Part 24

96K 8.9K 222
                                    

Ruangan sepi yang terletak disayap kiri ujung kampus ini dipenuhi oleh cacian dan geraman tertahan dari seorang wanita yang sedari tadi melenggangkan kaki jenjangnya mondar mandir tak sabar.

Membuatku hanya bisa menimpali ocehannya dengan anggukan lemah sambil menahan perih ketika dingin alkohol menyumbat perih dileher. Meski darahnya sudah tidak lagi keluar, tapi luka terbuka itu tetap saja menggigit tidak nyaman ketika tersapu angin sekalipun. Sepertinya tadi tidak sesakit ini.

"Aku akan membuatnya menyesal melakukan ini padamu. Seharusnya aku tadi membuat beberapa luka diwajahnya. Atau membuat kepalanya botak sekalian. Atau mematahkan lehernya..."

Begitu kira-kira isi dari sumpah serapah yang menghiasi pendengaranku. Aku kembali menutup mata karena sengatan perih samar yang menyerang. Petugas medis yang berjaga ini sudah beberapa kali berupaya mengobati sepelan yang ia bisa namun tetap saja aku tak berhenti mengernyit. Entah lukanya yang terlalu dalam, atau aku yang terlalu lemah untuk menerima sakit saat ini. Lukanya hanya berupa goresan memanjang, namun ternyata rasanya begitu perih.

"Kita lihat saja nanti, apa yang bisa dilakukan oleh uang dan kekuasaannya kalau aku melaporkan ini pada pihak kampus. Persetan jika ia bisa lolos. Aku masih bisa melapor pada polisi. Jika dengan cara itupun ia masih bisa melarikan diri, aku yang akan memukulnya dengan tanganku sendiri. Aku akan membuat dia tidak mengenali dirinya sendiri saat bercermin nanti. Dia pikir --"

"Sheila.. sudahlah." Sergahku mencoba menenangkannya. Membalas Anggela bukan prioritasku saat ini. Ada hal yang jauh lebih penting dari itu. Seketika Sheila berhenti dari aktivitas mondar mandirnya dan melotot ngeri padaku. Kedua tangannya mengepal dengan urat terlihat. Aku cukup terkejut melihat emosi yang begitu besar didalam dirinya. Sepertinya aku memilih kata yang kurang tepat untuknya saat ini.

"Apa maksudmu? Kau tidak berpikir untuk membiarkannya bukan?" Matanya melotot kearahku. "Kau ingin menganggap seolah-olah ini semua tidak terjadi? Kau ingin membiarkannya melenggang bebas diluar sana setelah apa yang dilakukannya padamu."

Aku diam. Berusaha menyelaraskan fokusku untuk mencerna perkataannya dan menahan pusing dikepalaku. Ini bukanlah perbincangan yang kuinginkan saat ini. Petugas medis dihadapanku mengarahkan kepalaku kesamping untuk memudahkannya membersihkan darah yang mengotori tepi kerah bajuku. Sepertinya si petugas ini pun merasa terganggu dengan mulut Sheila yang memang tidak bisa berhenti mengoceh.

"Kau gila!" Tandas Sheila. Ia lalu mengambil tempat duduk dengan tangan terlipat. Ia masih terlihat menahan amarah didalam dirinya. "Kenapa kau tidak melawan?"

Aku melirik sekilas padanya. Lalu kembali melarikan mataku keujung jendela diatas nakas samping tempat tidur. Tidak ingin membuat suatu pergerakan berarti yang nantinya akan terbaca jelas olehnya.

"Jawab pertanyaanku, Alice!"

Petugas medis sudah selesai membalut leherku dengan perban yang cukup tebal. Rasanya nyaman walau masih terasa kebas dan kaku ketika kugerakkan. Sesaat petugas itu juga merapikan sebelah rambutku yang terpotong pendek dengan jari tangannya lalu tersenyum lembut menatapku. Seolah mengerti, ia beranjak dari tepi ranjang dan membawa semua peralatan keluar ruangan. Meninggalkanku bersama Sheila yang masih mempertahankan tatapan menuntutnya.

"Kau tau, apa yang membuatku menjadi melawan Anggela? Yang membuatku berani? Yang membuatku percaya jika tidak ada yang perlu kutakutkan dari dirinya?" Sheila berdiri. Seakan tidak cukup ruang baginya mengeluarkan emosi dengan posisi duduk "Itu adalah kau! Lalu apa-apan ini? Kenapa sekarang kau seolah olah justru menyerahkan dirimu begitu saja untuk disakiti oleh mereka. Kau diam saja ketika ketiga wanita brengsek itu melakukan ini semua. Mereka memotong rambutmu, dan hampir membunuhmu. Dan kau diam saja! Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

Shadow Kiss [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang