Change

32.6K 2.5K 59
                                    

Mbak, naskahnya sudah saya kirim ke email, ya.

Delapan kata itu muncul di ponsel Ralin. Oh, indahnya! Niat untuk langsung tidur mendadak ngacir gara-gara pesan rekan kerjanya. Huh! Padahal sendi-sendi Ralin sudah ngilu. Dadanya juga agak sesak gara-gara terlalu lama kencan dengan Mario.

“Lin, aku lapar.”

Ralin menulikan kendang telinga. Rumah siput di kupingnya dibuat tidur. Sengaja.

“Lin, aku lapar.”

“Gue kenyang!”

“Lin, aku serius. Dari siang aku belum makan. Aku juga nggak sempat makan waktu nunggu kamu.”

Ralin mengendikkan bahu. Acuh tak acuh. Ia melepas mantelnya lalu membuka pintu kamar. “Sorry, gue udah ditunggu kerjaan. Lo masak mie instan aja, ya.”

Dasar begundal! Aftha memekik dalam hati. Oh Tuhan, apa salahku hingga Kau karuniakan aku wanita ini? Dia sama sekali tak berguna sebagai istri.

Sambil berdumel, Aftha masuk ke dapur. Demi apapun, ia bukanlah orang yang suka makanan instan. Kontra dengan dengan Ralin yang hobi mengonsumsi makanan sampah. Mulai dari mie, kopi, soft drink, bahkan fast food, semuanya adalah kudapan yang selalu terjun ke lambung Ralin.

Tidak salah juga, sih. Ralin sangat sibuk. Dia seorang editor di penerbit mayor. Tidak punya waktu ——juga niat—— untuk masak, apalagi untuk Aftha. Dia seorang workacholic sejati, tak peduli gendernya kaum hawa. Wanita itu sering tak tidur, bahkan lupa makan. Sekalinya makan, kudapan sampah tadi yang masuk ke mulutnya.

Selepas memasak, Aftha duduk di meja makan. Dari sini terlihat siluet Ralin yang sedang bercumbu dengan laptop. Sesekali terdengar batuk juga. Pasti imunnya menurun.
Rasakan! Emangnya enak? Itu sih, balasan Tuhan. Sehabis selingkuh dia dihadiahi lembur. Semoga saja dia beneran sakit. Biar tahu rasa!

Eh tapi....

Kasihan kalau Ralin sakit. Wajahnya yang ayu akan pucat, bibirnya yang mungil merah bisa kering, parasnya yang judes bakalan pasi, dan kecantikannya yang menggetarkan dada absolut menghilang.

Sebenci apapun Aftha padanya, itu hanyalah penyangkalan dari kebenaran. Diulangi. Digarisbawahi. Dan tolong dicetak tebal bagian HANYA PENYANGKALAN DARI KEBENARAN. Sejujurnya, Aftha mencintai Ralin. Sangat mencintainya.

Jauh sebelum perjodohan itu dituai, bahkan sebelum ia mengenal Ralin.

*
*
*

Saat itu. Sekitar enam tahun yang lalu, tahun kedua di bangku kuliah. Aftha menemukan Ralin sedang tersedu di taman. Sendirian. Kesepian.

Aftha tahu kenapa dia menangis. Pasti karena novel di tangannya.
Aftha bukanlah mahasiswa kaku meski fokusnya adalah  bergelar magister dalam waktu 5 tahun. Ia tahu kalau novel di tangan Ralin sedang booming di seantero negeri. Menurut kabar, tulisan di cerita roman itu benar-benar menguras air mata. Menyayat hati, mencabik perasaan, dan patut dimasukkan ke daftar fiksi terbaper.

Tak aneh kalau Ralin bisa tersedu seperti itu. Cara Ralin sesenggukan, mengelap bening dari pelupuk mata, hingga membuka halaman buku benar-benar menggetarkan dada. Wajahnya begitu anggun dengan air mata seperti itu. Natural namun butuh perlindungan. Ia seperti bunga rapuh di tepi jalan. Harus dijaga sekuat tenaga.

“Lin, lo kenapa?” Gadis berambut keriting kecil-kecil muncul. Aftha tahu itu temannya Ralin. Cuma nebak, sih.

“Gue terharu sama isi buku ini.” Ralin sesenggukan. “Sedih banget.”

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang