“Nanti malam mereka bakalan datang, Mar.”
Hati Mario seperti plastik yang didekati api. Mengerut, nyaris lenyap.
Benarkah gadis yang menemani hari-harinya akan menikah? Bukan dengannya, melainkan dengan pewaris perusahaan properti di pusat kota.
Mario sadar dirinya belum bisa membahagiakan Ralin. Tapi, melepasnya untuk lelaki lain? Itu jelas bukan pilihan.
“Apa benar-benar nggak ada kesempatan?” kata Mario dengan nada lemas. “Kamu nggak mau memperjuangkan cinta kita?”
“Tentu aku mau. Aku juga udah bilang kalau aku punya pacar. Tapi mereka nggak peduli, Mar.” Ralin berkaca-kaca. Ia lantas menutup mukanya, frustasi. “Aku bingung. Aku nggak tahu harus gimana.”
Perih. Itu yang Mario rasakan. Melihat Ralin yang menangis begitu, perasaannya makin pilu. Sungguh kejam dunia ini! Hanya gara-gara lelaki itu lebih kaya, lantas orangtua Ralin lebih suka pada dia. Dasar matrealistis!
Atau jangan-jangan, ini memang salah Mario? Ia terlalu pecundang dengan memacari tanpa pernah mendatangi orangtua Ralin. Tapi kan, semua butuh waktu. Mario baru akan mendatangi mereka kalau dia sudah sukses. Menjadi musisi. Mimpinya sejak dulu.
“Mar, kamu harus datengin orangtua aku. Kamu harus bilang tentang hubungan kita.”
“Apa itu bisa mengubah keputusan mereka?”
Dan ketika Mario melancarkan aksi, kebetulan keluarga Ralin tengah berkumpul. Termasuk calon suami yang hendak dijodohkan dengan Ralin. Dengan keberanian seadanya, Mario menjelaskan. Di sampingnya Ralin menguatkan, memegang tangannya.
“Don, sebaiknya masalah ini dibicarakan dulu. Silakan.” Pria berkumis itu berkata setelah Mario dan Ralin selesai bicara. Meski nadanya tenang, siapapun tahu kalau mukanya merah menahan marah. “Aftha, Bunda, mari kita pulang.”
Lalu tiga manusia itu meninggalkan ruangan. Yang paling muda sempat menatap Ralin tapi tak lama. Ketika melirik Mario, Mario tahu kalau pemuda ini mencibirnya. Sialan!
“Ralin, masuk ke kamar!” titah pria bernama Doni. Mukanya sama-sama merah, mungkin malu pada calon besannya, mungkin marah mendapati putrinya pulang bersama pemuda tak berduit seperti Mario. “Masuk sekarang!”
“Papi!”
“Ralin!” ibunya Ralin ikut bersuara. “Kamu udah bikin kami malu di hadapan keluarga Pak Galih. Sekarang ikuti ucapan Papimu!”
“Mami dan Papi nggak bisa maksa aku!” sangkal Ralin dengan muka merah. “Aku cinta sama Mario. Aku nggak sudi menikah dengan pria selain dia.”
Plaakkk...
“Tahu apa kamu soal cinta?” Mata Doni melotot setelah tangannya mampir di pipi Ralin. “Sekarang cepat masuk kamar!”
Air mata yang menggenang di pelupuk Ralin tak membuat orangtuanya iba. Meski Ralin terus mendesak, jawaban masih sama. Mario jadi serba salah. Ia merasa harus melakukan sesuatu tapi ia tak punya kekuatan. Apalagi keadaannya memang pantas dipandang sebelah mata. Pemuda dengan setelan anak band yang urakan, tak punya duit, hanya punya ijazah SMA, dan tidak punya kekuatan menghadapi kejamnya dunia.
“Mulai detik ini saya minta sama kamu, jangan pernah temui Ralin!” gertak Doni.
“Kamu itu harusnya tahu diri. Kuliah aja nggak tamat, mau soksok-an bawa anak kami. Sana pulang!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouched
RomanceRalinda tahu sebanyak 99,99% pasangan hasil perjodohan itu bahagia. Tapi itu di cerita fiksi. Yang awalnya saling benci, lalu dengan buaian kata-kata si penulis maka dua insan itu menjadi saling mencintai. Oh, ayolah! Itu sebuah kebohongan. Mitos. I...