik lo ya, Mon." Aku tersenyum.

"Iya, nanti pagi, Geon yang jemput gue, pasti Anita ikut kok." Monita membalas senyumku.

Beneran, Monita nggak seburuk yang aku kira.

Halo, Tiga DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang