Part 19

21.4K 1.4K 71
                                    

Author pov

Bukit dengan cuaca dingin dan pemandangan langit senjanya yang begitu menenangkan, itulah pikir Rayyen. Cowo itu duduk di rerumputan sambil menatap langit yang cahanyanya mulai meredup karna Matahari akan hilang digantikan Bulan.

Rambutnya berkilauan di terpa cahaya matahari senja, bergerak-gerak sedikit karena di tiup angin. Tatapan matanya yang sendu membuatnya tampak seperti angin sepoi-sepoi, begitu tenang. Padahal saat ini dia sedang menahan rasa sakit di tubuhnya, dia merindukan Bella.

Dia menidurkan tubuhnya di rerumputan. Tangan kanannya ia letakkan di bawah kepalanya sebagai bantal, sedangkan tangan kirinya ia letakkannya di kening agar mengurangi kesilauan dari Matahari.

"Aku takut kau melakukan hal bodoh lagi saat kau kesepian, tapi aku tidak bisa berada di sisimu."

Lama dia terdiam sambil sesekali merasakan bahwa angin mencoba membisikkan sesuatu padanya, tapi untuk saat ini dia sedang tidak ingin mendengarkan angin yang selalu menyampaikan sesuatu yang tidak ingin dia dengar.

Setelah Matahari tenggelam di gantikan Bulan, dia bangkit dari tidurannya, kemudian pergi dari bukit itu.

Kini dia sedang mengemudi untuk pulang. Ada sedikit lengkungan pahit di bibirnya ketika ia melihat lampu-lampu jalan berwarna-warni yang ada di dekat bukit. Dia tak akan melihat lampu-lampu itu lagi besok. Tadinya dia berharap Bella datang seperti kemarin, tapi gadis itu tak datang. Dan hari ini, hari terakhirnya ke bukit itu. Besok pagi dia sudah berangkat ke Apartemen barunya di Medan. 

Dia tidak pernah menyalahkan takdir. Sebenarnya dia juga tidak pernah menyalahkan gadis itu. Dia percaya bahwa kesakitan yang menggangunya sekarang akan berubah menjadi kebahagian pada waktunya.

"Aku tidak pernah menyesal pernah bertemu denganmu."

*

Rayyen berjalan santai di lorong apartemennya. Kakinya yang sedari tadi berjalan santai kini berhenti di depan pintu bernomor 406. Tangan kanannya memicit sandi, kemudian pintu terbuka.

Cklek.

Dia membuka pintu apartermennya dan masuk dengan santai. Keempat temannya yang sedari tadi menunggunya pulang langsung berdiri terutama Rayyora.

"Dari mana saja kau, Rayyen?" Tanya Rayyora. Dari sorot mata gadis itu menggambarkan bahwa ada segumpal rasa marah.

Rayyen yang tadinya berjalan santai langsung menghentikan langkahnya. "pergi sebentar." Dia hendak berjalan lagi.

"Kau bersama gadis itu lagi kan?" Ucapan Rayyora menghentikan langkah Rayyen.

"aku tau kau bisa membaca pikiran sesama Trambell, tapi berhentilah untuk langcang membaca pikiranku." Kata Rayyen tak suka.

"Ternyata benar."

Bibir Rayyen membentuk senyum meremehkan. "Tapi, kali ini kau salah. Kenapa kau bisa salah? Apa karna kau tidak bisa membaca pikiranku hari ini? Kasihan sekali."

"Entah kenapa aku memang tidak bisa membaca pikiranmu hari ini. Tapi yang jelas, kemarin kau bersama dia."

Rayyen berjalan mendekat. "Bukan hanya pikiranku. Mulai hari ini kau juga tak bisa membaca pikiran siapapun."

Ada garis terkejut yang sangat besar di wajah gadis itu. "Maksudmu?"

"Apa kau tidak sadar? Aku menyegel kekuatanmu itu. Dengar, sudah menjadi perjanjian. Trambell yang memiliki kekuatan membaca pikiran, tak di perbolehkan membaca pikiran sesama Trambell kecuali diizinkan. Bahkan aku sendiri tidak pernah membaca pikiran Trambell manapun. Kau terlalu lancang membaca pikiranku."

SANDI PERAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang