Jika kau tidak bisa menerimaku lagi, tolong.... jangan buat aku merasakan sesakit ini... ini hati bukan batu.
••••••••••••••••••••••Aku langsung berlari menghampir Farhel, merebut belati yang ia genggam dan langsung mencampakkan belati itu kesembarang arah. Mataku menatapnya marah, tanpa kata aku mengalirkan rasa marah itu melewati mata. Dia menatapku pahit, tersenyum getir lalu memalingkan wajahnya. Wajah kurang tidurnya... wajah kacaunya..... wajah terlukanya... terpampang jelas.
Sempat ada rasa sakit saat mata itu memilih untuk tidak melihatku, ini pertama kalinya mata itu menolakku, "Farhel, ada apa?" Dia masih tidak bergeming sama sekali. Tatapannya kosong kearah lain. kuraih kedua pipinya agar dia melihatku, "Rhel." Panggilku. Aku tidak pernah membencinya. Aku yakin hanya dia sosok yang mau menemaniku jika aku menjadi bangkai hidup yang berjalan di atas permukaan bumi.
Dia menatapku, tak ada arti selain rasa sakit yang tercermin di mata abu-abu miliknya, "Jika kau tidak bisa menerimaku lagi, tolong... setidaknya jangan buat aku merasakan sesakit ini... ini hati bukan batu." Ucapnya serak. Suaranya kecil nyaris tak terdengar.
"Maksudnya?" Tanyaku bingung.
"Kenapa kau menciumnya?" Suara seraknya membuatku hampir terperanjat kaget. Tidak mungkin dia melihatku mencium Rayyen. Tidak mungkin.
"Itu tidak seperti mata-matamu pi...." Mungkin dia mendapat informasi dari orang yang dia suruh mengikuti kemanapun aku pergi, memata-mataiku seolah aku ini adalah target sebuah kejahatan politik.
"Aku melihatnya sendiri." Potongnya cepat.
"aku menciumnya karena permainan T.O.D terkutuk, itu bukan mau ku. Kapan kau dewasa? Udah saatnya kau mencari pasangan hidupmu yang bisa hidup bersamamu selamanya. Aku tidak mau kau membuang-buang waktumu hanya untuk cinta masa kecil kita yang konyol ini."
"Hanya kau yang menganggap semua ini konyol. Bahkan kau tidak pernah tau rasanya saat aku melihatmu menangis, rasanya saat aku melihatmu sakit walau kau hanya Flu, rasanya saat melihatmu sedih, rasanya setiap kali ada goresan kecil di kulitmu, kau pasti tidak pernah tau bagaimana rasanya karena hanya aku yang bisa seperti itu, karna sejak awal cintaku yang paling besar walaupun kau yang memulai. Bahkan kau lupa dengan janji kita 9 tahun yang lalu. Janji bahwa tidak ada yang boleh mencium bibirmu kecuali aku. Hanya aku yang boleh mencium bibirmu, itu boleh aku lakukan saat kita sudah mengucap janji sehidup semati didepan penghulu. Janji itu tidak pernah ku langgar dan tidak akan pernah pudar di otakku. Kau yang sudah mengotori kertas janji yang awalnya putih, kau mengotorinya dengan noda hitam dan menancapkan jarum-jarum yang tajam."
Setitik air mata siap meluncur bebas dari mataku. Air mata itu meluncur dan digantikan dengan yang baru, begitu seterusnya hingga aku terisak. Tak ada yang bisa kukatakan lagi. Semuanya memang salahku, aku yang memulai semua ini, aku yang datang padanya tapi kenapa aku yang meninggalkannya. Lalu aku harus apa? Menerimanya lagi? Aku bisa saja karna cinta untuknya masih ada. Tapi apakah Tante Moza mengizinkan kami bersatu? Aku tidak mau melanjutkannya, aku tidak mau melanjutkan hubungan ini. Aku takut jika kami melanjutkan ini kami tak bisa saling melepaskan lagi saat kami disuruh berpisah. Aku tidak mau berakhir seperti Romeo dan juliet, berakhir tragis karna dilarang saling memiliki.
Aku merasakan tubuh dingin mendekap tubuhku. Farhel memeluku, mencium pucak kepalaku pelan. Aku tau dia merasakan sakit, aku tau dia takut menangis bersamaku, dia takut terlihat lemah ketika air mata meluncur tanpa malu dipipinya makanya dia membenamkan wajahku didanya agar tangisku tidak terlihat oleh matanya. Dia selalu seperti itu, dia akan menyembunyikan wajahku di dada-nya jika aku menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANDI PERAK
FantasyBila saja mataku tidak melihatmu waktu itu, pasti kisah cintaku dengan sepupuku tak akan pernah berakhir. Bila saja aku tidak menciummu waktu itu, pasti cerita pahit tentang kita tak akan pernah terjadi. Bila saja kau jujur padaku, pasti cerita pa...