Chapter Four : All Bad Thing Dissappear

16K 847 15
                                    

Elly menyeruput teh hijaunya dengan tenang, tidak terpengaruh sedikit pun akan tatapan kesal para sahabatnya. Menurut Elly, berkumpul dengan kepala panas dan saling menyalahkan hanya akan membawa pertengkaran tidak berarti. Setidaknya, hangat dari teh dapat menenangkan kegelisahan mereka.

Meysi mengembuskan nafas kasar. Ia sangat tau, Elly memiliki dunia sendiri walaupun tengah berkumpul seperti ini. Percuma saja memintanya angkat suara mengenai masalah yang tengah mereka diskusikan. Ia paham wanita itu merasa bahwa tidak ada hal menarik saat ini. "Biarkan saja. Lanjutkan ceritamu, Vivi."

Terlihat jelas guratan kegusaran di wajah polos Vivian. Ia terus bergerak gelisah. Telapak tangannya basah dengan keringat. Jelas sekali gadis itu tengah ketakutan akan sesuatu kali ini tidak dapat ia kendalikan.

"Aku tidak tau harus memulai dari mana," binar kehijauan di mata wanita muda itu memancarkan kegelisahan secara kentara. Ia menatap satu per satu orang disana dengan tatapan serius, seakan apa yang akan dia sampaikan bukanlah karangan. "Orangku bilang, Ayahanda telah mengetahui keadaanku selama di New York."

Berbagai sumpah serapah dalam beragam bahasa terdengar memenuhi ruangan tersebut. Aura yang sebelumnya sudah mencekam jadi bertambah mengerikan. Tidak ada yang berani berbicara. Masing-masing mereka memikirkan apa dampak dari pengetahuan yang tidak diinginkan itu.

"Ini bencana. Kau, sialan! Lihat kelakuan tuan putri ini." Meysi memulai dengan makian. Ia tidak mampu menahan diri kali ini. Jika namanya terseret, keluarga besarnya pasti akan turun tangan. Belum lagi, ia akan diancam dinikahi dengan putra sahabat sang Daddy atas kelalaiannya menjaga nama baik keluarga.

"Ini tidak sepenuh nya kesalahannya." Swan membela Vivian. Ia iba melihat sahabat mungilnya itu semakin terpojok karena makian Meysi. Namun sebenarnya ia ikut jengkel dengan kecerobohan Vivi kali ini. Bagaimana jika nama baiknya tercemar dan kemungkinan terburuknya, ia tidak lagi diterima oleh masyarakat? Celaka!

Elly meletakkan cangkirnya tanpa suara. Senyum tipis di wajah serius wanita itu tampak menyeramkan bagi Vivian. Namun di saat seperti ini,ia bahkan rela menukarkan jiwanya. Suasana ruangan yang tadinya dipenuhi decakan kesal mendadak sunyi ketika Elly mengangkat tangannya.

"Apakah ini adalah hal besar yang kau maksud? Vivian, kau lebih pandai urusan ini dibandingkan siapa pun."

"Tapi kali ini beda Elly." Vivian hampir menjerit histeris. Kapan sahabatnya itu mengerti keadaan? Posisi Vivian tidak membiarkannya mundur, tidak pula maju. "Dia ayahandaku, seorang raja. Ia tidak mungkin bodoh membaca taktik."

"Kau akan menyerah?" Sambar Elly cepat membuat Vivian terdiam. Elly tersenyum tipis, kemudian beranjak dari tempat duduknya. Ia hanya menatap lurus ke arah pintu, tanda ia telah selesai dengan segala sesuatu disana. "Terima kasih atas tehnya."

"Elly," Vivian dengan cepat mencegahnya. Langkah Elly terhenti. Vivian menatap punggung wanita itu. walaupun sedikit ragu, pada akhirnya ia mengeluarkan sebuah kalimat yang membuat bibir Elly tersenyum miring.

"Aku butuh bantuanmu."

~~~

Seorang pria tampak serius dengan buku di tangannya. Matanya meneliti tiap huruf yang ditulis berantakan. Ia tidak memerdulikan dua orang yang saling berpandangan, meyakinkan diri siapa yang akan menyampaikan berita hari ini. Kursi besar berwarna hitam menutupi pandangan kedua orang tersebut. Tidak ada yang berani menyapa seseorang itu.

"Ada apa?" Pada akhirnya seseorang itu berbalik. Tatapan tegas pria itu membuat mereka langsung menunduk hormat.

"Raja ingin menemui anda, Alpha."

Stupid Alpha's LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang