34. Fix You (End)

8.3K 329 25
                                    

Tahan marahnya, kita baca dulu yuk. Siapkan tissu kalian❤ kita akan segera berpisah~

Cerita ini kudedikasikan penuh kepada kalian yang menunggu cerita ini dengan setia.

Selamat Membaca.

~~~

Elly selalu suka musim dingin. Disaat itu biasanya dia menghangatkan diri dengan teh hijau kesukaannya sambil bergelung hangat dengan selimut di dekat perapian. Biasanya, saat ini ia tengah merenungi nasib dan masa lalu yang telah dilewatinya.

Mungkin terlihat mengenaskan, tapi ia menikmati rasa sakitnya.

Namun, lihatlah ia sekarang. Terduduk dungu memandang tembok putih yang membatasi pandangan juga geraknya. Tidak boleh sembarangan orang yang boleh masuk kedalam ruangannya. Pernah suatu hari Elly mengamuk dan menghancurkan apapun yang bisa ia jangkau. Semenjak saat itu hanya beberapa orang yang berani "mengunjungi"nya. Tapi orang yang paling membuatnya muak adalah William.

Pria itu tidak pernah protes dengan aksi mogok makannya. Dengan telaten ia menyuapi Elly. Ia juga tidak terusik jika matenya marah dan membuang makanan yang dibawanya. William akan terus meminta pelayan kembali membuatkan makanan dan berusaha membujuk Elly sampai wanita itu membuka mulut untuk menerima suapannya.

Tidak hanya itu. Terkadang William suka menyelinap ke kamarnya ketika malam. Pria yang mengaku "mate"nya itu akan memeluk Elly dengan erat sampai pagi. Padahal menurut pengakuan kepala pelayan di mansion ini, William memiliki kamarnya sendiri.

"Apa yang kau pikirkan dengan kepala cantik, hm?"

Suara bariton itu tidak berhasil menarik perhatian Elly. Pandangannya jatuh kearah salju yang turun dan menumpuk di sela jendela. Musim dingin telah tiba.

Tangan William terus mengelus lembut rambut Elly dengan penuh kasih sayang. Matanya tidak sengaja menatap tanda yang ia berikan sebagai pemilik atas matenya itu. Sebuah senyum kecil terbit di wajah William. Ya, wanita itu miliknya. Selamanya akan begitu.

Keheningan seperti ini hampir tiap malam mereka lewati. Jika tidak hening, yang ada hanya suara keributan mereka lengkap dengan suara barang pecah belah dihancurkan. Kadang suara teriakan dan lolongan wolf William membuat semua orang merinding.

"Menapa kau tidak membiarkan aku mati?"

Lagi. Tidak terhitung berapa kali Elly melontarkan pertanyaan itu. William mengepalkan tangannya. Amarah mulai menguasainya. Namun ketika melihat wajah sendu matenya, semua amarah itu hilang, berganti dengan rasa perih yang menyayat hati.

Itu bukan lukanya, itu luka milik Elly.

"Mengapa William? Menapa?" Tanya Elly dengan lemah. Ia tidak lagi berteriak lantang atau memekik seperti biasanya. Tidak ada perlawanan yang biasanya dilakukan Elly. Wanita itu kini hanya terdiam dalam luka.

William menggeram ketika air mata jatuh dari pelupuk mata Elly. Dengan hati-hati ia mengusap lembut pipi wanitanya yang kini telah basah oleh air mata. Lidahnya kelu. Pria itu tidak mampu menjawab pertanyaan yang entah berapa kali dilontarkan oleh Elly tiap ia berkunjung. Padahal alasannya hanya satu, karena untuk pertama kalinya ia ingin egois kepada dunia.

"Jangan menangis,"

Hanya itu yang mampu William katakan. Suaranya serak ketika ia mengatakan dua kata yang baru saja ia keluarkan. Bodoh. Pria itu merutuki dirinya sendiri. Ia sangat lemah dengan air mata Elly.

"Semua orang pergi dari sisiku," kata wanita itu lemah. Bibir pucatnya sedikit bergetar. Bukan karena suhu udara yang terasa sangat dingin. Tapi karena kesedihan yang membekukan jiwanya. "Mereka memilih pergi dibandingkan berjuang bersama ku. Mereka pergi seakan mereka pihak paling tersakiti. Hah, tau apa mereka?"

Hati William mencelos ketika setitik air kembali meleleh dari mata Elly. Telinga tajamnya menangkap isakan kecil wanita itu. Ia memilih diam dan membiarkan Elly mengeluarkan semua lukanya. Walaupun rasanya seperti bunuh diri karena tiap air mata Elly yang jatuh membuat tubuhnya bergetar menahan amarah dan juga wolfnya yang ngamuk ingin membunuh dalang dari luka berkepanjangan matenya.

"Mereka lupa, William. Mereka lupa." Kekeh Elly pelan. Menertawakan orang-orang bodoh yang meninggalkannya. "Tidakkah orang itu berfikir bahwa luka mereka itu tidak akan pernah hilang. Tapi berpindah ke orang yang mereka tinggalkan."

Mata Elly yang sedari tadi menatap lurus tembok, seakan bisa melihat visual bayangan orang-orang yang dianggapnya bodoh itu tengah berdiri didepannya. Menatap dirinya dengan senyum lebar tanpa dosa seakan semua rasa sakit yang mereka rasakan dulu telah hilang. Namun perlahan bayangan itu menghilang, digantikan dengan tembok putih. Elly memejam menahan pedih. "Mereka meninggalkan luka beserta aku didalamnya."

Kali ini bukan isakan pelan. William bisa mendengar dengan jelas tangisan Elly yang menyayat hati. Seakan berteriak memohon bantuan kepada siapapun untuk menyelamatkannya.

"Kau bukan siapa-siapa dalam hidupku," Elly melanjutkan kalimatnya setelah berhenti menangis. Tangisnya berhenti, tapi air matanya tidak. Tubuhnya bergetar merasakan pedih menggerogoti akal sehatnya. Tidak, ia harus kuat seperti waktu-waktu sebelumnya.

"Menapa kau tidak pergi seperti mereka, William?"

"Aku kembalikan pertanyaanmu," perkataan itu mengalihkan perhatiaan Elly yang sedari tadi asik memandang dinding kosong. Mata sayunya menatap tepat ke retina pria itu. Satu-satunya orang yang tidak meninggalkan dirinya seperti mereka.

"Mengapa kau memilih pergi seakan kau paling terluka disini? Tidakkah kau tau... " William menahan air matanya. Sial, semua pertahanan dirinya seakan percuma jika menyangkut masalah Elly. Dirinya hanya akan menjadi orang lemah, "... kau akan akan meninggalkan luka dengan aku didalamnya."

"Tidak. Aku tidak seperti mereka."

"Ya kau egois seperti mereka, Elly." Potong pria itu tegas. Matanya tajam seakan mampu membunuh siapapun yang coba menggangunya. Namun pandangan tajam itu berubah sendu. "Demi Moongoddess, aku tidak berbohong ketika mengatakan bahwa aku akan mati jika hidup tanpamu. Tidak. Aku langsung mati jika ditinggal olehmu."

Elly tau William tidak berbohong padanya. Ia yang tengah membohongi dirinya sendiri.

Suara angin menderu terdengar sangat kuat. Salju bergerak liar dan berjatuhan sana-sini menumpuk jadi satu. Suhu udara diluar sangat dingin. Siapapun bisa mati kedinginan diluar sana.

Tapi tidak bagi William. Kutukannya menjadi werewolf memberikan keuntungan seperti tubuh hangat dalam kondisi suhu udara serendah apapun. Melihat tubuh matenya semakin bergetar karena kedinginan, William menaikkan suhu penghangat udara agar wanitanya merasa nyaman. Dengan lembut ditariknya Elly untuk berbaring yang ajaib diikuti oleh wanita itu tanpa penolak sedikitpun seperti biasanya. William berbaring tepat di sisi sebelah Elly lalu memeluk wanita itu berharapkan rasa hangat tubuhnya dapat ikut menghangatkan matenya. Perlahan getaran itu berkurang, digantikan dengan dengkuran halus.

William tersenyum bahagia. Kali ini Elly tidak banyak protes. Tidak ada penolakan berarti.

"Katakan sayang," Bisik William di telinga Elly. "Apa yang bisa kuperbuat tanpamu? Jawabannya tidak ada. Tidak ada, Elly. Karena aku lebih memilih ikut bersamamu"

Bisikan William tidak menggangu Elly sedikitpun. Wanita itu tertidur lelap karena lelah menangis. Hal itu justru dimanfaatkan William untuk memeluk tubuh matenya erat.

"Kau menjauhi semua orang. Membatasi diri dengan membangun tembok es. Lalu kau marah padaku karena aku datang dan menghancurkan tembok itu."

Tidak ada sahutan dari Elly, hanya dengkuran halus yang menenangkan hati bagi William.

"Jangan dorong aku pergi. Biarkan aku memperbaiki kerusakanmu, sugar. Biarkan aku memperbaiki hatimu yang penuh luka."

"Aku mencintaimu."

~~~

YEAY END.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 21, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Stupid Alpha's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang