Hari yang ditunggu pun tiba.
Bukan hanya pasangan pengantin dan keluarga, nyatanya semua undangan juga sangat menantikan hari ini tiba. Mereka ingin menyaksikan hari bahagia bagi Ray dan Ed ini. Termasuk Stella. Ia lah yang paling heboh. Termasuk saat mempersiapkan segalanya, ia selalu memberikan masukan. Sekalipun pada akhirnya tidak disanggupi oleh Ray.
"Wah, tidak disangka yah. Akhirnya sahabatku menikah lebih dulu. Padahal sejak dulu tidak pernah dekat dengan pria. Sekalinya dekat, langsung serius." Stella tersenyum lebar, sembari memandangi pantulan dirinya dan Ray di cermin. Saat ini ia sedang menemani Ray di kamarnya, membantu sang sahabat bersiap. Ia berdiri di belakang Ray -yang duduk di kursi. Sembari merapikan veil Ray.
Ray ikut tersenyum. "Aku juga tidak menyangka kalau semua akan terjadi secepat ini," balasnya.
"Tapi untungnya, Ed yang berhasil menaklukkanmu. Aku jadi yakin dan merestui kalian. Sekalipun mulai saat ini pasti waktu kita untuk bertemu dan tentunya jalan tidak akan sebanyak dulu." Stella menerawang jauh.
Ray kini malah tertawa. "Enak saja, memberi restu. Memangnya kamu mommy sama daddy?"
Stella tampak menahan tawanya. "Ya, sebagai sahabat kan juga harus memberi restu."
"Jangan hanya memberi restu. Kamu juga harus segera meminta restu," ledek Ray.
Stella bergerak, melangkah mendekati meja rias dan duduk di sana. Kedua tangannya bersedekap di dada. Pandangannya tertuju pada Ray untuk sesaat. Kemudian berpaling. "Aku sih masih ingin seperti ini, setidaknya untuk beberapa tahun ke depan. Aku masih ingin bebas, tanpa ada yang mengikat. Jadi aku bisa melakukan apa saja yang aku sukai, tanpa ada yang melarang."
"Sekarang memang bisa seperti itu. Tapi aku yakin, hanya dalam beberapa hari ke depan, atau bahkan nanti sepulang dari tempat ini kamu akan ditanyai oleh om dan tante 'Stella, kamu kapan menyusul Ray, Nak? Ingat umur kamu.' Bisa aku pastikan," kata Ray berusaha menirukan cara berbicara ibu Stella.
"Stop it, Ray."
"Tapi aku tidak salah, kan?"
Stella mengibaskan tangannya. "Berhentilah, Ray. Sekalipun mereka memaksaku, aku tidak akan mau. Coba kamu bayangkan, setelah menikah tidak hanya orang tua yang melarang ini itu, tapi juga ada suami. Bahkan ada mertua. Aduh, pusing. Hanya orang tua saja, kadang sudah ribet."
Ray malah tertawa. "Tapi argumen kamu tidak mengubah keputusanku sekarang," katanya.
Stella pun ikut tertawa. "Hei, aku tidak sedang berusaha untuk mempengaruhi kamu, Ray. Kalau niatku memang seperti itu, tidak mungkin aku membantumu mempersiapkan pernikahan ini. Justru aku sangat bahagia kalau pada akhirnya kamu akan menikah dengan Ed. Dan aku pastikan, kamu tidak salah pilih, Ray."
Keduanya tersenyum.
Bersamaan dengan itu, sosok si kembar muncul dari balik pintu setelah bunyi ketukan beberapa kali. Rehan dan Revan beriringan masuk. Keduanya telah mengenakan setelan tuxedo hitam, lengkap dengan dasi. Benar-benar tampan.
"Jangan coba-coba usil," ancam Stella.
Keduanya malah tersenyum. "Apaan sih, Stel. Siapa yang mau usil. Kita kesini mau lihat kak Ray, sudah siap apa belum. Karena di bawah sudah siap. Tinggal menunggu ratu hari ini," jawab Rehan.
"Iya," Revan menimpali.
"Oh, baguslah kalau begitu. Ngomong-ngomong, di antara kalian berdua ada yang bisa jadi gandenganku hari ini?"
Keduanya saling pandang dan langsung terbahak. "Enak saja," jawabnya kompak.
"Makanya cari pacar," lanjut Revan.
Stella memutar bola matanya. Merasa kalau dirinyalah kini yang kena usilan dari keduanya. "Bukannya tidak punya pacar, lagi malas saja sama dia," elak Stella.
Sementara Ray hanya tersenyum melirik ke arah sahabatnya itu. Meski punya banyak kenalan pria, nyatanya Stella memang belum menambatkan hatinya pada pria manapun. Semuanya bagi Stella hanyalah sebagai teman. Dan kebetulan sekali, hari ini tidak ada yang bisa ia ajak untuk bersama. Kebanyakan dari mereka bersama pasangannya masing-masing.
"Alasan. Ayo, Kak. Kita bantu turun," kata Rehan dan membantu Ray untuk berdiri.
Stella hanya mendengus kesal. Tapi ia juga mengulurkan tangannya untuk membantu Ray. Seorang wanita yang tadinya menata gaun Ray juga muncul dan membantu mengangkat bagian belakang gaun yang panjang.
Rehan yang memegangi tangan kanan Ray tampak mengusap punggung tangan kakaknya yang telah memakai sarung tangan. Senyumnya melebar, seakan memberi dukungan penuh pada sang kakak.
Ternyata memang benar. Tinggal menunggu kehadiran si pengantin wanita, maka acara akan segera dimulai.
Setelah kedatangan Ray, Rex pun berdiri dari duduknya untuk memegangi tangan putri sulungnya itu. Dengan konsep pernikahan modern, sang ayah lah yang akan mengantarkan putrinya kepada pria pilihannya. Dan Ed telah menanti di ujung karpet merah. Dengan setelan yang membuatnya terlihat jauh lebih tampan. Senyumnya melebar melihat wanita pujaannya yang sangat cantik.
Sementara Ray sedikit malu dan menundukkan kepala untuk beberapa saat.
"Siap?" tanya Rex, meyakinkan putrinya. Disodorkannya lengan kirinya dan langsung digamit oleh Ray.
Ray mengangguk. Diangkatnya wajahnya dan menarik ujung bibir. Memberikan senyum terbaiknya. Walau jantungnya kini berdegup kencang karena gugup. Rex hanya bisa mengelus jemari Ray yang menggamitnya untuk menenangkan.
Langkah keduanya yang pelan seakan menjadi waktu penghitung mundur akan berubahnya status Ray dan Ed. Semua mata tertuju pada pasangan mempelai, antara kagum dan memuja.
Setibanya di hadapan Ed, Rex menyerahkan tangan putrinya. Yang berarti juga telah memberikan tanggung jawab sepenuhnya pada Ed. Dengan pasti, Ed menerimanya. Senyumnya seolah menyiratkan kesungguhan.
Kemudian keduanya berbalik, menghadap pendeta yang akan memberkati pernikahan mereka.
Janji suci pernikahan dikumandangkan dengan lantang oleh keduanya, dalam satu kali tarikan nafas. Semua orang pun bernafas lega setelah mendengarnya. Dimana status keduanya kini telah sah menjadi sepasang suami istri. Dan saling memasangkan cincin nikah di jari pasangannya.
Tepukan yang meriah mengisi seluruh ruangan saat Ed mencium Ray, disaksikan oleh semua orang.
"Benar-benar serasi," gumam Stella dalam duduknya. Ia merasa bahagia untuk sahabatnya.
Di kursi yang lain, Hana menggenggam erat tangan suaminya. Yang dibalas Rex dengan mencium punggung tangan istrinya itu. Perasaan lega melingkupi keduanya, karena telah berhasil menjaga dan mendidik putri sulungnya. Meski di sisi lain masih sedikit sulit untuk melepaskan putrinya.
"Ray bahagia kan, Dad?" tanya Hana.
Rex menatap dalam istrinya. "Tentu saja. Sama bahagianya dengan kita." Senyumnya melebar kemudian mengecup kening Hana.
Hana menarik nafasnya dalam-dalam dan membuangnya. Meyakinkan diri kalau apa yang dikatakan suaminya itu adalah kebenaran.
Tampak Rehan dan Revan yang duduk bersama dengan pasangannya masing-masing juga merasa lega dan turut bahagia untuk sang kakak. Meski keduanya belum berencana untuk segera menikah, mengikuti jejak Ray.
Di luar gedung yang berisikan kebahagiaan itu, seorang wanita paruh baya tampak sedikit gelisah. Pasalnya ia tidak bisa memasuki gedung karena tidak punya undangannya. Walau dalam hatinya ia sangat ingin menyaksikan kebahagiaan itu juga. Ia hanya bisa berdoa semoga semuanya baik-baik saja. Berjalan dengan lancar sesuai yang sudah direncanakan.
Pada akhirnya, ia hanya bisa menyerah. Tidak mampu untuk berbuat apa-apa lagi. Ia harus mengiklaskan semuanya. Dan inilah balasan yang setimpal untuk dirinya. Ia tidak akan mampu merubah takdirnya. Hanya bisa berdoa dan bertobat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Backless Dress (COMPLETED)
RomanceTidak ada sinopsis. Sequel dari Perfect Two dan Sexy Dad. Edsel Leif Ericson dan Raynelle Zevanna Avshalom. Warning! adult content 18+