Revan masih saja tersenyum sendiri sepanjang perjalanan kami pulang. Aku menggelengkan kepala mengusir pikiran buruk yang sempat menghinggapi kepala. Sempat terpikir olehku kalau Revan kesambet.
Hush! Entah pikiran dari mana itu. Dia masih sadar dan baik-baik saja.
"Kenapa?" tanyaku pada akhirnya. Aku tak bisa menahan diriku untuk tidak bertanya.
"Ekhm!" Dia berdehem untuk alasan yang tidak kumengerti. "Gimana pedekate-nya, Kak?" Kedua alisnya dimainkan. Naik turun dengan tempo cepat, khas seorang pria penggoda.
Jadi yang sejak tadi membuatnya tersenyum tak jelas seperti orang gila adalah diriku? Dia menertawaiku?
Ingin sekali aku menjewer telinganya.
Aku menyipitkan mata demi memberikan sedikit ancaman untuknya. "Sekarang kamu jawab kakak. Kamu kenal sama dia?"
Revan mengangguk-anggukkan kepala, seolah sedang mengikuti alunan musik seperti di tempat tadi. Bahkan tidak menyangkal sama sekali atas pertanyaanku.
Aku menghela nafas, menyandarkan kembali kepalaku pada sandaran kursi.
"Maaf," katanya sambil terkekeh pelan.
"Lalu apa yang kamu niatkan? Atau kamu sengaja merencanakan ke tempat tadi demi mempertemukan kakak dengannya?" tuduhku tanpa batas.
Revan menggeleng cepat. "Tidak. Aku sama sekali tidak merencanakannya. Bertemu dengannya di sana hanya kebetulan semata. Dan pikiran untuk meninggalkan kalian berdua sesaat muncul begitu saja karena aku mengingat sosoknya," jelasnya.
Hh, baiklah. Terserah padanya saja.
"Apa Kakak menerimanya tadi?" Ia memunculkan cengiran menyebalkan itu lagi.
Aku jadi teringat saat tadi Ed menawarkan suatu hubungan denganku. Dengan alasan yang tidak masuk akal. Dan hal itu membuatku menolak tawarannya.
"Maaf, tapi aku tidak tertarik."
"Kenapa? Memangnya apa yang kurang dariku?"
"Tidak ada yang kurang darimu. Hanya saja aku tidak menyukaimu. Bahkan aku belum mengenalmu."
"Hei, jangan bercanda. Kamu sudah mengenalku. Kalau tidak, tidak mungkin kamu mau mau berbicara denganku. Aku bisa tau sifat kamu pasti seperti itu hanya dengan melihat wajahmu. Dan tidak mungkin ekspresimu seperti tadi saat aku muncul."
"Bukan itu maksudku."
"Baik, aku mengerti. Hal apa lagi yang ingin kamu ketahui tentangku. Akan dengan senang hati aku beritahukan." Ed mengerling.
"Aku tidak tertarik untuk mengetahuinya."
"Benarkah?"
Aku hanya mengangguk. Tanpa melihat ke arahnya.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan berusaha menaklukkanmu dengan caraku sendiri."
Jujur saja, meski aku tidak pernah dekat dengan pria selain daddy dan kedua adikku, tapi menurutku ia seorang playboy. Selain karena alasan itu, aku juga belum lama ini mengenalnya. Masih beberapa kali bertemu.
"Baiklah kalau begitu. Aku akan berusaha menaklukkanmu dengan caraku sendiri."
Aku teringat akan kalimatnya tadi saat aku menolaknya, meski ia sudah memberikan sedikit gombalan untuk merayuku. Hal itu tidak merubah keputusanku. Dan yang membuatku berada pada keputusan itu adalah kesan pertama pertemuan kami.
"Kak?" Revan mengayunkan tangannya di depan wajahku. Membuyarkan lamunanku akan kejadian sebelumnya. "Kakak baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan sedikit nada khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Backless Dress (COMPLETED)
RomanceTidak ada sinopsis. Sequel dari Perfect Two dan Sexy Dad. Edsel Leif Ericson dan Raynelle Zevanna Avshalom. Warning! adult content 18+