His Anger

14.6K 1.3K 39
                                    

Bak kaca yang dilempar batu, itulah yang Aftha rasakan. Berkeping-keping. Hancur. Dan tak mungkin bisa disatukan. Sekalipun para kepingannya direkatkan dengan lem, semuanya akan berbekas. Kelihatan retak dan tak akan seperti dulu.

Otak Aftha mendadak melompong. Ia tak bisa bicara. Stok katanya kocar-kacir. Ia juga merasa kerongkongannya gersang.

Iapun meraih gelas di sebelahnya. Minuman ini masih menyisakkan bongkahan es. Tapi sumpah! Tidak dingin sama sekali. Lebih tepatnya tidak mampu menetralkan jalur napas Aftha yang mendidih.

Putus asa.

Aftha tak tahu kata apa lagi yang cocok untuk kalbunya saat ini. Niatnya mau bikin kejutan, malah ia yang terkejut. Sumpah, seumur hidup baru sekarang Aftha sehancur ini. Dimaki Ralin beberapa bulan lalu tidak ada apa-apanya dibanding pengakuan barusan. Aftha seperti hilang arah.

Bingung.

"Af, kamu mau ke mana?" Wanita itu berkata, lengkap dengan mata berkaca-kaca.

Dulu, mata berkaca itu adalah netra terindah.

Dulu, kelereng yang memunculkan air mata itu adalah idamannya.

Dulu, hidung kemerahan selesai nangis itu adalah favoritnya.

Itu dulu.
Beberapa milidetik sebelum pengakuan itu mengoyak dada.

"Aku kenyang." Aftha menjawab sambil menarik langkah.

"Af, tunggu!"

Aftha mengacungkan lima jari. Sudah cukup, itu maksudnya.

"Terima kasih atas kunjungannya. Semoga kalian menikmati momen indah di Lantai Surga. Selamat malam."

Lantai surga bokongmu! Itu yang Aftha batinkan. Ia benar-benar lepas kendali. Langkahnya cepat, membuat ia menyenggol banyak orang. Termasuk pramusaji yang membawa nampan hingga hidangannya berserakan di lantai.

Ralin berusaha menahan air mata. Susah sekali mengejar Aftha sekarang. Pria itu tak menoleh ke belakang, bahkan sekarang sudah ada di hadapan mobil.

"Aftha tunggu!"

Setelah mengecapkannya Ralin berlari. Tak peduli ia sedang hamil dan perutnya agak nyeri lantaran bergerak gesit, ia berusaha mencapai pria itu. Dan berhasil.

"Aku minta maaf, Af. Aku tahu aku salah."

Aftha mengatupkan mulut. Ia menghidupkan mesin lalu keluar dari tempat parkir. Kepalanya sudah panas, maka dengan kurang ajarnya dia mengeparatkan mesin penagih parkir. Plang yang membentuk garis horizontal itu ia tabrak saja hingga membuat mobil depannya penyok.

Sekali lagi mata Ralin meleleh. Tak menyangka kalau pengakuannya berakhir seperti ini. Aftha yang tak pernah menyisakan makanan, Aftha yang taat aturan, Aftha yang lembut, Aftha yang sabar, kini sudah berubah. Mata pria itu sayu namun gerakan kaki dan tangannya tampak lincah.

Ya. Di pukul buncit begini ia melesatkan mobil seperti kesetanan. Lampu lalu lintas dihantam saja. Mobil yang menghalangi disalip seenaknya. Pekikan dan sumpah serapah orang ia keparatkan. Semuanya masuk kuping kanan dan keluar dari lubang lain.

"Af, aku mohon. Jangan seperti ini," Ralin berujar. Mukanya semakin becek. Antara takut dan sedih, semuanya bercokol dalam kalbu dan timbul lewat mimik. "Af, ini bahaya! Kamu bisa nabrak orang."

Sia-sia. Mobil makin melejit sebab Aftha menambah laju. Gigi dinaikkan lagi sedangkan spidometer mendekati angka maksimum.

"Aftha, please berhenti! Kontrol emosi kamu! Ini bahaya."

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang