Chapter One : First Refusal

58K 1.7K 33
                                    

Tahun 2007

Waktu itu, lampu penerang jalan berkedip sepuluh kali dalam satu menit. Jalanan basah yang terguyur hujan lebat selama beberapa jam pada hari itu tampak sepi. Bau tanah menenangkan, pula mampu menyakiti siapa pun.

Seorang gadis melangkah pelan membelah hujan yang semakin deras. Tanpa ragu, ia menyeret gaun rancangan terbatas yang tersobek bagian renda bawah karena bergesekan dengan ujung kerikil yang sedikit tajam. Rambut yang sudah ditata selama dua jam oleh penata rambut terkemuka kini hancur sia-sia dirusak derasnya hujan.

Bahu gadis itu bergetar. Papahan langkah melambat. Ia menadah kepala ke langit, membiarkan wajah hasil polesan perias terkenal abad ini luruh dari wajahnya. Ia menikmati rasa sakit hujan yang hampir setajam jarum, menghujamnya wajahnya bertubi-tubi.

Sialnya, semua itu belum mampu mengurangi rasa sakit di hatinya.

Bahkan, dunia tidak pernah memberinya jeda. Takdir dan dunia seakan telah membentuk kerja sama untuk menyakiti hati manusia yang telah hancur.

"Nona, kau bisa terkena demam."

Suara teriak mencoba mengalahkan guntur yang membuat orang yang mendengarnya terkejut. Namun, seseorang yang berteriak itu tetap berusaha memanggil nama majikannya. Dengan tergopoh-gopoh dan payung digenggaman, dia mendatangi nonanya.

Gadis itu hanya menatap nanar wanita paruh baya di depannya. Tidak sedikit pun ia takut dengan guntur atau kilat yang siap menyambarnya. Justru ia sedikit berharap aliran listrik berkekuatan tinggi itu menghajarnya saja. Ia tidak masalah jika harus berbaring seharian di kasur dan dipaksa menegak obat besok. Ia benci dipaksa bertahan hidup.

"Nona, anda harus kembali."

Gadis itu masih berdiri mematung. Ia diam, tidak memberikan reaksi apa pun yang semakin memperdalam prasangka buruk wanita parah baya itu akan keadaan nonanya. Lalu gadis itu membuka suaranya, "Mrs. Yoon, apa kau menghawatirkan aku?" Gadis itu bertanya dengan suara kecil. Tubuh ringkihnya bergetar hebat, tanda ia hampir kalah melawan dinginnya suhu dan cuaca hari itu. Beruntung, saat itu guntur tidak sedang mengeluarkan geraman sehingga wanita itu mendengar dengan baik pertanyaan nona mudanya.

Wanita paruh baya yang dipanggil Mrs. Yoon itu mengangguk penuh semangat, meyakinkan nona mudanya. "Tentu saja, Nona. Tidak hanya saya, semua orang menghawatirkan anda."

"Termasuk mereka?"

Pertanyaan itu membuatnya terdiam. Ia merasa serba salah, sedangkan gadis itu malah tertawa lirih. Ia menertawakan dirinya yang memberikan pertanyaan bodoh. Tidak akan ada seorang pun yang mampu menjawab. Orang pintar hanya dapat memastikan ia memiliki darah yang sama dengan dua orang dewasa yang mempertahankan hubungan demi para kuli tinta, bukan karena mereka mencintainya.

"Baiklah. Mari pulang."

Gadis itu tersenyum lebar. Mrs. Yoon sedikit terkejut dengan senyum tiba-tiba itu. Namun, ia segera mengamit lengan nonanya. Ia takut jika terlambat sedikit saja, gadis muda itu akan berubah pikiran.

"Mari, Nona."

~~~

Vas bunga terlempar keras menimbulkan bunyi gaduh sampai pintu utama mansion. Rumah megah itu tidak hanya diisi dengan kemewahan di tiap sudut, tetapi juga caci-maki tiap sisinya. Tidak hanya itu, suara pecahan beling yang terbentur marmer memekakkan telinga para pelayan yang memilih menyingkir ke sudut agar tidak terkena api kemarahan tuan dan nyonya rumah.

Gadis itu hanya diam melihat dua orang dewasa berdebat di depannya. Pemandangan seperti itu terlalu sering terjadi sehingga ia memilih untuk terus berjalan dan mencoba tidak peduli.

Namun keberuntungan tengah jauh dari sisi gadis itu. Salah satu dari orang dewasa itu menyadari keberadaannya. Namun, bukannya berhenti, mereka malah memperkeras suara makian dan umpatan.

"Kau lihat anak itu?! Tidak berguna sama sekali! Seperti dirimu!"

Tepat setelah kalimat itu dilontar, gadis itu menghentikan langkahnya. Ia tidak membalas kalimat menyakitkan itu. Tangannya terkepal kuat. Sekali lagi tubuhnya mengigil, bergetar hebat melawan dinginnya aura di rumah ini.

"Jangan pernah menghina anakku! Urus saja anak haram di kamarmu itu!"

Hati gadis itu mencelos. Anak haram? Di kamar sang Ayah? Apa maksud dari semua ini?

"Kau tidak berhak mengatai anak itu anak haram!"

"Kau juga tidak berhak mengatai anakku tidak berguna!"

Anak haram. Anak tidak berguna. Kepala gadis itu seakan pecah. Rasa sesak menghantam dadanya. Matanya yang terasa berat kini mulai memerah. Cukup sudah, dirinya terlampau muak.

"Hey, orang tua, berhenti bertengkar. Aku sudah muak dengan drama bodoh keluarga ini!"

Pria berstatus ayah itu dengan penuh amarah mendekati anak gadisnya. Matanya terbuka lebar seakan kedua bola mata pria itu dapat lompat keluar. Beberapa detik kemudian suara tamparan begitu menggema membuat Mrs. Yoon yang baru masuk merasa sangat terkejut. Tuan besar lagi-lagi menyakiti nona muda.

Bagi gadis itu, tamparan keras tidak hanya telak dipipinya, tapi juga mengoyakkan hatinya. Gadis itu memejamkan mata, sekuat mungkin menahan diri untuk meraung marah. Bukan, ini bukan saat yang tepat untuk menjadi anak manja. Apa mungkin ia tidak pernah memiliki saat untuk itu?

"Anak tidak berguna! Kurang ajar sekali memaki orang tua. Ajarkan anak sialan ini sopan santun!"

Lelaki itu pergi dengan wajah penuh amarah. Dengan sombong, ia melangkah pergi meninggalkan dua perempuan yang kini tengah menangis tersedu-sedu.

Gadis itu mengamit tangan wanita yang kini terduduk sembari menutup seluruh wajahnya. Ia berusaha memeluk wanita yang telah mengenalkannya pada dunia. Ada perasaan bahwa mereka tengah berada dalam keterpurukan dan sakit yang sama. Pada saat seperti ini, ia merasa dirinya tidak sendiri.

"Ma, sudah, jangan menangis."

Wanita itu menghentak keras tangan yang memeluknya. Mata merah dan bengkak yang tadi mengeluarkan air mata kini menatap gadis itu dengan tatapan jijik. "Jangan pernah menyentuhku." Suaranya begitu dingin, tidak ada kehangatan sedikit pun membuat gadis itu semakin menggigil. Tidak peduli seberapa besar kobaran api di perapian, suara itu tidak pernah menghangat.

Dengan tertatih wanita berstatus ibu  itu melangkah pergi menuju kamar, ikut meninggalkan anak gadisnya dalam kesepian. Nyatanya, gadis itu memang selalu sendiri.

~~~

Tbc

Tanggal perbaikan :
• Rabu, 4 Juli 2018
• Selasa, 6 Mei 2019
Minggu, 16 Desember 2019
• Rabu, 1 April 2020
Jumat, 25 Desember 2020

Stupid Alpha's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang