•Victoria Bella
Sering aku melihatnya tertunduk sendiri di malam hari. Mengingat kenangan masa lalu yang telah kami lalui, bibirnya akan terbuka, tersenyum, dan tertawa. Namun, ada kala nya aku melihat dia meneteskan air mata, menyadari bahwa semua tak lagi sama. Kami tak bisa lagi bersama dan benar-benar tak boleh bersama. Kami pacaran sejak kecil, tapi status kami yang sepupu memaksaku untuk menyadarkan otak bodohnya bahwa kami tak lagi bisa melanjutkan hubungan yang tak pantas kami jalani sejak lama. Farhel Darwis, itu namanya.
Ada kalanya aku tak sanggup pura-pura membencinya hanya untuk menyadarkannya. Ketika aku akan melakukan itu tawanya selalu menggema diruang kepalaku yang hampa. Aku selalu teringat akan cintanya yang selalu tulus untukku. Aku teringat akan tawanya yang selalu menghiburku.
Sekarang ini yang hanya bisa ku lakukan hanyalah menghindar darinya, memberi waktu untuk otaknya berfikir. Tapi, kemana aku bisa pergi? Sejauh mana aku bisa menghindar? Karna pada dasarnya aku dan dia berada dibawah atap yang sama setiap hari.
Kali ini caraku menghindarinya dengan pulang larut malam agar tak bisa bertemu dengannya.
Aku menembus dinginnya angin malam, dan berkali-kali bergidik ngeri melihat jalanan yang sepi. Aku pasti sudah gila sekarang.
Disana, dibawah sinar bulan, di pinggir trotoar aku melihat sosok cantik berdiri menunduk nenatap ujung alas kakinya. Aku mencoba mendekatinya, ingin tahu mengapa dia ada di trotoar jalan yang sepi sambil mengenakan dress berwarna perak yang elegan.
Kaki ku sedikit membeku melihatnya yang tertunduk datar. Aku sedikit takut karna hanya satu atau dua mobil yang lewat. "Maaf?" Suaraku menyadarkannya. Dia menoleh kearahku. Menatap datar tepat di kemataku. "Anda tidak apa-apa?" Tanyaku sambil memperhatikan tubuh putih bersihnya yang begitu pucat. Rambut yang warnanya menurutku aneh, namun wajah yang begitu cantik tidak cocok untuk posisinya sekarang.
Lama dia menatapku seperti menerawang masuk kedalam mata dan mencari informasi disana. "Ada apa?" Sadarnya yang membuatku kaget. Suara halus dan lembut. Mungkin dia orang kaya yang tersesat, atau mungkin juga dia tadi kemalingan dan tak tau harus pulang naik apa.
"Kenapa disini?" Aku mencoba bertanya lagi. Mungkin, aku bisa membantunya.
dia melirik keningku berkali-kali seperti ada sesuatu disana, membuat tanganku refleks menyentuh keningku. "Aku menunggu seseorang disini." Ucapnya. tatapannya datar seolah-olah mengalirkan sesuatu yang aku sendiri tak bisa mengungkapkan seperti apa rasanya.
Aku mengernyit bingung. Wanita mana yang mau janjian bertemu di pinggir jalan dan tengah malam pula, kecuali jika wanita didepanku ini banci yang menunggu Om-Om lewat dengan mobilnya. "Menunggu? Tega sekali dia menyuruh anda menunggu di pinggir jalan," kataku sedikit mendengus.
"Ya, memang sangat tega. Tapi mau bagaimana lagi? Aku hanya bisa bertemu dengannya ditempat seperti ini."
Kerutan dahiku semakin jelas. Tengkukku tiba-tiba merinding mendengar jawabannya dengan nada suara yang begitu berbeda. Sempat terlintas di kepalaku bahwa dia hantu yang menyamar menjadi wanita cantik, wanita yang ku yakini masih berusia 25 tahunan ini.
"Memang kenapa? Sampai-sampai anda hanya bisa bertemu dengannya di tempat seperti ini." Tanyaku, yang aku sendiri kaget telah mengatakannya. Aku kaget kenapa aku harus bertanya apa yang bukan urusanku.
"Buktinya sekarang kau sudah ada di hadapanku. Aku menunggumu." Tubuhnya bergerak mendekat. Tangannya terangkat, jari-jarinya ingin menyentuh keningku.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANDI PERAK
FantasyBila saja mataku tidak melihatmu waktu itu, pasti kisah cintaku dengan sepupuku tak akan pernah berakhir. Bila saja aku tidak menciummu waktu itu, pasti cerita pahit tentang kita tak akan pernah terjadi. Bila saja kau jujur padaku, pasti cerita pa...