Hari yang baru telah dimulai. Dan sepertinya akan menjadi babak baru dalam hidupku. Ed yang telah melamarku bersikap layaknya seorang suami yang penuh perhatian. Melebihi apa yang telah dia lakukan sebelumnya.
Namun siapa yang menyangka, kalau ternyata pria aneh yang menggangguku beberapa hari lalu masih saja menampakkan diri dengan segala sikap yang membuatku kesal setengah mati. Sepertinya kata-kata tidak cukup untuk memberinya peringatan.
Dan lihatlah dirinya yang kini menghadang jalanku dan Ed. Masih dengan wajah menyebalkan khas dirinya.
"Sudah kuperingatkan untuk tidak mengganggu kami," desis Ed.
Xander malah tersenyum sendiri. "Ayolah, tidak ada salahnya kan kalau kita berteman."
"Salah. Karena kamu terus mengganggu kami. Kehadiranmu sangat mengusik kami." Ed mengeraskan rahang. Satu tangannya kemudian mengangkat tanganku dan menunjukkannya pada Xander. "Lihat, dia adalah milikku."
Xander terlihat melotot. "Wah. Cincin yang sangat indah," katanya dengan semangat yang dibuat-buat. Tapi kemudian senyumnya langsung menghilang, berganti wajah datar seolah meneliti. Satu tangan bahkan berhenti di dagu, dengan tangan lainnya menempel di dada menjadi penopangnya. Alisnya saling bertaut.
"Berhenti menatapnya!" Ed berpindah ke depanku. Menjadi tameng.
"Sayang sekali," kata Xander sembari mengubah posisinya. Kini ia berdiri tegak tanpa ekspresi. "Ya sudahlah." Dia berbalik dan meninggalkan kami. Benar-benar pria yang aneh.
"Siapa dia sebenarnya? Kenapa sikapnya aneh sekali?" gumam Ed.
Aku menggelengkan kepala. "Entahlah. Bukan hanya aneh, tapi sepertinya sedikit gila."
Aku rasa, siapapun yang diganggu seperti itu akan mengatakan hal yang sama.
***
Author POV
Setelah berbalik meninggalkan gedung tinggi yang tak lain adalah kantor Rex, pria bernama Xander itu duduk di halte bis. Satu tangannya memainkan ponsel, tanpa mengalihkan pandangan ke sekitar.
Di luar dugaan, seorang wanita datang menghampirinya. Tanpa berkata-kata langsung duduk di sebelahnya.
"Apa yang kau dapatkan?"
Xander menoleh setelah mendengar kalimat itu. Ternyata wanita itu adalah Nikita.
Xander menjauhkan ponsel dari pandangan dan menyelipkannya ke dalam saku celana. "Dia sudah bertunangan. Pria yang mengantar jemputnya adalah tunangannya. Dan kalau tidak salah, mereka akan segera menikah."
Nikita mengalihkan pandangan. Menatap lurus ke depan, dimana banyak kendaraan masih berlalu lalang. "Aku tidak ingin dia salah pilih. Dia harus bertemu dengan pria yang baik."
"Kalau memang anda adalah ibunya, katakan langsung padanya. Jangan memintaku melakukan hal-hal yang membuat jati diriku jadi buruk di hadapannya. Dan lagi, jika saja ayahnya telah menyetujui hubungan mereka, itu berarti pria itu adalah pria baik. Telah diberi kepercayaan oleh ayahnya sendiri untuk menjaga Ray."
"Tapi, bukankah kau menyukainya?" Nikita menatap tajam pada Xander.
Pria itu menghembuskan nafas dengan kasar. "Sekalipun aku menyukainya, bukan berarti aku harus merusak hubungannya dengan tunangannya. Anda ingat baik-baik, aku ini bukan pria yang menghalalkan segala cara hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dia sudah bahagia dengan tunangannya, untuk apa aku mengusik mereka lagi? Dan dari awal perjanjian kita hanya untuk mengetahui bagaimana kehidupan Ray, bukan untuk menganggunya."
Nikita terdiam. Antara bingung dan ingin marah, tapi tidak tersampaikan.
"Sudahlah. Aku tidak ingin melakukan apapun lagi yang anda minta. Dan apa yang anda janjikan sejak awal, simpan untuk diri anda sendiri. Dan sepertinya tidak perlu mencari pria lain untuk melakukannya. Sangat tidak terpuji."
Xander bangkit dari duduknya. Tanpa menunggu balasan dari Nikita, ia berjalan meninggalkan halte dan masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana.
Ya, Nikita lah yang meminta Xander untuk mencoba mendekati Ray. Dengan harapan, Ray akan jatuh hati pada Xander dan menikah dengannya. Dengan begitu, ia akan punya alasan untuk dekat kembali dengan putri yang ia tinggalkan sejak lahir itu. Setidaknya, dia mempunyai alasan kalau dia lah yang mengenalkan keduanya secara tidak langsung. Terlebih, ia mengenal Xander sebagai seorang pria yang baik hati.
Tapi sayangnya, semua sudah berakhir sekarang. Kebaikan hati Xander ternyata membuatnya tidak ingin mengusik lagi kebahagiaan yang sudah dimiliki oleh Ray dan Ed. Ia sudah tidak ingin berpura-pura lagi di hadapan keduanya. Dan apa yang sudah dia lakukan beberapa hari belakangan pada pasangan itu, membuatnya merasa bersalah.
Yang ingin dia lakukan saat ini hanyalah pergi dari kota ini. Pergi sejauh mungkin agar tidak menampakkan wajah di hadapan Ray dan Ed. Ia sangat malu jika harus bertemu lagi.
Sementara Nikita hanya bisa memandangi kepergian pria itu. Pria yang ternyata benar-benar baik. Tidak mudah baginya untuk mempengaruhi pria itu lebih jauh. Dan sepertinya rencana dalam pikirannya harus terhenti.
Ia menghembuskan nafas panjang. Ia harus memikirkan cara lain untuk bisa kembali dekat dengan Rex dan keluarga. Jujur saja, ia sangat menyesal saat ini. Menyesal telah melakukan hal bodoh di masa mudanya dulu. Pria yang begitu mencintainya dulu dia tinggalkan begitu saja hanya karena tidak ingin punya bayi.
Tapi yang ada sekarang, ia malah harus mendekati Ray terlebih dahulu untuk bisa dekat lagi dengan Rex. Walaupun itu hanya sekedar berteman. Jika langsung mendekati Rex, tidak akan mungkin. Satu-satunya jalan adalah Ray.
Tanpa sadar, air matanya jatuh begitu saja. Jika dulu hal itu adalah hal yang tidak mungkin, kini menjadi sebuah kebiasaan. Ia jadi mudah menitikkan air mata. Setelah semua yang terjadi pada dirinya.
Langkahnya gontai menyusuri jalanan kota yang masih ramai. Sesekali mengusap wajah untuk membersihkan jejak air mata. Tasnya disampirkan ke bahu dan memeluknya erat. Kepalanya tertunduk dengan pikiran kosong.
Tiba di rumah sederhana yang menjadi huniannya kini, ia langsung masuk ke kamar. Menghempaskan tubuh ke kasur tanpa mengganti pakaian, atau sekedar melepaskan tasnya. Kemudian berguling untuk membalikkan tubuhnya. Menatap langit-langit kamarnya yang kini memudar.
Ia menarik nafas panjang. "Baiklah. Aku harus melepaskan semuanya sekarang. Aku yakin kalau Rex pasti memberikan yang terbaik untuk Ray. Setidaknya, ia akan memilihkan seorang pria yang seperti dirinya untuk menjaga Ray di masa depan. Aku yang harus mengiklaskan semuanya. Ini semua memang karena kesalahanku sendiri."
Bayangan akan masa lalu melintasi pikiran Nikita. Bagaimana ia bersikap pada Rex, selalu menyalahkan Rex akan kehamilannya. Hingga pada akhirnya memutuskan untuk pergi, meninggalkan bayi mungil yang baru saja dilahirkannya. Masih teringat jelas dalam pikirannya, saat jalannya masih terseok-seok berusaha melarikan diri dari rumah sakit sebelum ada keluarga yang melihatnya. Keputusan yang pada akhirnya sangat ia sesali di masa kini.
Jika saja dia memutuskan untuk menjadi seorang ibu untuk Ray, tentu saja kehidupannya sekarang tidak akan seperti ini. Mungkin ia akan bahagia bersama Rex hingga sekarang. Tapi sayangnya semua tidak bisa diulang kembali.
Dan inilah hidupnya sekarang yang harus dijalani seorang diri. Tanpa suami, tanpa anak. Bahkan tak ada saudara yang mau mengenalnya lagi. Benar-benar titik terburuk dalam hidupnya. Bagaikan langit dan bumi jika dibandingkan dengan masa lalu. Yang bahkan orang yang tidak dikenalnya pun memujanya karena kecantikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Backless Dress (COMPLETED)
Roman d'amourTidak ada sinopsis. Sequel dari Perfect Two dan Sexy Dad. Edsel Leif Ericson dan Raynelle Zevanna Avshalom. Warning! adult content 18+