Poor Woman

19.4K 1.5K 69
                                    

Aftha berjalan sempoyongan ketika keluar dari mobil. Hari ini ia tak membawa wanita pesanan. Katanya bosan. Tadipun ia hanya minum setengah botol sehingga konsentrasinya masih terjaga dan ia bisa pulang ke rumah tanpa menabrak.

Omong-omong soal konsentrasi, Aftha baru ingat betapa bodohnya dia. Ngapain ia pulang ke rumah? Bosan sih, bosan bermain dengan kupu-kupu malam, tapi gak perlu juga masuk ke rumah ini. Terlebih karena di dalam ada Ralin.

Aftha tahu Ralin sedang berusaha memperbaiki semuanya. Ia tahu kalau istrinya itu terus menarik perhatian, terutama soal amarah. Tempo hari, wanita itu melemparkan gelas ke lantai. Sumpah mati Aftha ingin melabraknya, namun ia sadar sesuatu. Atas dasar apa ia mempedulikannya?

Cinta?

Makan tuh cinta!

Dulu Aftha bertahan karena cinta. Ia selalu meyakinkan diri kalau Ralin akan melupakan Mario dan membuka hati untuknya. Dan apa hasil dari cinta yang dimaksud Aftha? Penipuan. Sebuah kebohongan yang meluluhlantahkan isi hati, juga jiwanya.

Tadi pagipun begitu. Ralin benar-benar membuatnya ingin meledak.

"Mas Af, aku laper, nih. Bikinin sarapang, dong."

Aftha menuruti keinginan wanita bayarannya. Ia memasang celana panjang lalu keluar kamar.

Kemudian matanya mampir ke meja makan. Di sana ada Ralin yang sedang sarapan. Kudapannya berupa mie instan dan kopi es. Ketika Aftha melewatinya, ia tahu kalau mie instan yang dibuat Ralin sungguh luar biasa. Aroma cabe sangat menusuk, begitupun kafein dari dalam gelas. Hmmm, Ralin benar-benar berusaha. Ia ingin Aftha melarangnya seperti waktu itu.

Habiskan saja semuaya! Mau Ralin mati mengenaskan karena kembali makan mie instan dan kopi, Aftha tidak akan peduli. Bahkan Aftha berpikir kalau hal tersebut sangat bagus. Ia tak perlu lagi pura-pura baik di hadapan keluarganya.

"Aftha."

Ini adalah suara Ralin. Itu artinya, mode tuli harus dihidupkan. Begitu pikir Aftha.
Ketika Aftha masuk ke dapur lalu mencari bahan, Ralin mengikuti. Ia berkali-kali memanggil Aftha. Namun berkali-kali juga Aftha tak menghirau. Sama seperti semalam, Ralin dibuat sangat kesal sampai-sampai ia ingin membanting wajan yang tengah dipakai Aftha.

"Sekali lagi kamu ngelempar barang, aku bakal lemparin sesuatu ke muka kamu."

Akhirnya! Ada juga kata yang keluar dari mulut Aftha.

"Af, kita harus bicara."

"Aku gak mau."

"Kamu gak bisa giniian aku! Aku ini istri kamu. Mau sampai kapan kamu bercinta dengan wanita lain di rumah ini?"

"Itu hakku."

"Berarti, kalau aku laporin ini ke Bunda, itu juga gak salah. Itu kan hak aku."

Aftha melotot lalu mendesak Ralin ke tembok. "Ingat Ralinda, sekali saja kamu bermain api denganku, maka bersiaplah terbakar sampai hangus."

"Kamu pikir aku takut?" tantang Ralin tanpa skeptis. "Kalau malam ini kamu masih bawa wanita, besok aku akan laporin kelakuan kamu sama Bunda. Kebetulan besok kita disuruh datang, kan?"

Aftha tak tahu apa kata-kata tersebut hanya gertakan atau memang rencana Ralin. Tapi kalau Ralin melapor pada keluarganya, bukankah itu akan jadi buah simalakama juga? Nanti Aftha tinggal membalikkan fakta. Ia akan mengadukan kalau bayi di rahim Ralin bukan anaknya. Dengan begitu, keadaan akan imbang. Aftha dan Ralin akan dibenci keluarga.

Ah, memikirkan hal ini Aftha jadi semakin pusing. Maka ia cepat-cepat masuk ke kamar.

Eh?

Tunggu!

UntouchedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang