Miss Editor

24.3K 2K 110
                                    

Dia memandangi pria di depannya. Memakai tuxedo gelap, berambut hitam kecokelatan, matanya abu-abu, indera penciumnya lancip, berbibir tipis merah muda, dan bertubuh tegap meski cungkring.

Sambil batuk-batuk Ralin mendecakkan lidah. Buru-buru ia meraih ponsel kemudian menyampaikan sinyal pada BTS agar ia bisa menghubungi rekannya.

“Angkat bego! Uhukk... Angkat!” katanya berkali-kali. Nada masih itu-itu saja. Tutut..tutut... dan Ralin makin geram.

“Iya, Mbak. Kenapa?” jawab gadis di seberang sana.

“Kamu yakin naskah yang di e-mail itu yang lolos tahap satu?” Suara Ralin langsung naik. Sorry dori mori kalau ia harus basa basi busuk. “Lima-limanya jelek. Nggak ada yang menarik sama sekali. Uhukk.. uhukkk...”

“Kok, bisa sih, Mbak?”

“Mana saya tahu? Yang bikin naskah bukan saya. Yang ngelolosin juga bukan saya.”

Ralin membiarkan gadis itu bicara. Di sela-sela ia kembali batuk. Aih, kerongkongannya gatal dan esofagusnya terasa menyempit. Pasti karena angin malam.

“Naskah pertama judulnya kepanjangan. Banyak banget tanda baca yang dikeparatkan. Yang kedua, temanya klise. Belum lagi paragraf pembukanya diawali dengan gedoran pintu dari emak-emak cerewet. Lalu yang ketiga, tulisan macam apa itu? Adegan seks di mana-mana.”

“Maaf Mbak, bukannya tulisan yang kayak gitu emang menarik? Saya sudah cek, kok. Di situs khusus pembaca dan penulis, yang viewers-nya mencapai jutaan emang yang kayak gitu.”

“Kamu nanya soal situs sialan itu?” Ralin mendecak lalu batuk-batuk. “Saya benci sebagian besar penulisnya. Umur mereka ada yang di bawah tujuh belas tapi adegan seksnya sudah sedemikian detail. Benar-benar gila!”

“Bukannya itu bagus, Mbak? Itu artinya dia punya imajinasi luar biasa.”

“Imajinasi ndasmu!” ketus Ralin diikuti batuk-batuk.

“Gimana, dong? Naskah untuk bulan ini sudah dikembalikan semua. Kalau di antara yang lima nggak ada yang dipilih, bisa-bisa daya saing kita kalah.”

“Itu terserah kamu! Pokoknya uhukkk... saya gak mau pilih dari kelimanya.”

“Tapi Mbak...”

Pip! Setoran sinyal mobile station milik Ralin putus dari BTS. Kemudian Ralin memukul-mukul dada kiri. Anjay! Apa yang dipikirkan para editor tahap satu itu? Dasar amatir! Magang sih, magang. Tapi yang serius, dong!

Slruppp...!

Bunyi kuah yang dicumbu bibir membuat amarah Ralin mereda. Aroma kari dari mie instan kesukaannya baru saja menyapa hidung. Harum sekali. Apalagi ditambah telur rebus dan irisan cabe rawit. Yummy! Ralin nyaris ngeces kalau saja ia tak ingat siapa yang sedang duduk di meja makan itu.

“Cuma bikin satu?” Ralin bertanya sambil menyandar ke pintu.

“Aku baru coba kuahnya. Kalau kamu lapar, biar aku masak yang baru.”

Senyum cibiran di bibir Ralin terurai. “Makan bekas lo? Najis!”

Ups, sepertinya Ralin kelewatan. Muka Aftha langsung berubah. Asalnya sendu, jadi makin kuyu. Tapi masih ganteng. Eh? Lupakan-lupakan!

“Ralin.”

Sambil berbalik malas Ralin menjawab, “Apa?”

“Kenapa kamu jadi gini?”

“Gini gimana?” ketus Ralin. Seperti biasa.

“Dulu kamu nggak kayak gini.” Aftha bangkit dari kursi. Ia mendekati gadis itu lalu memegang bahu dan menatapnya lurus-lurus. “Apa karena kamu menikah dengan aku, makanya kamu berubah?”

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang