Aku menggigil. Bukan karena udara yang di keluarkan alat pendingin yang berada tepat di atas kepalaku, tapi karena apa yang sedang Damian lakukan saat ini. Aku bahkan sudah tidak bisa merasakan kakiku menapak lantai ketika ia semakin mendekat dan melancarkan kecupan-kecupan ringan di sekitar leherku.
Kemana kekuatan lenganku disaat seharusnya aku sudah mendorongnya menjauh?
"Da-mian, ap-a yang kau lakukan?" Suaraku bergetar.
"Aku sedang membuat diriku sibuk denganmu." helanya di leherku.
Saat ini aku mencengkram pinggiran meja dengan keras. Jika saja lengan Damian tidak menyangga tubuhku, mungkin aku sudah merosot jatuh di bawah meja. Menjadi satu dengan lantai dan mencoba berkamuflase agar tak terlihat.
"Tapi- orang...egh.. orang-orang memperhatikan kita..."
"Arah jam 9." Ucapnya berbisik. Sesaat aku tak dapat mencerna apa yang ia katakan. Fokusku berpusat pada bibirnya saat ini. Namun sudut mataku mengikuti arah jam 9 yang dikatakannya. Aku menoleh dan mendapati Anggela yang menghentakkan kakinya. Ia memandang kearah punggung Damian yang sedang condong kearahku.
Apa?
"Tadi ia sedang menuju kearah sini. Aku sudah lelah menolaknya. Aku harus membuat diriku sibuk denganmu agar ia berhenti mengganggu."
Aku mematung sesaat. Menyadari jika sikap ini bukan murni keinginannya melainkan hanya agar ia terhindar dari Anggela. Agar ia tidak diganggu oleh wanita itu. Seketika kesadaran menguasaiku sepenuhnya hingga kakiku terangkat dan menginjak ujung kaki Damian.
Damian terpekik. Tak terlalu kentara namun ia menjauhkan sedikit tubuhnya sehingga wajah kami berhadapan dan memandangku bingung. Aku balas menatapnya datar tak berekspresi.
Damian diam beberapa saat mempelajari ekpresiku lalu kembali mendekat, mengarah ke leherku lalu mengecup dengan lambat. Disaat kesadaranku belum larut terlalu jauh kembali kuinjak kakinya. Kali ini dengan hentakan keras sampai aku bisa merasakan telapak kakiku yang sakit.
Damian berjengit. Ia kembali menjauhkan tubuhnya dan menatapku. Kali ini kerutan di dahinya cukup dalam. Namun kemudian ia tersenyum. Senyum yang akan membuatku ikut tersenyum jika saja aku bukan dalam keadaan marah saat ini. Karena sekarang aku sedang marah, jadi aku sangat benci pada wajah tersenyumnya.
"Apa salah kakiku?"
"Apa salah kakiku?" Ucapku menirukan nada suaranya.
Damian terkekeh. Merapikan rambut yang lolos di dahiku. "Ada apa lagi denganmu, Alicia?" Damian tidak mencoba mendekat kembali. Ia hanya mengurungku di kedua tangannya yang bersandar di meja. Perbedaan tinggi kami yang cukup jauh berbeda membuat Damian menekuk salah satu kakinya agar bisa menyetarakan wajahnya denganku.
"Tidak ada. Aku baik-baik saja. Aku sedang menikmati pesta luar biasa meriah ini." Ucapku dengan membuka tangan di udara.
"Kau sama sekali tidak menikmati pesta ini. kau tidak suka musik yang terlalu keras itu. Kau tidak suka ketika Anggela mendekatiku. Satu-satunya yang cocok denganmu dipesta ini cuma minuman tadi."
"Benar, Aku tidak menikmatinya." Sanggahku cepat, " Itu sebabnya aku menolak untuk datang. Aku juga tidak suka musiknya. Terlalu keras sampai aku tak bisa mendengar suaraku sendiri. Tapi soal Anggela, kau salah! aku tidak peduli padanya. Terserah apa yang diinginkannya. Jika dia berusaha melekatkan dirinya padamu menggunakan selotip sekalipun, kenapa aku harus tidak suka? Aku sama sekali tidak ada hubungannya denganmu. Kau bebas melakukan kehendakmu."
Kenapa mulut bodohku selalu mengatakan hal yang sebaliknya? Ingin rasanya aku menarik kata-kataku tadi.
"Benarkah? Aku kira kau tidak suka jika aku dekat dengannya."
![](https://img.wattpad.com/cover/50782484-288-k508379.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Kiss [Completed]
Romance(Proses Penerbitan) Alicia tidak pernah mengira jika mimpi aneh yang sering mendatanginya berarti sesuatu. Mimpi yang mempertemukannya dengan sebuah sosok bermata biru terang dan mengejarnya. sampai pada suatu pagi, Alicia terbangun dengan menatap...