Manusia selalu diberi kesempatan untuk memilih. Dan apapun opsinya, sudah pasti punya konsekuensi. Suka tidak suka. Mau tidak mau.
Begitupun Ralin. Sekarang ia dihadapkan pada suatu perkara, dan ia memilih untuk menipu. Berbohong pada Aftha, juga keluarga besarnya. Tidak ada pilihan lain, menurutnya.
Karena ia telah memilih, maka mulai detik ini ia akan berlakon sebagai penipu. Persetan kalau ia akan dapat karma. Ia sudah tanggung jadi antagonis, orang jahat, dan pihak yang dibenci semua orang. Ia tidak menyalahkan takdir, apalagi Tuhan. Menurutnya, ini memang jalan yang harus ia lewati untuk menghiasi dunia yang kejam ini.
Dan untuk menjalani pilihannya, ada beberapa hal yang perlu ia perhatikan: Satu, dia harus berlagak membuka hati untuk Aftha. Dua, dia harus memasang tameng di kalbu agar ia tak jatuh cinta pada Aftha. Ralin yakin cepat atau lambat Aftha pasti tahu rahasia ini. Sehingga hal ketiga yang harus ia lakukan adalah berpikir cerdas. Ia harus tahu apa-apa yang akan terjadi ke depannya. Tidak hanya satu cara, melainkan sejuta taktik.
Ah, memikirkan hal ini membuat Ralin haus. Ia pun keluar dari ruangan. Didapatinya semua orang sedang sibuk. Ada yang mengangkat telpon dan menjelaskan kalau naskah sedang diproses, ada yang asyik cetak-cetik dengan laptop untuk mengedit, bahkan para officeboy pun seliweran melayani pegawai.
Jangan dikira jadi editor itu gampang. Kerjanya hanya ngedit. Tidak seperti itu! Jadi editor berarti menjadi jalan untuk melahirkan karya dari rahim seorang penulis. Dan itu bukan hal mudah. Ada miliaran orang yang ingin menciptakan karya setiap detiknya sehingga editor harus ekstra ketat menyeleksi.
Kalau penulis tidak punya peledak yang cukup untuk mengguncang dunia, maka jangan harap dilirik. Jadilah yang ter-ter namun tetap taat aturan.
“Mbak Ralin tadi minta kopi, ya? Aduh, maaf tadi saya disuruh bikin teh sama ketua redaksi,” aku Parman, OB yang tadi dilihat Ralin.
“Biar saya bikin sendiri, Pak Par.”
Ralin meraih toples di lemari gantung. Kopi sudah ada di termos maka ia tinggal menuangkannya ke cangkir. Penuh perhitungan dan tak biasa. Si kopi diisi hingga tiga perempat, kemudian dicampur gula tiga sendok, dan creamer sebanyak dua tuangan.
Wangi kafein menguar, membuat Ralin tersenyum sebab takarannyya tidak salah. Ia menyicip sedikit. Hmmm, pahit namun sepadan dengan tuangan pemanis.
Ketika Ralin keluar dapur, rumah siputnya terganggu dua kali lipat. Bukan lagi karena kesibukan kerja, namun jam istirahat sudah dimulai. Para pegawai ramai-ramai menuju kantin di bawah. Karena di koridor ini hanya ada satu pintu, makanya mereka bergerombol. Dan berisik tentunya.
“Mbak, nggak ke bawah?” tanya Yuni ketika Ralin duduk di kursi.
“Masih ramai. Nanti aja.”
“Mau titip nggak?”
Ralin memutar bola mata. Perutnya memang keroncongan sejak tadi. Dan kalau tak salah, ia sangat menginginkan nasi padang di seberang kantor.
“Nasi padang satu, deh.”
“Saya nggak makan di situ, Mbak. Yang lain aja gimana?”
Dalam kalbu Ralin menolak mentah-mentah. Sumpah deh, ia kepengin nasi padang di seberang kantor. Lauknya pakai kikil. Daun pepayanya masih hangat dan nasinya mengepulkan asap. Duh, mau banget! Kayaknya bawaan orok.
“Gimana, Mbak? Jadi titip nggak?”
“Enggak, Yun,” tandas Ralin sambil memegang perut.
Ralin menunda sebentar hasrat ngidamnya dengan seruputan kopi. Hmmm... kopi ini sangat nikmat! Aroma dan rasanya juara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouched
RomanceRalinda tahu sebanyak 99,99% pasangan hasil perjodohan itu bahagia. Tapi itu di cerita fiksi. Yang awalnya saling benci, lalu dengan buaian kata-kata si penulis maka dua insan itu menjadi saling mencintai. Oh, ayolah! Itu sebuah kebohongan. Mitos. I...