Aku menyeret Shawn ke deretan kursi penonton. Ku baringkan tubuh Shawn disana. Nafasku yang terngah-engah seperti ingin mati itu seketika ku tarik nafas dalam-dalam dan sesekali menengok sinis kepada Shawn.
"Bodoh! Kalau tidak bisa mengebut mengapa kau memintanya? Ah bisa gila aku." Ucapku dan menyenderkan diriku sambil memanjangkan kaki ku sebentar. Aku menarik nafas dalam berkali-kali.
"Diam dulu sebentar. Aku mual." Seketika ia bersuara. Ia masih berbaring disamping ku. Baguslah, dia tidak pingsan.
"Kau mual? Cih, dasar pemula." Ucapku tertawa menyeringai dan berdiri menuju motornya yang terparkir itu. Sedangkan Shawn sudah membangunkan tubuhnya itu dan duduk dengan tegak.
"Ini, minumlah." Aku menyodorkan air putih yang Shawn beli di supermarket beberapa jam yang lalu. Shawn meraih mineral water tersebut dan meminumnya.
"Oh astaga. Perutku serasa abis di kocok abis-abisan." Ucap Shawn dan menunduk memegangi perutnya. Aku mendecih pelan sambil ku rasakan bibirku berkedut ingin tersenyum padanya.
"Kau payah."
"Bukan—itu karena motormu yang terlalu kencang. Mungkin motor itu yang menjadikan mu gadis pemenang." Ucapnya seraya mengusap-usap perutnya itu.
"Berhentilah memanggilku seperti itu." Ucapku dan bertolak pinggang berdiri membelakangi Shawn yang terduduk manis dikursi penonton.
"Apa aku boleh bertanya?"
"Tidak."
"Baiklah kalau begitu aku akan bertanya." Aku memutar bola mataku dan mencoba mentulikan pendengaranku.
"Apa kau lapar?"
"Tidak."
"Apa kau tau didekat sini ada lesehan enak untuk makan malam?"
"Tidak."
"Apa kau mau menemaniku? Karena aku sangat lapar saat ini."
"Jadi itu sebabnya kau terjatuh lemah seperti orang kehabisan darah?" Aku memutar tubuhku menghadap kepadanya. Ia yang menurunkan bahunya itu sambil tersenyum paksa itu seketika memaksaku untuk mentraktirnya.
"Ayolah— Aku lapar." Ucapnya sambil menendang-nendang kaki diudara dan hampir saja ia meneteskan air mata mutiaranya itu. Persis seperti bayi yang sedang menendang-nendang.
"Berhenti menendang. Kau bukan bayi." Ucapku dan berjalan menjauh dari Shawn. Kemana aku harus pergi lagi? Ku tengok ini masih jam 10. Tidak mungkin Chloe sudah tidur. Aku sedang tidak dalam mood untuk melihatnya.
Shawn merangkul bahuku dengan satu loncatan yang membuatku kaget. Jantungku serasa ingin loncat dan keluar dari tubuhku ini. "Ayolah! Aku lapar! Kau harus dengar dentuman musik didalam perutku!" Ucap Shawn yang masih menggantungkan dirinya itu ke tubuhku.
Aku menepis tangan nya dan memutar bola mataku. "Baiklah. Hanya kali ini. Abis itu aku akan pulang." Aku meliriknya sekali. Dan ya, Shawn menggiring ku kesebuah restoran klasik.
Kami masuk dan restourant masih terlihat ramai. Apa orang-orang ini gila? Ini sudah jam 10. Dimana otak semua orang disini?
Aku mengikuti Shawn dari belakang hingga kami duduk tepat di meja yang pas untuk 4 orang. Seorang pelayan dengan seribu senyuman itu menanyakan pesanan pada kami.
"Kau mau apa?"
"Aku ingin udang."
"Ooo aku mengerti." Ucap Shawn dan menunjukan pada pelayan itu gambar udang yang enak pada menu makanan itu.
"Aku ingin... Lobster, Acar jumbo, wah ada Sushi.. Bolehlah. Sushinya 2 porsi. Aku meminta 2 nasi. Oh ya, Lobster nya yang sebesar ini ya—" Ucap Shawn dan seperti memperagakan seberapa besar lobster itu. Dan kau tau? Ia seperti sedang memperlagakan selebar ban motor. Aku mendecih pelan. Aku berasa berteman dengan orang sinting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between Us // Thomas Brodie. Sangster
Romance"The power of love." "For the first time i saw her, i was totally madly in love with her." -Jhon Green's books. But i really sure, this is not only Fiction. Untill one day I realized, a figure that had been there before, is my true love. And i feel...