Sejak hari dimana Damian membuatku terpaksa bicara dan mengeluarkan pendapat tentang malam prom, pandangan anak-anak Charpabia menjadi berubah terhadapku.
Jika biasanya mereka memandang kearahku dengan wajah -apa sih bagusnya Alice, kenapa dia jadi deket terus sama Damian. Kecentilan.- ketika menatapku, kini mereka memandangku dengan wajah - lihat, si jalang itu yang sok cari muka dengan menentang malam prom,- .
Jelas berbeda. Hanya sedikit lebih menakutkan.
Aku tidak tau jika berita itu sudah menyebar keseluruh telinga orang di kampus ini. Siapa sangka perkataan dari seorang Alice membuat mereka seperti seperti berlomba-lomba menentang jika malam prom dihapuskan. Tentu saja yang diketuai oleh Anggela.
Memang tidak semua orang menentang usulan itu. Tapi sebagian besarnya sangat membenciku karena hal kecil itu. Lagipula aku yakin, usulan itu tidak akan diterima. Paling tidak pihak principal akan berpikir lebih lama untuk merubah jadwal. Sedangkan malam prom tinggal satu minggu lagi.
Damian sedang duduk di tepi atap dengan sepasang earphone yang menyumbat telinganya. Ia menutup matanya dengan tangan terlipat di dada. Sedangkan aku memilih duduk di semen beton yang menutupi genset besar. Tidak ada yang bicara diantara kami hampir 10 menit ketika tasku bergetar karena panggilan masuk dari seseorang.
"Hallo.."
"Alice, kau dimana?" Suara Sheila menyapaku. Memang tadi ia berpisah denganku dan Damian ketika selesai makan siang. Katanya ada sesuatu yang harus ia lakukan. Dari suaranya bisa kupastikan ia tengah berlarian karena suaranya yang terengah. Ada apa? Pikiran buruk tiba-tiba menyerangku. Jangan sampai Anggela kembali berulah.
"Aku di rooftop, ada ap-"
"Aku kesana."
Dan sambungan telepon terputus.
Sesaat aku masih memandang layar ponselku yang sudah berubah menghitam. Jika Sheila masih bisa mendatangiku, sepertinya ia tidak memiliki masalah dengan Anggela.
Beberapa saat setelahnya pintu rooftop terbuka dengan suara yang keras karena dibuka dengan sekuat tenaga, Sheila berlari dari sana dan duduk di sampingku. Ia terlihat mengatur nafasnya, satu tangannya memegang dada dan satunya lagi memegang tanganku. Dengan mata yang menatapku, ia seperti ingin bicara namun pernafasan yang masih pendek menghalanginya.
"Nafas dulu..." ucapku dengan geli.
"Al... tadi... itu... anu..." Sheila masih bicara setengah-setengah. Aku memberikannya sebotol air yang langsung diambilnya.
Aku kembali mengalihkan pandanganku ke arah buku ketika Sheila menghela nafas panjangnya. Ia menggoyangkan tanganku untuk agar aku kembali menatapnya.
"Ini soal malam prom..." Sheila berhenti dan aku mengerutkan dahi. "Usulan untuk mengganti malam prom dengan acara amal disetujui."
Aku terdiam. Berusaha mencerna perkataan Sheila barusan. Apa tadi yang ia katakan?
"Alice... Alice... kau mendengarku?"
"Maksudmu, usulanku soal acara amal itu diterima?"
"Iya.. tidak akan ada malam prom tahun ini. " Sheila tersenyum lebar ketika mengatakannya. Sama sepertiku, malam prom bukanlah salah satu bagian yang ia tunggu.
"Kenapa keputusannya keluar secepat itu?"
"Aku juga tidak mengerti. Tadi Miss. Clara memintaku menyampaikan ini padamu. "
"Kenapa ia mengatakannya padamu? Tadi pagi aku bertemu dengan Miss. Clara saat dikelas tapi ia tidak mengatakan apapun."
"Tadi aku sedang berada di ruang Dosen, dan tidak sengaja bertemu dengan Miss. Clara. Mungkin ia tau kita berteman dan memintaku menyampaikannya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Shadow Kiss [Completed]
Romantizm(Proses Penerbitan) Alicia tidak pernah mengira jika mimpi aneh yang sering mendatanginya berarti sesuatu. Mimpi yang mempertemukannya dengan sebuah sosok bermata biru terang dan mengejarnya. sampai pada suatu pagi, Alicia terbangun dengan menatap...